Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Akhirnya, setelah pendakian yang melelahkan, mereka tiba di puncak Gunung Agung. Kabut tipis berputar-putar di sekitar mereka, menciptakan suasana mistis dan sakral. Di tengah puncak gunung, berdiri reruntuhan kuil kuno yang jauh lebih besar dan lebih megah dari yang mereka lihat sebelumnya. Batu-batu besar yang lapuk ditumbuhi lumut, dan beberapa bagian bangunan tampak hancur, namun sisa-sisa kemegahannya masih terasa kuat.
Di tengah reruntuhan, mereka melihat sebuah altar batu yang lebih besar dari altar di kuil bawah. Di atas altar itu, tertancap sebuah pedang. Pedang itu tidak tampak berkarat seperti pedang yang mereka lihat sebelumnya. Bilahnya memancarkan cahaya putih kebiruan yang lembut, dan ukiran naga yang melilit gagangnya tampak bersinar keemasan. Inilah Pedang Sinar Naga.
Saat Raka dan teman-temannya mendekati altar, tiba-tiba sebuah suara bergema di udara, suara yang dalam dan penuh kekuatan, seolah-olah berasal dari gunung itu sendiri.
"Siapakah yang berani menginjakkan kaki di tempat suci ini?"
Mereka bertiga terhenti dan melihat sekeliling dengan cemas. Tidak ada siapa pun terlihat.
"Ini adalah ujian," bisik Kakek Badra. "Kita harus menjawabnya dengan benar."
Raka melangkah maju. Ia merasakan Kitab Dewa Naga di tangannya bergetar pelan. Ia membuka kitab itu secara acak dan matanya tertuju pada sebuah gambar naga yang sedang berbicara kepada seorang manusia. Di bawah gambar itu, terukir kata-kata: "Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan tindakan meskipun merasa takut."
Dengan keyakinan yang baru, Raka menjawab suara itu dengan lantang, "Kami datang bukan untuk mengganggu, melainkan untuk mencari kekuatan untuk melindungi dunia dari kegelapan!"
Seketika, kabut di sekitar mereka mulai menipis, memperlihatkan pemandangan yang menakjubkan. Di depan mereka, muncul sesosok makhluk penjaga. Makhluk itu memiliki tubuh yang terbuat dari batu dan kristal, dengan mata yang bersinar terang seperti bintang. Ia memegang sebuah tombak panjang yang ujungnya memancarkan cahaya.
"Kalian mencari Pedang Sinar Naga," kata makhluk itu dengan suara yang bergetar seperti suara batu bergesekan. "Hanya mereka yang memiliki hati yang berani dan tulus yang berhak mengambilnya. Buktikanlah keberanian kalian!"
Makhluk itu mengangkat tombaknya dan mengarahkannya ke arah mereka. Raka, Maya, dan Sinta bersiap untuk menghadapi ujian yang menanti mereka.
Raka, Maya, dan Sinta langsung bergerak begitu makhluk penjaga itu mengarahkan tombaknya. Tombak itu memancarkan cahaya yang menyilaukan, dan sesaat kemudian, seberkas energi putih melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang mencengangkan. Kakek Badra dengan sigap mendorong Maya dan Sinta ke samping, sementara Raka mengangkat Kitab Dewa Naga yang lebih kecil, mencoba menciptakan perisai energi. Namun, energi dari tombak itu terlalu kuat, perisai Raka bergetar hebat dan hampir jebol.
"Kita tidak bisa menghadapinya dengan kekuatan biasa!" seru Kakek Badra. "Makhluk itu terbuat dari batu dan kristal! Kita harus mencari cara lain!"
Makhluk penjaga itu bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga untuk ukuran tubuhnya yang besar. Ia mengayunkan tombaknya, menciptakan gelombang energi yang menghantam reruntuhan kuil di sekitar mereka, menghancurkan batu-batu besar menjadi serpihan. Raka, Maya, dan Sinta berlari mencari perlindungan di balik pilar-pilar batu yang masih berdiri kokoh.
"Raka, coba lihat di kitab!" seru Maya, bersembunyi di balik pilar bersamanya. "Mungkin ada sesuatu tentang makhluk seperti ini!"
Raka dengan cepat membuka Kitab Dewa Naga yang lebih besar, membolak-balik halamannya dengan panik. Ia melihat berbagai macam gambar makhluk mitologis, tetapi tidak ada satu pun yang tampak persis seperti penjaga yang mereka hadapi. Ia melihat gambar golem yang terbuat dari tanah, makhluk elemental dari api dan air, tetapi tidak ada yang terbuat dari batu dan kristal.
Tiba-tiba, ia teringat pada ukiran-ukiran di dinding gua bawah tanah. Ia memvisualisasikan simbol mata yang dikelilingi lingkaran, simbol "Kebenaran Tersembunyi." Ia mencoba memfokuskan pikirannya dan mencari simbol itu di dalam kitab. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukannya di dekat bagian yang menceritakan tentang para penjaga kuil di masa lalu. Di samping simbol itu, tertulis beberapa kalimat dalam aksara kuno. Meskipun tidak sepenuhnya ia pahami, satu kata terlintas jelas di benaknya: "Harmoni."
"Harmoni," gumam Raka pelan. "Apa maksudnya?"
Saat ia merenungkan kata itu, ia melihat makhluk penjaga itu kembali menyerang. Kali ini, ia mengayunkan tombaknya ke tanah, menciptakan retakan besar yang menjalar ke arah mereka. Kakek Badra dengan cepat menarik Maya dan Sinta menjauh dari retakan itu.
"Kita harus menemukan cara untuk menenangkan makhluk itu!" seru Kakek Badra. "Ia marah, mungkin karena kehadiran kita mengganggu keseimbangan tempat ini!"
Raka kembali menatap Kitab Dewa Naga. Ia melihat gambar-gambar para dewa naga yang hidup berdampingan dengan alam, menjaga keseimbangan dan harmoni. Ia teringat pada kalimat "Ketika hati yang murni bersatu, kebenaran akan menuntun." Mungkinkah ujian ini bukan tentang kekuatan, tetapi tentang keselarasan?
Dengan keyakinan yang tiba-tiba, Raka menutup kedua kitab itu dan berjalan maju, menjauhi pilar perlindungan. Maya, Sinta, dan Kakek Badra menatapnya dengan cemas.
"Raka, apa yang kau lakukan? Kembali ke sini!" seru Maya khawatir.
Raka tidak menghiraukan panggilan Maya. Ia berdiri tepat di hadapan makhluk penjaga itu, yang kini mengarahkan tombaknya tepat ke jantungnya. Raka mengangkat kedua tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak berniat menyerang.
"Kami datang dengan damai," kata Raka dengan suara tenang namun lantang, meskipun ia merasakan ketakutan yang besar di dalam hatinya. "Kami tidak ingin mengganggu keseimbangan tempat ini. Kami hanya mencari kekuatan untuk melindungi dunia dari kegelapan."
Makhluk penjaga itu tidak menurunkan tombaknya. Matanya yang bersinar menatap Raka dengan intens, seolah-olah sedang membaca isi hatinya. Suasana menjadi tegang dan sunyi.
Raka menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, "Aku tahu kekuatan di tempat ini berasal dari harmoni antara para Dewa Naga dan alam. Kami juga ingin menjaga harmoni itu. Kami ingin menggunakan kekuatan Pedang Sinar Naga bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk melindungi keseimbangan yang sama."
Ia menatap mata makhluk itu dengan penuh keyakinan. "Keberanian bukanlah tentang melawan dengan kekuatan, tetapi tentang melakukan apa yang benar meskipun kita merasa takut. Dan yang benar saat ini adalah mencari harmoni."
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, cahaya di mata makhluk penjaga itu perlahan meredup. Tombaknya diturunkan sedikit. Suara bergetar seperti batu bergesekan kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tenang.
"Hati kalian memang memiliki niat yang murni," kata makhluk itu akhirnya. "Kalian telah menunjukkan keberanian yang sejati, bukan dengan kekuatan, melainkan dengan ketulusan hati. Kalian berhak mengambil Pedang Sinar Naga."
Makhluk penjaga itu menggeser tubuhnya ke samping, memberi jalan bagi Raka untuk mendekati altar. Raka berjalan perlahan menuju altar dan mengulurkan tangannya ke arah pedang yang memancarkan cahaya lembut itu. Saat jari-jarinya menyentuh gagang pedang yang terasa dingin namun penuh energi, ia merasakan gelombang kekuatan yang luar biasa mengalir melalui dirinya, jauh lebih besar dari kekuatan kitab mana pun.
Ia mengangkat pedang itu dari altar. Cahaya putih kebiruan pedang itu semakin terang, menerangi seluruh reruntuhan kuil. Ukiran naga di gagangnya terasa hidup di tangannya. Raka merasakan koneksi yang mendalam dengan pedang itu, seolah-olah pedang itu telah menunggunya selama berabad-abad.
Saat Raka mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, tiba-tiba langit di atas puncak gunung bergemuruh. Awan hitam pekat berkumpul dengan cepat, dan kilatan petir menyambar-nyambar di kejauhan. Angin bertiup kencang, membawa serta bau ozon yang tajam.
"Kaldor pasti merasakan kekuatan pedang ini!" seru Kakek Badra dengan nada khawatir. "Kita harus segera pergi daRaka mengangguk setuju. Mereka telah mendapatkan Pedang Sinar Naga, tetapi bahaya yang lebih besar telah menanti mereka.