NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22. Demam

Mata hari masih bertengger gagah, rasanya seperti berada di atas ubun-ubun. Panas dan gerah tak terelakan. Karina berjalan gontai menuju halaman rumahnya, menggendong tas ransel sekolahnya dengan susah payah, hari itu rasanya tasnya lebih berat berkali kali lipat. Badannya terasa tidak begitu sehat, pusing dan sedikit demam. Sepertinya dia kelelahan, beberapa hari ini tenaganya memang sangat terforsir.

Sampai di depan pintu rumahnya, ia menarik gagang pintu rumahnya dengan lemah, mendorongnya perlahan hingga pintu terbuka. Tanpa melepas sepatu, ia terus berjalan terseok seok menuju kamarnya. Sepi, belum ada orang di rumah. Ini memang belum jam pulang sekolah, hari ini Karina dapat izin untuk pulang lebih awal karena kondisi tubuhnya yang tidak vit. Dimas tentunya belum kembali dari sekolahnya. Sedangkan ibunya pasti masih berada di florist pada jam ini.

Jadilah ia dirumah sendirian. Masuk ke dalam kamar yang berada di sisi sebelah kanan dari ruang keluarga. Melempar tasnya kelantai lalu merobohkan badannya ke Kasur bahkan tanpa melepas sepatu dan seragamnya. Sudah taka ada tenaga rasanya.

“Capek kak Karin?”

Suara Putri menyapa. Ya, itu suara yang sudah sangat ia kenali.

“Hmm…”

Jawabnya tanpa menoleh. Karin menutup wajahnya dengan selimut menyisakan lubang hidungnya dan mulutnya yang terbuka.

“Kakak sakit?”

“He em.”

Putri memandangi Karin iba, kasihan sekali anak ini. Beban hidupnya tidaklah mudah, masih harus menghadapi sebuah takdir pilu.

“Kakak sebaiknya makan dulu, lalu minum obat.”

Hening, sepertinya Karin tertidur. Tak mau mengganggu, putri lebih memilih membiarkan karina terbarik untuk istirahat. Ia kembali menghilang dari pandangan.

Tak lama setelah Karin terlelap, dering ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul dilayarnya. Hanya saja, ponsel itu berada di dalam tasnya, suaranya terlalu lemah untuk di dengar Karin yang sudah terlelap. Berdering beberapa kali hingga akhirnya berhenti. Kembali hening.

Hari mulai sore, Dimas baru kembali dari kegiatannya di sekolah. Sepulang sekolah tadi, Nia, sahabat kakaknya menemuinya dan mengabari Dimas bahwa kakaknya hari ini pulang lebih awal karena merasa tak enak badan.

“Kak, lu dimana?”

Perlahan Dimas membuka pintu kamar Karin yang tidak tertutup dengan rapat. Melongokkan kepalanya mencari sosok kakaknya.

“Lu tidur kak?”

Tak ada yang suara sahutan, sepertinya Karin sangat lelah. Dimas terheran, tidak biasanya kakaknya tidur jam segini, apalagi masih dalam kondisi memakai seragam sekolah, bahkan sepatunya saja belum dilepas.

Dimas berjalan perlahan masuk ke dalam kamar Karina, berjingkat agar kakaknya tidak terbangun. Dia melongokkan kepalanya melihat kearah wajahnya yang tertutup selimut.

“Kak?”

Masih tidak ada sahutan. Dimas mendekat, membuka selimut dan menempelkan punggung tangannya ke jidat kakaknya.

“Yah, beneran demam lu kak.”

Dimas bergumam, melepaskan sepatu dan kaus kaki kakaknya. Menyalakan AC dan mengatur suhu supaya nyaman dan tidak terlalu dingin. Lantas bergegas menutup jendela kamar kakaknya sebelum keluar meninggalkan kakaknya beristirahat.

Karina memang jarang sekali sakit, dan biasanya sekalinya dia demam badannya agak sangat lemah. Hal ini membuat Dimas khawatir sehingga ia memutuskan untuk mengabari ibunya yang sedang bekerja mengurus toko bunganya lewat ponsel.

“Ma, kakak demam tuh, anget badannya.”

“Walah, trus dimana kakakmu?”

“Tidur itu di kamar.”

“Ya udah, biar istirahat dulu. Bentar lagi mama pulang, mama beliin obat.”

“Oke ma. Dimas titip eh buah pak Bewok ya. Yang biasanya itu.”

“Ya…”

Sambungan telephon terputus, Dimas bersorak senang mendapat kesukaannya, es buah dekat toko bunga ibunya.

“Yes, es buah..!!”

**

“Sore pak Bewok, es buahnya 2 bungkus ya.”

Sesuai pesanan anak bujangnya, bu Nurma mampir ke depot es buah langganan yang letaknya tidak jauh dari floristnya. Entah bagaimana caranya, tapi Dimas bisa membedakan es buah milik pak Bewok dan es buah yang lain, meskipun bagi ibunya, semua es buah sama saja.

“Siap ibu.”

Sambut pak Bewok ramah, seperti biasanya. Bu Nurma duduk menunggu di kursi plastik disamping gerobak es buah, memperhatikan si penjual meracik pesanannya dengan tenang.

Pak Bewok, begitu branding yang diberikan. Tentu, karena sang penjual memang berewokan, jampang yang menyatu dengan jenggot, tumbuh lebat menutupi hampir separuh pipinya. Laki-laki setengah baya yang meskipun sedikit pincang namun selalu melayani dengan cekatan. Rambutnya sedikit gondrong dengan topi bucket yang selalu ia kenakan, tidak bisa menutupi keramahannya.

“Kok tumben bu jam segini sudah mau pulang. Tokonya sudah tutup ya bu?”

“Gak pak, ada karyawan yang menunggu. Anak saya sakit pak, jadi saya tinggal pulang dulu.”

“Oh, nak Dimas sakit ya? Lah ini es nya buat siapa? Kan biasanya yang suka es buah nak Dimas.”

“Bukan dimas pak, kakaknya si Karin.”

“Oh… ini bu sudah. Jadi 30 ribu.”

Bu Nurma menyerahkan satu lembar uang biru, dan menerima kembalian lalu segera mengendarai mobilnya, pak Bewok memperhatikan dari jauh hingga mobil putih milik bu Nurma hilang dari pandangan setelah belok ke kiri di perempatan jalan.

Jarak dari toko kerumah bu Nurma tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 10 menit dengan kendaraan tanpa harus terjebak daerah macet. Untung hari itu tidak ada pesanan karangan bunga untuk sore atau malam hari, sehingga bu Nurma bisa pulang lebih cepat dari biasanya.

“Karin, makan dulu, trus minum obat, ayo.”

Sesampainya di rumah ia membangunkan Karin, membawakan semangkuk bubur dan obat penurun panas yang sempat ia beli sepulang dari florist tadi.

“Karin?”

“Hem, iya ma.”

Karin membuka matanya perlahan, mengerjap ngerjap sambil mengatur nafanya. Pusing, kepalanya berdenyut nyeri dan pandangannya berputar-putar membuat bibirnya menyeringai menahan sakit.

“Pusing kak?”

Ibunya mengusap dahinya yang sedikit berkeringat. Karin mengangguk perlahan.

“Duduk dulu ya, ganti baji. Sini mama bantu.”

Bu Nurma menopang punggung Karina, membantunya dan memposisikan bantal dibelakang punggung Karina untuknya bersandar. Membuka kancing baju seragamnya dan membantunya berganti baju. Karin menurut dengan lemah, badannya seperti tak berdaya.

“Kamu itu kecapekan Karin. Dua minggu ini kamu gak ada istirahat. Bolak balik ke Bandung.”

Bu Nurma menyuapi anaknya dengan lembut, tatapanya hangat menenangkan. Sedikit demi sedikit dengan sabar.

“Istirahat dulu ya beberapa hari ini. Stop dulu semua kegiatanmu.”

Karina mengangguk.

“Maafin Karin ya ma, bikin mama repot dan khawatir.”

Suaranya lemah, merasa bersalah karena ibunya pasti sangat khawatir dengan keadaannya.

“Yang penting kamu nurut mama sekarang, istirahat, biar cepet sembuh. Mama paling gak bisa liat anak mama sakit nak.”

Mata bu Nurma berkaca-kaca, melihat putrinya yang biasanya selalu ceria dan bersemangat, kini terbaring lemah dan pucat.

“Harta mama itu cuma kamu sama adikmu, mama udah gak punya siapa-siapa. Kalau kalian kenapa-kenapa, hidup mama gimana nanti.”

Karin menelan buburnya dengan susah payah, bukan karena tenggorokannya yang sakit. Tapi kalimat ibunya membuatnya tercekat. Ya, Karin menyadari bahwa ia dan adiknya adalah segalanya untuk ibunya. Hanya karena demam saja, ibunya sesedih ini. Karin menangis, terisak perlahan. Ia tak bisa membayangkan, akan sehancur apa ibunya jika esok Karin benar-benar akan meninggalkan ibu dan adiknya, untuk selamanya.

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!