NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:500
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Enam bulan telah berlalu sejak kelahiran Reiny Puja Prameshwari dan dalam kurun waktu itu, kehidupan rumah tangga Grilyanto dan Sri terus berjalan dalam kesederhanaan yang hangat.

Pramesh tumbuh sehat, mulai bisa duduk sendiri, mengoceh tanpa henti dan matanya selalu berbinar setiap kali melihat ayah dan ibunya tersenyum.

Malam itu udara Surabaya mulai dingin ketika Grilyanto menenteng dua koper kecil ke teras rumah kontrakan mereka di Bumiarjo.

Sri menggendong Pramesh yang dibalut jaket rajut tipis warna merah muda dan topi kecil berbordir bunga.

Wajah bayi mungil itu bersinar dalam remang cahaya lampu jalanan.

Pramesh tersenyum lebar saat melihat wajah ayahnya yang muncul dari balik pintu, sambil membawa botol susu dan mainan kayu kecil berbentuk kuda.

“Siap berangkat?” tanya Grilyanto dengan senyum lebar.

“Si kecil sudah mandi, sudah kenyang, dan sekarang tinggal tidur nanti di bus.” jawab Sri sambil menganggukkan kepalanya.

Mereka menuju terminal menggunakan becak langganan.

Malam itu jalanan cukup lengang dan hanya deru kendaraan sesekali menyusup di antara dingin angin malam.

Pramesh tampak nyaman dalam pelukan ibunya, matanya terus menatap lampu-lampu kota yang memantul di jendela becak.

Sesampainya di terminal, bus malam menuju Magelang sudah menunggu.

Lampu kabin bus yang hangat menyambut mereka. Grilyanto mengangkat koper ke bagasi atas sementara Sri duduk di bangku tengah dekat jendela, mengatur posisi Pramesh di pangkuannya.

Gadis kecil itu tertawa pelan, tangannya menepuk-nepuk dada ibunya, seolah tahu bahwa malam ini mereka akan memulai perjalanan yang istimewa.

“Dia senang,” ucap Sri pelan.

“Dia anakku, tentu senang kalau diajak jalan-jalan,” sahut Grilyanto sembari duduk di samping mereka.

Bus mulai bergerak perlahan dan meninggalkan terminal, lalu melaju mantap menembus malam.

Lampu-lampu kota Surabaya menjadi titik-titik cahaya yang surut satu per satu, digantikan gelap malam yang sunyi.

Di dalam bus hanya suara mesin dan sesekali dengkuran pelan dari penumpang yang mulai tertidur.

Sri mengayun-ayun tubuhnya menenangkan Pramesh yang mulai menguap.

Anak itu tertidur dalam dekapan hangat, wajahnya tenang, napasnya teratur.

Grilyanto memandangi keduanya, lalu menggenggam tangan istrinya.

“Terima kasih,” ucapnya pelan.

“Untuk apa?”

“Untuk jadi ibu yang baik. Untuk jadi istri yang setia. Untuk segalanya.”

Sri hanya tersenyum dan menggeleng pelan, menahan haru yang tiba-tiba merayap ke tenggorokannya.

Tak ada balasan kata yang ia ucapkan, hanya genggaman lebih erat sebagai isyarat bahwa rasa itu pun sama.

Bus terus melaju dan di luar jendela, hamparan sawah, pepohonan dan jalan panjang yang seolah tiada ujung melintas begitu saja.

Malam terus bergulir dimana bintang-bintang bertabur di langit dan kehangatan keluarga kecil itu menjadi cahaya tersendiri di dalam dinginnya perjalanan malam menuju Magelang.

Di tengah keheningan itu, Grilyanto memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke jendela.

Di sampingnya, Sri telah tertidur sambil memeluk Pramesh dengan penuh kasih.

Sebuah babak baru dalam kisah hidup mereka kembali terbuka dan kali ini sebagai sebuah keluarga yang utuh membawa cinta, harapan serta restu menuju rumah di mana segalanya pernah bermula.

Bus berhenti perlahan di pelataran Rumah Makan Duta di wilayah Ngawi.

Seperti biasa saat malam sudah larut dan perut para penumpang mulai meronta meminta haknya.

Lampu-lampu neon rumah makan menyala terang, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik dan deretan meja kayu panjang yang mulai dipenuhi penumpang lain.

Grilyanto segera turun membawa kupon makan yang diberikan oleh kondektur.

"Aku pesan makanan dulu ya." ucap Grilyanto.

Sri menganggukkan kepalanya sambil tersenyum singkat lalu membuka tas perlengkapan bayi dan mengeluarkan kain penutup khusus menyusui.

Ia menutupi tubuhnya dengan kain bermotif bunga kecil memastikan Pramesh tetap nyaman dalam pelukan dan bisa menyusu tanpa terganggu suasana ramai.

Grilyanto berjalan ke loket pemesanan, mengisi daftar kupon dua nasi ayam bakar, satu soto ayam hangat, secangkir kopi hitam, dan segelas es sirup manis.

Ia kemudian membawa baki berisi makanan dan minuman itu ke salah satu meja paling pojok tempat Sri sudah duduk dengan nyaman sambil terus mengayun pelan Pramesh yang sedang menyusu dengan tenang.

Ia meletakkan baki pelan-pelan takut mengganggu suasana damai itu.

Kemudian ia duduk di seberangnya, memperhatikan istrinya yang tengah sibuk menjalankan peran sebagai ibu.

Sorot matanya lembut dan ada kekaguman yang tidak bisa disembunyikan di balik senyumnya.

"Kalau nanti Pramesh sudah selesai, kita makan bareng ya. Ayam bakarnya enak," ujar Grilyanto pelan, menjaga nada suaranya agar tak mengusik bayi kecil mereka yang sedang tenang.

Sri mengangguk lagi, matanya berbinar penuh rasa syukur.

"Dia sudah mulai kenyang. Sebentar lagi tidur."

Benar saja, tak lama kemudian Pramesh berhenti menyusu, matanya setengah terpejam, lalu tertidur pulas di pelukan Sri.

Dengan hati-hati, Sri menyelipkan kain penutup ke tas, lalu menidurkan Pramesh di atas bantal kecil yang dibawanya.

Setelah itu mereka mulai menikmati nasi ayam bakarnya.

Mereka makan bersama dalam suasana hangat. Sesekali mata mereka saling bertemu dan tersenyum.

Di luar suara deru kendaraan terus berlalu tapi di pojok rumah makan sederhana itu.

Waktu seperti berhenti sejenak bagi keluarga kecil yang sedang menikmati kebahagiaan dalam bentuk yang paling sederhana bersama, sehat, dan penuh cinta.

Selesai makan, Grilyanto menyesap kopinya pelan dan masih tiga jam lagi perjalanan ke Magelang.

"Kita nikmati saja ya. Ini perjalanan pertama kita bertiga ke Magelang."

"Semoga semuanya lancar. Semoga Pramesh juga kelak bisa mengenal tanah kelahiran ayahnya dan disayangi semua keluarga."

Grilyanto menggenggam tangan Sri di atas meja, erat dan hangat.

Tak ada kata lagi yang perlu diucapkan. Karena di antara genggaman itu, mereka tahu cinta yang mereka bangun kini tumbuh semakin dalam dan keluarga kecil ini sedang menapaki langkah-langkah bahagia mereka sendiri.

Setelah menyelesaikan makan malam sederhana namun penuh kehangatan di Rumah Makan Duta, Grilyanto bangkit lebih dulu sambil membenarkan posisi tas kecil berisi perlengkapan bayi.

Ia menatap Sri yang tengah menggendong Pramesh, kini tertidur pulas dengan pipi menempel lembut di bahu ibunya.

Wajah bayi itu begitu damai, seolah tahu bahwa dalam pelukan ibunya dunia terasa hangat dan aman.

“Ayo, Sri. Bentar lagi bis jalan,” ucap Grilyanto pelan, menyentuh lengan istrinya.

Sri menganggukkan kepalanya dan berdiri perlahan. Dengan gerakan hati-hati mereka kembali naik ke dalam bis malam yang sudah menyalakan mesin.

Penumpang lain juga beranjak kembali ke tempat duduk masing-masing, beberapa masih mengantuk, ada yang bersandar, ada pula yang langsung terlelap begitu duduk.

Grilyanto membantu Sri menaiki tangga bis, lalu mereka kembali duduk di kursi yang sama di dekat jendela.

Lampu kabin diredupkan dan jalanan kembali sunyi saat bis mulai melaju, membelah malam yang dingin dan sepi.

Grilyanto menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil sesekali mengelus punggung Sri yang bersandar di bahunya.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan berkelok, desa-desa yang mulai terlelap dan pemandangan samar yang hanya terlihat oleh cahaya bulan dan lampu jalan.

Waktu berjalan perlahan dan Sri akhirnya tertidur dengan Pramesh masih dalam dekapannya.

Grilyanto menatap keluar jendela, melihat kelap-kelip bintang, lalu menatap kembali istri dan anaknya. Hatinya terasa penuh.

Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi saat bis perlahan berhenti di perempatan Armada, Magelang.

Udara dingin khas pegunungan langsung menyambut mereka saat turun dari bis.

Sri menggigil kecil lalu merapatkan jaket tipis yang ia kenakan. Pramesh masih tidur, meski sesekali menggerakkan tangan kecilnya.

Grilyanto membawa satu tas besar di punggung dan satu di tangan sementara Sri membawa tas bayi.

Mereka berjalan pelan menuju pangkalan angkot yang sudah buka meski langit belum menampakkan fajar sepenuhnya. Seorang sopir angkot yang mengenal Grilyanto langsung menyapa.

“Mau ke Magersari, Mas Gril?” tanya sopir yang kenal dengan Grilyanto.

“Iya, Pak. Biasa mudik."

“Naik aja. Bentar lagi berangkat.”

Mereka naik ke angkot berwarna biru, duduk di bangku belakang.

Di dalam angkot hanya ada mereka bertiga dan satu penumpang lain yang tampaknya pedagang sayur.

Sri membenarkan posisi Pramesh di pelukannya dan menyandarkan kepala ke bahu Grilyanto.

Sementara Grilyanto menatap jalan yang mulai terang, memikirkan banyak hal tentang rumah yang akan mereka tuju.

Tentang ibu yang akan menyambut, dan tentang masa depan yang kini hadir dalam wujud anak perempuan mungil bernama Pramesh.

Saat angkot mulai bergerak perlahan menembus jalanan pagi Magelang yang dingin dan lenggang.

Grilyanto merapatkan jaketnya dan menoleh ke arah Sri dan Pramesh

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!