NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kepercayaan yang Tumbuh

Aira kembali bekerja seperti biasa setelah beberapa hari beristirahat.

Rasa lelah yang sempat menguasainya kini mulai menghilang, tergantikan oleh semangat baru.

Kafe yang sedang dalam tahap renovasi itu hampir selesai, dan Aira merasa senang melihat kemajuan yang signifikan.

Setiap detail yang ia desain mulai terbentuk dengan baik, dan itu memberinya kepuasan tersendiri.

Namun, hari ini Abraham tidak bisa menemaninya karena pagi-pagi sekali, ia sudah harus pergi ke pertemuan penting yang tak bisa ia tinggalkan.

Sebelum pergi, Abraham sempat berpesan, "Aira, semangat untuk hari ini. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi aku, ya?" dengan senyuman hangat di wajahnya. Aira mengangguk, meskipun ada sedikit rasa cemas dalam dirinya.

Dia sudah terbiasa bekerja sendirian, tetapi kehadiran Abraham memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.

Tengah hari, saat Aira sedang sibuk merapikan beberapa catatan desain, pintu kafe terbuka dan masuklah Niko, membawa beberapa kotak makan siang yang tampak menggoda. Aira tersenyum dan menyambut teman kerjanya itu.

“Seperti biasa, Niko, terima kasih banyak! Aku benar-benar butuh energi tambahan untuk menyelesaikan desain ini,” ucap Aira sambil menerima kotak makanan dari tangan Niko.

Niko tersenyum lebar. “Tentu saja, Aira! Aku tahu kamu pasti sibuk banget, jadi aku bawa makanan yang kamu suka. Semoga bisa memberimu semangat!”

Aira duduk di meja, membuka kotak makanannya, dan mulai menikmati makan siangnya.

Mereka berbincang-bincang ringan, membahas beberapa hal seputar pekerjaan dan rencana Aira untuk kafe ini.

Kehadiran Niko memberi sedikit keceriaan, meskipun Aira merasa ada yang berbeda dalam dirinya belakangan ini.

Sementara itu, sore harinya, Abraham yang baru selesai dari pertemuan tiba-tiba melintas di depan kafe yang sedang direnovasi.

Ia melihat Niko keluar dari kafe dengan senyum lebar, membawa tas kecil di tangan.

Pemandangan itu membuatnya berhenti sejenak. Ada perasaan yang aneh yang muncul di dalam dirinya, meskipun ia tidak bisa langsung menafsirkan perasaan itu.

"Siapa dia?" tanya Abraham dalam hati, meskipun ia berusaha menahan rasa cemburu yang mulai menggelora.

Ia belum sepenuhnya bisa mengontrol perasaan itu, namun ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Ia memutuskan untuk bertanya lebih lanjut.

Beberapa saat kemudian, ia memasuki kafe dan mendekati Aira yang sedang duduk di meja sambil menikmati makanannya.

Ketika Aira melihatnya, ia tersenyum. “Oh, Pak Abraham! Terima kasih sudah datang. Niko baru saja membawakan makan untukku.”

Abraham mengangguk pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.

"Niko?" tanya Abraham dengan suara tenang.

Aira mengangguk. “Iya, Niko teman kerjaku di perusahaan desain. Dia sering membantu aku jika aku butuh sesuatu. Kami sudah saling kenal sejak lama.”

Abraham merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu.

Dia menyadari bahwa dirinya mulai khawatir lebih dari yang seharusnya, terutama setelah melihat Niko yang tampaknya cukup akrab dengan Aira.

Namun, ia berusaha menenangkan diri. "Oh, begitu," jawabnya, mencoba menunjukkan sikap yang lebih santai.

Aira melirik wajah Abraham, melihat bahwa pria itu terlihat agak berbeda—sedikit tegang. "Ada apa, Pak Abraham? Sepertinya Anda agak… khawatir tadi."

Abraham tersenyum sedikit, meskipun ekspresinya masih tampak serius. "Hanya… penasaran saja. Aku kira Niko itu…" Abraham berhenti sejenak, mengendalikan dirinya. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja."

Aira tertawa kecil, merasakan ketegangan yang mulai mereda.

"Ah, tidak usah khawatir, Pak. Niko hanya teman kerja. Tidak lebih dari itu."

Ia tersenyum meyakinkan, namun dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya tentang perasaan Abraham.

Apakah ini tanda bahwa ia mulai peduli lebih dari sekadar seorang teman?

Abraham mengangguk, meskipun di dalam hatinya masih ada sedikit perasaan cemas yang belum sepenuhnya hilang.

"Baiklah, kalau begitu. Kalau ada yang perlu dibantu, jangan ragu untuk memberitahuku, Aira."

Aira tersenyum lagi, merasa sedikit lebih lega karena Abraham tidak melanjutkan pertanyaannya lebih jauh.

“Terima kasih, Pak Abraham. Aku akan selesaikan ini secepatnya.”

Sebelum Abraham pergi, ia melirik Niko yang kini sudah kembali ke mobilnya.

Sebuah perasaan aneh menghampiri dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Namun, Abraham tahu, ini adalah perjalanan yang harus ia hadapi.

Aira mulai membuka hatinya, dan itu adalah langkah yang besar.

Sebagai seorang pria yang mulai peduli padanya, Abraham harus belajar untuk memberi ruang, tetapi juga untuk melindunginya dari segala ancaman, baik dari masa lalu maupun masa depan.

Pulangnya Nayla ke kafe terasa sangat sepi malam itu.

Dengan langkah lelah, ia menutup pintu belakang kafe dan menguncinya dengan hati-hati, memastikan kafe sudah tutup.

Hari itu cukup panjang, dan ia butuh istirahat. Namun, ketenangannya hanya berlangsung beberapa detik.

Saat Nayla berbalik untuk menuju ruang istirahat, tiba-tiba pintu depan kafe terbuka, dan seseorang masuk dengan langkah pasti.

Seketika, Nayla terkejut ketika melihat sosok yang sudah lama ia hindari yaitu Delon.

"Delon...?" Nayla hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Namun, lelaki itu tidak menunjukkan ekspresi apapun selain wajah penuh amarah yang membuat Nayla takut.

“Ayo ikut aku pulang,” Delon berkata dengan nada keras, seolah itu adalah perintah yang tak bisa ditolak.

Nayla merasakan tubuhnya menjadi kaku. Ia tidak ingin pergi bersamanya, tapi saat Delon mendekat, menggenggam tangannya dengan keras, perasaan ketakutan itu kembali menghantuinya.

Matanya dipenuhi dengan ketakutan, dan ia berusaha untuk menarik tangannya, tapi Delon semakin mempererat genggamannya.

“Apa yang kau lakukan, Delon? Lepaskan aku!” Nayla berusaha menarik tangannya, namun Delon semakin menggenggamnya dengan kasar.

“Ayo, jangan membantah. Rumah sangat kotor, dan kau harus membersihkannya. Itu tugasmu!” Delon memaksa, wajahnya berubah marah. Kejam.

Saat itu, Nayla bisa merasakan bahwa Delon adalah pria yang penuh dengan kekerasan dan kontrol.

Nayla sangat ketakutan. Kenangan buruk tentang hubungan mereka yang dulu kembali menyerbu pikirannya. Ketakutan, ancaman, dan kekerasan emosional yang selalu ia rasakan ketika bersama Delon. Matanya mulai berkaca-kaca, dan seluruh tubuhnya bergetar.

"Tidak, Delon. Aku tidak mau!" jawab Nayla dengan suara gemetar, mencoba mempertahankan dirinya.

Namun, Delon tak peduli. Genggamannya semakin kuat, membuat Nayla kesulitan bernapas.

Namun, sebelum situasi itu semakin memburuk, terdengar suara mobil yang mendekat.

Nayla hampir tidak mendengarnya karena ketakutannya, tetapi Delon tampak menoleh sekilas ke arah suara itu.

Abraham, yang kebetulan masih ada disana melihat kejadian itu dari luar.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengerem mobilnya dan keluar dengan langkah cepat.

Abraham berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Delon yang masih menggenggam tangan Nayla dengan kasar.

"Lepaskan tangan Aira!" kata Abraham dengan suara yang tegas, namun penuh ancaman.

Delon berbalik dengan ekspresi bingung. “Siapa kamu?” tanyanya kasar, tak mengerti siapa yang berani mengganggu urusannya.

Namun, Abraham tidak menjawab langsung. Dia mengangkat ponselnya dan mengirimkan pesan singkat ke anak buahnya, meminta mereka untuk menangani Delon dengan cara mereka sendiri secara diam-diam.

Abraham kemudian melangkah mendekat, namun dengan tegas ia berkata, "Kalau kamu tidak melepaskan Aira sekarang juga, akan ada konsekuensi besar untukmu."

Tentu saja, Delon tidak tahu siapa Abraham sebenarnya. Itu yang membuat Abraham tetap tenang dan menjaga identitasnya tetap tersembunyi, meskipun perasaan marah dan geram hampir meluap.

Tiba-tiba, dari arah belakang, dua orang pria muncul, mendekati Delon dengan kecepatan tinggi.

Mereka segera menghampiri Delon dan menyeretnya, memberikan pukulan ringan namun cukup keras untuk membuatnya terjatuh.

Delon, yang tak siap dengan serangan itu, berusaha bangkit, namun kedua pria itu mengalahkannya dengan cepat.

Dalam hitungan detik, wajah Delon sudah babak belur dan dia terjatuh ke tanah.

Dua pria itu melepaskan Delon dan pergi begitu saja, tanpa meninggalkan jejak.

Abraham tetap diam, memandang kejadian itu dari jauh.

Setelah para pria pergi, ia berjalan mendekati Nayla yang masih terlihat ketakutan. Wajahnya pucat, dan tubuhnya gemetar hebat.

“Aira…” Abraham memanggil dengan lembut, mendekatkan tangan untuk meraih bahunya.

Nayla, yang belum sepenuhnya sadar dari ketakutannya, menatap Abraham dengan mata penuh kebingungan dan rasa takut.

“Dia... dia datang lagi, Pak Abraham. Aku… aku tidak bisa melawan dia. Aku… takut.”

Abraham merasakan hati kecilnya menyesak melihat kondisi Nayla yang rapuh.

Ia tahu bahwa ini adalah efek dari trauma masa lalu Nayla dan itu adalah sesuatu yang harus ia bantu atasi.

“Tapi sekarang, semuanya sudah selesai, Aira. Delon tidak akan mengganggumu lagi. Aku pastikan itu.”

Abraham memegang bahu Nayla dengan lembut, memberikan rasa aman dan tenang, meskipun ia tahu perasaan Nayla tidak akan mudah pulih dalam sekejap.

Nayla menangis sesenggukan, tak bisa menahan rasa takut yang menumpuk.

Abraham tahu, ini bukan hanya soal melindungi Nayla dari ancaman fisik. Ini adalah perjuangan untuk membangun kembali rasa percaya dirinya, dan ia siap membantu.

Abraham melangkah ke samping Nayla, duduk di dekatnya dan menunggu sampai tangisnya mereda. Setelah beberapa saat, ia menambahkan dengan lembut, “Jangan khawatir, Aira. Kamu tidak sendirian. Aku akan ada di sini.”

Di luar, malam mulai merayap, namun bagi Nayla, malam ini terasa seperti awal baru, meski dengan rasa takut yang masih ada.

Setelah Delon pergi dengan wajah babak belur, Abraham mendekat ke arah Aira yang masih duduk di lantai kafe, tubuhnya gemetar hebat.

Matanya penuh dengan ketakutan, dan air matanya tak henti mengalir.

Abraham tidak bisa menunggu lebih lama lagi, hatinya terluka melihat kondisi Aira yang begitu rapuh.

Dengan gerakan lembut namun pasti, Abraham membungkuk dan mengangkat tubuh Aira yang lemas ke dalam pelukannya.

Aira yang tidak berdaya menundukkan kepalanya, terisak pelan di dada Abraham.

“Aira, kamu aman sekarang,” bisik Abraham, suaranya penuh ketenangan.

Dia tahu ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga ketenangan yang harus diberikan kepada Aira agar bisa merasa terlindungi.

Aira yang masih terisak mendengarkan suara lembut Abraham, namun tubuhnya masih terasa kaku dan cemas.

Semua ingatannya tentang Delon, yang selama ini ia coba lupakan, kembali menyerbu pikirannya.

Dalam pelukan Abraham, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketakutannya belum sepenuhnya hilang.

Dengan hati-hati, Abraham membopong tubuh Aira yang masih rapuh dan berjalan keluar dari kafe.

Ia tidak ingin membiarkan Aira berada di tempat itu lebih lama.

Delon sudah pergi, tetapi bekas trauma yang ditinggalkan sangatlah dalam.

Di luar, udara malam yang sejuk menyambut mereka. Abraham menuju mobilnya, memastikan Aira merasa nyaman di pelukannya.

Begitu mereka sampai di mobil, Abraham membuka pintu dan dengan hati-hati menempatkan Aira di kursi penumpang.

“Kamu akan baik-baik saja. Aku akan membawamu pulang,” ujar Abraham dengan nada lembut namun tegas.

Perjalanan menuju apartemen Aira terasa lebih lama dari biasanya.

Aira duduk di kursi penumpang, masih terisak pelan. Abraham menoleh ke arah Aira dari waktu ke waktu, berusaha meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat mereka sampai di apartemen, Abraham keluar dari mobil terlebih dahulu dan membuka pintu untuk Aira.

Dia dengan lembut mengulurkan tangan untuk membantunya keluar dari mobil. Aira tidak menolak, meskipun tubuhnya terasa lelah dan rapuh.

“Ayo, Aira. Kamu bisa tidur sebentar, istirahat yang cukup,” ujar Abraham sambil menggenggam tangan Aira dengan lembut, memastikan ia merasa aman.

Begitu mereka sampai di depan pintu apartemen, Abraham memegang kunci dan membukanya.

Aira perlahan melangkah masuk, diikuti oleh Abraham yang menutup pintu di belakangnya.

Ia memandu Aira menuju sofa besar di ruang tamu dan membantu Aira duduk dengan hati-hati.

“Aku akan buatkan teh hangat untukmu. Tidur dulu, Aira. Kita bicara nanti, setelah kamu merasa lebih baik,” ujar Abraham, mencoba memberi kenyamanan pada Aira yang masih shock.

Aira hanya mengangguk pelan, melepaskan jaketnya, dan merebahkan tubuhnya di sofa.

Rasa lelah begitu menyeluruh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bisa sedikit lebih aman.

Abraham pergi ke dapur untuk menyiapkan teh hangat, tetapi ia kembali dengan cepat, membawa secangkir teh dan duduk di samping Aira.

“Minumlah ini. Aku akan tetap di sini, sampai kamu merasa lebih tenang,” kata Abraham, memberinya secangkir teh.

Aira menatap Abraham dengan mata yang masih sembab, namun untuk pertama kalinya, ia merasa seseorang peduli padanya.

Ia menggenggam cangkir teh itu, mencoba untuk menghangatkan tubuhnya dan hatinya yang terluka.

“Apa yang akan terjadi sekarang?” tanya Aira dengan suara gemetar, matanya penuh dengan kebingungan.

Abraham memandangnya dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan yang Aira butuhkan.

“Kita akan melalui ini bersama. Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi, Aira. Kamu aman sekarang.”

Aira menatap wajah Abraham dengan rasa terima kasih yang mendalam.

Tanpa ia sadari, ia mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit. Ia tahu, meskipun perjalanan ini masih panjang, Abraham akan ada untuknya, melindunginya.

Aira meneguk teh hangat itu, merasakan kehangatannya yang menenangkan.

Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan ia pun terlelap dalam tidur yang dibutuhkan tubuhnya.

Abraham tetap duduk di sampingnya, memastikan Aira tidur nyenyak dan merasa aman.

Ia tahu bahwa langkah selanjutnya adalah membantu Aira melewati trauma masa lalunya, tapi malam ini, ia ingin Aira merasa damai.

Abraham duduk di sebelah Aira yang terbaring di sofa, matanya setengah tertutup.

Aira tampak melamun, pikirannya terjebak dalam kenangan masa lalu yang penuh dengan ketakutan dan luka.

Abraham memperhatikannya dengan cermat. Ia bisa merasakan betapa rapuhnya Aira, betapa kuatnya dampak trauma yang ia rasakan.

Sebagai seseorang yang sering kali mengontrol segalanya, kini Abraham merasa dirinya harus melakukan sesuatu yang lebih untuk membantu Aira.

Aira tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk, tampaknya tenggelam dalam pikirannya.

Abraham tahu bahwa ia perlu lebih dekat lagi dengan Aira, memberi rasa aman yang lebih dalam. Namun, ia juga sadar bahwa langkah ini harus diambil dengan hati-hati.

Dengan sedikit keraguan, Abraham berdiri dan mendekati tempat tidur. Perlahan, ia duduk di samping Aira, masih memastikan bahwa ia tidak membuatnya merasa terancam.

Ia menatap wajah Aira yang tertunduk, matanya yang berkaca-kaca.

"Aira," ujar Abraham dengan lembut, suaranya hampir seperti bisikan. "Kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu."

Aira menoleh sedikit ke arah suara Abraham, wajahnya masih terbingung, tetapi ada sesuatu yang lebih tenang dalam tatapannya.

Abraham melihat Aira seolah bertanya-tanya apakah ia benar-benar bisa mempercayainya sepenuhnya.

Abraham menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

Dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun mereka baru saja melalui malam yang sulit, ada banyak langkah yang harus mereka ambil untuk membuat Aira merasa aman dan terlindungi.

Tanpa berpikir panjang lagi, Abraham memberanikan diri.

Dengan gerakan hati-hati, ia menarik tubuh Aira ke dalam pelukannya.

Lembut dan penuh perhatian, ia melingkarkan lengannya di sekitar tubuh Aira, memastikan ia tidak terlalu mendekatkan dirinya agar Aira merasa tertekan.

Aira sempat terkejut. Tubuhnya kaku, tetapi ketika ia merasakan kehangatan dan kekuatan pelukan Abraham, ia merasa sedikit lega.

Perlahan-lahan, Aira menutup matanya, tubuhnya mulai meresapi ketenangan yang datang dari pelukan itu.

Abraham memeluknya dengan penuh kasih sayang, membiarkan Aira merasakan kenyamanan yang ia butuhkan.

"Aira, kamu tidak harus melawan semuanya sendiri," kata Abraham, suaranya dalam dan penuh kehangatan. "Aku di sini. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu."

Aira menghela napas panjang, merasakan ketenangan perlahan meresap ke dalam dirinya.

Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang mulai berubah.

Mungkin ini adalah awal dari kesembuhan yang ia butuhkan.

“Aku takut,” bisik Aira setelah beberapa saat, suaranya hampir tidak terdengar.

“Aku takut untuk percaya lagi. Aku takut rasanya akan kembali seperti dulu…”

Abraham menyentuh rambut Aira dengan lembut, menenangkannya. "Aku mengerti. Tetapi kamu tidak perlu takut. Aku akan membantumu, Aira. Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu lagi, terutama bukan aku."

Pelukan Abraham menghangatkan tubuh Aira, dan meskipun kata-katanya sederhana, mereka memberikan rasa aman yang Aira sangat butuhkan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada harapan, bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Aira menundukkan kepalanya lebih dalam ke dada Abraham, merasakan kenyamanan dari pelukan itu.

Perlahan, ketegangan yang selama ini menghimpit hatinya mulai mereda. Ia masih terluka, tapi setidaknya malam ini, ada seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang tidak akan pergi begitu saja.

Setelah beberapa saat, Abraham bisa merasakan tubuh Aira mulai rileks dalam pelukannya.

Ia memutuskan untuk tetap berada di sampingnya sampai Aira merasa benar-benar tenang.

"Aira," kata Abraham setelah beberapa saat, "Aku di sini, selalu ada. Tidak ada yang bisa memaksamu untuk melupakan apa yang terjadi, tapi kita bisa menjalani hari-hari ke depan bersama-sama."

Aira mengangguk pelan, meskipun kata-katanya masih berat di hati, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Dalam pelukan itu, ia merasa sedikit lebih kuat.

Abraham tidak berkata apa-apa lagi, hanya membiarkan kediaman mengalir di antara mereka.

Dengan pelukan itu, ia berusaha meyakinkan Aira bahwa meskipun masa lalunya gelap, masa depan bisa lebih cerah.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!