Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan Hati Amir
Haris yang mendapat bekal dari Hana segera menyantapnya di posko. Saat makanan masuk ke mulutnya, ia kembali merasakan kerinduan yang mendalam—rasa masakan yang sangat ia kenal. Haris tidak merindukan masakan rumah karena ibunya tidak pandai memasak. Sejak kecil, ia terbiasa makan masakan orang lain, dan ibunya baru belajar memasak setelah Hamzar lahir, itupun hanya masakan biasa.
Mata Haris mendadak memerah dan berkaca-kaca. "Aku rindu sama kamu, Bey... sampai kapan kamu tidak ingat kalau aku ada di samping kamu sekarang?" lirihnya. Ia cepat-cepat menghapus air matanya dan melanjutkan makan.
Tiba-tiba, Fahri muncul. "Beuhh... makan tidak ngajak-ngajak... Bagi dong!" Fahri hendak mengambil sendok, tetapi Haris menepis tangannya.
"Aduh, kenapa lu mukul tangan gue!" keluh Fahri.
"Lu tidak boleh minta. Lu makan yang ada di sana saja," ujar Haris menunjuk nasi bungkus yang tersedia.
"Memangnya kenapa gue minta yang lu? Kayaknya enak tuh..."
"Tidak boleh. Ini punya gue. Ini dari pujaan hati gue, jadi cuma gue yang makan!"
Mendengar itu, Fahri langsung memasang wajah kesal. "Cehh... Mode bucin balik lagi nih... Heuhhh!" Ia kemudian mengambil nasi bungkus dan air mineral, lalu kembali duduk bersama Haris. Akhirnya, mereka makan bersama, meskipun Fahri masih memaksa meminta bekal Haris.
Waktu menunjukkan pukul 1 siang, saatnya Hana pulang setelah menyelesaikan urusan kebunnya. Ia berjalan kaki seorang diri. Setibanya di rumah, ia melihat seorang lelaki duduk di bale rumahnya—Amir yang sedang menunggunya. Hana menghampirinya.
"Hana," sapa Amir.
"Eh, A' Amir... Lama tidak ketemu. Sudah lama di sini?"
Amir tersenyum tipis, "Iya."
"Eumm... Han, aku mau tanya sama kamu... Tapi kita duduk dulu."
"Boleh, A'... Tapi aku mau bereskan ini dulu, ya, sekalian ambil minum buat A' Amir."
Amir mengangguk, dan Hana masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia kembali membawa secangkir kopi.
"Nih, A', kopinya," ujar Hana sembari tersenyum manis.
"Makasih, Han."
Amir menyeruput kopi, lalu menatap Hana dengan serius. "Han... Tadi pagi, aku lihat kamu sama lelaki di rumah ini. Itu siapa?"
Hana terdiam sejenak. "Oh... Itu Haris, A'... Yang petugas posko itu lho."
Amir mengangguk. "Ouh... Akhir-akhir ini aku sering lihat kamu sangat dekat. Kalian ada hubungan kah?"
"Hubungan? Aku sama dia cuma berteman biasa," ujar Hana, yang memang menganggap semua orang adalah temannya.
Amir menatap Hana dengan wajah tidak suka. "Tapi aku tidak menganggap demikian. Pria itu sepertinya menyimpan sesuatu dari kamu."
"Maksud A' Amir apa ngomong kayak gitu?" ujar Hana yang mulai tak nyaman.
Amir terdiam. Ia sepertinya marah dan tidak suka jika Haris berdekatan dengan gadis di sampingnya ini.
"A' Amir," lirih Hana.
Lalu Amir kembali menatap Hana dengan serius. "Aku mau tanya sama kamu. Selama ini kamu anggap aku itu apa?"
"Hah, maksudnya?"
"Jawab saja," desak Amir.
Hana terdiam sejenak. Melihat sikap Amir yang berbeda dari biasanya membuatnya sedikit takut.
"Eummm... Aku anggap A' Amir sebagai kakakku sendiri," ujar Hana jujur.
Mendengar itu, Amir langsung syok. "Kamu cuma anggap aku Kakak dan itu tidak lebih?" Amir menginginkan jawaban yang lebih, bahkan berharap Hana mengelak. Namun, ia semakin kecewa karena Hana mengangguk jujur.
"J-jadi... kamu cuma anggap aku sebagai kakakmu?" lirih Amir tak percaya.
Hana mengangguk pelan. "Iya, A'... Karena A'A selalu baik sama aku... selalu jaga aku... Makanya itu, A'A aku anggap kakakku sendiri."
Amir hanya bisa menghela napas berat. Napasnya mulai tersengal. "Kamu sebenarnya tahu perasaanku selama ini?"
"Maksud A' Amir apa? Aku tidak pa—"
"Aku cinta sama kamu, Hana!" ucapan Hana terpotong begitu saja oleh Amir. Seketika Hana terkejut mendengar pengakuan Amir.
"Ap... Ap-pppaa?" lirihnya syok.
"Aku cinta sama kamu," ujar Amir kembali serius dan menatap mata Hana dengan lekat. "Kamu perempuan pertama yang sudah membuat hatiku berdebar. Semua yang aku lakukan karena aku suka sama kamu... aku cinta sama kamu... tapi kamu malah anggap aku hanya sebagai kakak?" ujar Amir pelan dan tegas. Pria itu sangat kecewa dengan apa yang Hana ucapkan tentang perasaannya. Walaupun sakit hati, ia tidak ingin meninggikan suaranya dan membuat Hana takut padanya.
"Sepertinya kamu lebih suka pria itu karena lebih berpendidikan dibandingkan aku yang hanya seorang petani?"
Hana menggeleng, menandakan omongan Amir itu salah, tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi kebenarannya.
"Lalu apa, Hana? Ada yang kurang sama aku, sampai kamu tidak suka sama aku?"
Hana menunduk sendu. Ia tidak bisa berkutik atau berkata-kata. "Maafkan aku, A' Amir... Aku suka sama A' Amir... A' Amir baik, tapi untuk cinta aku tidak bisa... Hatiku seolah sudah ada yang jaga, A'."
"Yang pasti itu bukan aku, kan?" tanya Amir lagi.
Lagi-lagi Hana terdiam.
"Maafkan aku juga karena sudah terlalu berharap. Tadinya aku ke sini untuk memberikan hadiah kebaya yang sudah kamu impikan selama ini." Mendengar itu, Hana meneteskan air mata dan syok.
"A' Amir..."
Amir pun menghela napas berat. Hatinya begitu sakit karena menerima pernyataan yang pahit seperti ini. Lalu, ia kembali memandangi Hana dengan senyum palsunya.
"Kalau begitu, hubungan kita sampai di sini ya, Han... Aku tidak ingin mengganggu hubungan kalian... dan aku juga tidak ingin menambah rasa sakit di hatiku, Han... Semoga kalian berdua bahagia ya... Aku pergi." Setelah mengatakan itu, Amir pun beranjak dari bale dan mulai berjalan pergi.
Namun, Hana dengan cepat menangkap tangan Amir agar mendengarkan penjelasannya.
"Sudah... Tidak perlu dijelaskan lagi... Aku sudah ikhlas jika kamu memang tidak suka sama aku... Mungkin kita tidak berjodoh." Air mata Hana terus berjatuhan. Amir yang tidak tahan pun langsung pergi meninggalkan lokasi itu.
Lagi-lagi Hana terus memanggil namanya. Namun Amir seolah tuli dan terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Hana pun menangis tersedu. Ia merosotkan tubuhnya hingga terduduk di tanah dan mencengkeramnya.
"Maafkan aku, A' Amir... Maafkan aku."
Setelah puas menangis, ia pun masuk ke dalam rumah dengan gontai. Rasanya tubuhnya kali ini sangat berat sekali. Jalannya pun seperti berputar. Kepalanya pun sangat pusing.
Karena tidak tahan menahan itu semua, ia pun akhirnya jatuh pingsan.
Hana Pingsan dan Haris Kembali Hadir
Puput yang lupa mengantarkan barang ke Hana, pergi ke rumah Hana untuk mengembalikan barang tersebut sekaligus bermain dengannya. Setibanya di rumah, ia terkejut karena pintu rumah terbuka. Karena Minarsih masih dirawat, di rumah hanya ada Hana sendirian.
Dengan terburu-buru, Puput pun masuk dan syok melihat Hana sudah terkapar di lantai.
"Ya Allah... Hana!!!" jeritnya sembari membawa Hana ke pelukannya. Lalu, Puput berusaha mengguncang tubuhnya serta menepuk pipinya agar tersadar. Namun, Hana tidak sadar juga.
Alhasil, ia membawa Hana ke posko terdekat dengan bantuan warga.
"Ris... Ada pasien di posko nomor 39," lapor seorang petugas.
"Oke..."
Haris pun berjalan dengan cepat mengenakan jas dokternya. Setelah hampir sampai, dari kejauhan ia melihat Puput mondar-mandir dengan wajah khawatir.
"Loh, Puput? Kamu ngapain di sini?" tanya Haris.
Puput terlihat syok saat melihat Haris. "Pak Haris... Tolong teman saya... Hana ada di dalam!"
"Hana ada di dalam?" ujar Haris setengah terkejut, yang dibalas anggukan oleh Puput.
"Kamu tunggu di ruang Bu Minarsih, ya... Kamu harus tetap tenangkan diri kamu... Saya akan menjaga Hana."
"Benar, Pak Haris? Tolong ya... Kalau gitu, saya permisi," ujar Puput.
"Baiklah..."
Setelah Puput pergi, dengan cepat Haris memasuki ruang posko. Ternyata benar, Hana terbaring di sana. Ia pun segera memeriksa keadaan Hana dengan wajahnya yang sedikit panik.
Mendengar detak jantungnya stabil, Haris pun bisa menghela napas lega. "Syukur dia gak apa-apa... Hanya pingsan biasa," batin Haris.
Tak lama kemudian, Hana mengerjapkan matanya berulang kali dan melihat Haris ada di depannya.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Haris.
Lalu, tanpa diduga, Hana memeluk tubuh Haris dengan kencang, disertai isak tangis yang memilukan.
"Kamu kenapa nangis?" tanya Haris lembut.
Hana tak menjawab, ia terus menangis bahkan membuat jas putih Haris basah oleh air matanya. Tanpa mengeluarkan suara, Haris membalas pelukan tersebut dan memberikan ketenangan. Entah kenapa, gadis itu seperti tidak asing dengan tubuh Haris ini. Ia merasa seperti pernah merasakan pelukan pria tersebut. Ia pun mengeratkan pelukannya.
"Aku... Maafkan aku... Maafkan aku," ujar Hana berulang kali.
Mendengar itu, Haris hanya terdiam. Ia membiarkan Hana mengoceh sendiri sampai hatinya merasa tenang.
"Tenang ya," ujar Haris.
Hampir sepuluh menit Hana menangis, akhirnya tangisannya mulai mereda. Pelukannya pun mulai mengendur. Hana melepaskan pelukannya. Lalu Haris menangkup wajah Hana dan menghapus air matanya.
"Kenapa, hm? Mau cerita sama aku?"
Awalnya Hana terdiam. Tapi, perlahan Hana menceritakan semua kejadian dirinya dengan Amir. Mendengar itu, Haris merasakan cemburu pada pria itu. Namun sekaligus senang karena pria itu peka jika Hana hanyalah miliknya.
"Sudah, jangan nangis lagi... Itu bukan salah kamu."
"T-tapi... aku tidak enak sama Amir, Ris... Aku harus bagaimana?"
Haris menghela napasnya. "Dengar ya, Hana... Naluri pria akan merasakan cemburu saat wanita yang dicintainya itu dekat dengan pria lain. Itulah yang dirasakan oleh Amir, bahkan juga diriku. Dan itu tidak salah siapapun... Kami yang merasakan... Bukan berarti itu salah orang yang kami cintai."
"Menyukai seseorang memang penuh risiko... Hanya dua pilihan, yaitu menerima atau mengikhlaskan. Kamu paham maksudku?"
Hana mengangguk pelan. Lalu, ia pun kembali menatap Haris dengan serius.
"Ris... Kok aku merasa kayak pernah dipeluk kamu, ya... Padahal baru pertama kali," ujar Hana yang memang tidak mengetahui masa lalunya.
Haris mendengar itu hanya mengulum senyumnya. "Sudah, tidak usah dipikirkan... Nanti kamu juga tahu... Istirahat ya..."
"Aku mau ke ruangan pasien lain... Kamu di sini ya, baik-baik."
"Iya..."
Haris pun kemudian pergi dari ruangan tersebut dan menuju ke suatu tempat.
***
Sementara itu, Amir sedang berada di kebunnya dengan wajah tidak bersemangat. Ia hanya terduduk sembari memainkan rumput liar.
"Kenapa, Hana... Aku ingin sekali kamu menerimaku... Maafkan aku karena bersikap acuh padamu," batin Amir.
Amir terus menatap lurus ke depan sembari mencabuti rumput liar.
"Permisi... Lu Amir, kan?"
Mendengar itu, Amir langsung menoleh ke arah pria tersebut. Sepertinya ia mengenal pria itu.
"Kamu?"
"Iya... Gue mau ngomong sama lo sebentar," jawab Haris. Orang yang berbicara dengan Amir itu adalah Haris. Ia sengaja menemuinya untuk menceritakan semuanya mengapa ia begitu mengincar Hana.
"Ada datang kemari? Hana tidak ada di sini," ujar Amir.
"Ya, memang... Karena Hana ada di posko kesehatan!" ujar Haris sengit.
Mendengar itu, Amir syok.
"Tidak usah syok... Dia cuma kaget karena lu tiba-tiba marah sama dia."
Akhirnya Amir mempersilakan Haris duduk. Mereka berbincang dan mengobrol soal Hana. Haris pun menceritakan maksud dari kedatangannya dan mengapa ia mengincar Hana. Mendengar itu, Amir sedikit tidak percaya. Namun, dengan bukti nyata, Amir pun akhirnya percaya akan hal itu.
"Jadi... Hana itu adalah Nahda, pacarmu?" tanya Amir.
"Iya... Makanya itu gue selalu ingin dekat sama dia. Gue mau bawa pulang nanti kalau sudah habis tugas."
"Maafkan saya... Saya tidak tahu soal itu..."
"Tidak apa... Lagipula kamu cowok baik hati."
Mereka pun terdiam satu sama lain. Menyukai perempuan yang sama, namun dengan identitas yang berbeda, memang sangat sulit. Setelah lama berbincang, akhirnya Haris memutuskan untuk pergi dari sana. Sementara Amir hanya bisa terdiam. Dia masih syok akan apa yang telah ia dengar barusan.