Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sembilan bulan kemudian, pagi yang seharusnya biasa saja berubah menjadi detik-detik penuh kepanikan.
Sri terbangun dengan rasa nyeri hebat di perutnya. Keringat membasahi dahinya, wajahnya pucat, dan matanya memejam menahan sakit.
“Pa… pa…” panggilnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Grilyanto yang baru saja selesai mengenakan baju kerja langsung berlari ke sisi ranjang. Wajahnya tegang.
“Kenapa, Ma?” tanyanya panik, memegangi tangan istrinya yang dingin.
“Perutku sakit sekali, Pa. Banyak darah…”
Tanpa pikir panjang, Grilyanto segera memanggil becak langganan yang biasa lewat di depan rumah mereka.
Ia mengangkat Sri dengan hati-hati, walau tangannya gemetar.
Suara becak berderit di jalanan Bumiarjo yang masih lengang, seolah ikut merasakan kecemasan mereka.
Begitu tiba di RKZ, para perawat langsung berlarian mendorong ranjang dorong membawa Sri ke ruang tindakan.
Grilyanto tak bisa mendampingi lebih jauh. Ia hanya berdiri di koridor, dadanya bergemuruh hebat. Rasanya napasnya sesak, tangannya terus mengepal.
Tak lama, seorang dokter keluar dengan wajah serius.
“Pak Grilyanto,” katanya. “Ibu Sri mengalami pendarahan hebat. Kami harus segera melakukan operasi Caesar untuk menyelamatkan ibu dan bayi.”
Grilyanto mengangguk, walau suaranya tercekat.
“Tolong, selamatkan mereka, Dok.”
Waktu terasa berjalan lambat. Detik menjadi lama, menit terasa seperti jam.
Grilyanto mondar-mandir di depan ruang operasi, matanya merah karena tak sanggup membendung rasa takut.
Terbayang wajah Sri yang pucat, juga Pramesh yang kini sedang di Magelang bersama kakaknya.
Setelah hampir dua jam, akhirnya pintu ruang operasi terbuka.
Seorang dokter dengan masker yang masih menutupi sebagian wajahnya keluar. Ia menatap Grilyanto sambil menarik napas panjang.
“Pak Grilyanto, Alhamdulillah. Ibu Sri selamat, putri bapak juga selamat. Bayinya perempuan, sehat, meski lahir lebih kecil karena pendarahan. Beratnya 2,5 kilogram. Silakan masuk sebentar, lihat bayi bapak.”
Air mata Grilyanto langsung jatuh begitu mendengar kabar itu.
Ia berjalan tergesa ke ruang bayi. Di sana, di dalam boks kaca, terbaring sosok mungil berkulit kemerahan, dibalut selimut putih.
Bayi itu menggerakkan tangannya pelan, matanya tertutup rapat, bibirnya mungil dan bergetar.
“Masya Allah…” bisik Grilyanto, hatinya penuh rasa syukur.
“Ratri Puja Udayani… nama kamu, Nak.”
Ia menempelkan telapak tangannya pada kaca inkubator. Rasanya tak percaya, setelah segala ketakutan, akhirnya putrinya lahir dengan selamat.
Beberapa jam kemudian, Sri mulai siuman dengan wajahnya pucat, tetapi senyumnya tipis saat melihat suaminya berdiri di samping ranjang.
“Papa, bayinya…?” tanyanya lemah.
Grilyanto tersenyum lembut, lalu membisikkan kabar bahagia.
“Perempuan, Ma… Cantik sekali. Namanya Ratri Puja Udayani.”
Air mata Sri menetes. Tangannya meraih tangan Grilyanto, menggenggam erat.
“Terima kasih, Pa. Sudah berjuang bersamaku…” katanya dengan suara lirih.
“Terima kasih juga, Ma… kamu hebat sekali. Kita lalui semua ini bersama.”
Di luar kamar, mentari Surabaya mulai naik, menghangatkan dinding rumah sakit.
Hidup mereka masih penuh perjuangan, tetapi pagi itu, lahirlah sebuah harapan baru bernama Ratri Puja Udayani, putri kecil yang menjadi pelengkap kebahagiaan Grilyanto dan Sri.
Siang itu, aroma cairan disinfektan rumah sakit masih tercium samar di udara ketika dua sosok perempuan datang tergesa-gesa ke bangsal tempat Sri dirawat.
Ibu Mariyati membuka langkah lebih dulu, diikuti oleh Ibu Grilyanto yang datang jauh-jauh dari Magelang.
Wajah kedua perempuan itu sama-sama diliputi rasa khawatir sekaligus lega.
Begitu melihat Sri yang terbaring di ranjang dengan selang infus di tangan, mereka hampir bersamaan menghela napas panjang.
“Lho Sri, piye kowe, Nak?” tanya Ibu Mariyati sambil meraih tangan putrinya. Matanya berkaca-kaca.
Sri berusaha tersenyum meski wajahnya masih pucat.
“Aku sudah nggak papa, Bu… Dokter bilang aku harus banyak istirahat.”
Ibu Grilyanto, yang berdiri di sisi lain ranjang, menatap Sri penuh rasa sayang.
“Ya Allah Sri, kowe nek butuh opo-opo, bilang, ya, Nak. Ibu sedih dengar kamu sampai pendarahan begitu…”
Grilyanto berdiri di samping ranjang, wajahnya kelelahan tetapi juga tampak lega.
Ia menatap kedua ibunya dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, Bu… Sri dan bayi selamat,” katanya pelan. “Bayinya perempuan, kecil tapi sehat.”
“Anakku di endi?” tanya Ibu Grilyanto cepat.
“Mana cucuku?”
“Masih di ruang bayi, Bu. Nanti tak ajak lihat.”
“Ibu bangga karo kowe, Sri… meskipun banyak cobaan, kowe kuat. Ibu juga minta maaf sering marah-marah soal Heri. Sekarang fokusmu ke kesehatanmu sama bayimu, ya, Nak.”
Air mata Sri menetes. Ia menggenggam tangan ibunya erat.
“Makasih, Bu… Sri juga minta maaf kalau banyak salah.”
Tak lama kemudian, seorang perawat datang menghampiri.
“Keluarga boleh melihat bayinya sebentar, ya.”
Mata kedua ibu bersinar penuh antusias. Mereka berjalan pelan ke ruang bayi, dipandu perawat.
Di sana, di balik kaca inkubator, terbaring sosok mungil yang masih tertidur lelap.
Ibu Grilyanto langsung menempelkan wajahnya ke kaca.
“Ya Allah, cucuku ayu tenan! Iki sopo jenenge, Gril?”
“Ratri Puja Udayani, Bu,” jawab Grilyanto dengan bangga.
“Bagus namanya,” sela Ibu Mariyati, menahan haru.
“Semoga jadi anak sholihah, sehat, panjang umur.”
Sri berdiri dibantu Grilyanto, meski masih lemah. Pandangannya tak lepas dari bayinya.
Matanya penuh rasa cinta dan sekaligus rasa syukur yang mendalam.
“Sri, percayalah… Gusti Allah mesti paring jalan sing apik. Kowe kuwat banget, Nak. Ibu bangga karo kowe.”
Sri menganggukkan kepalanya dan menyeka air matanya.
Sementara itu, bayi mungil Ratri Puja Udayani bergerak pelan di dalam selimut, seolah merespons kehadiran keluarga besarnya yang kini semakin erat, menyatukan dua keluarga dalam ikatan kasih yang tak tergantikan.
Hari itu, di rumah sakit RKZ, bukan hanya seorang bayi yang lahir.
Tetapi juga harapan baru, kedamaian, dan ikatan keluarga yang semakin dalam.
Malam tiba di bangsal rumah sakit RKZ, dan suasana terasa sedikit lebih tenang dibanding siang yang penuh kunjungan keluarga.
Lampu redup menebar sinar kekuningan, menimbulkan bayangan lembut di dinding.
Suara detak jarum infus dan mesin pemantau denyut jantung terdengar seperti detak waktu yang berjalan perlahan.
Sri setengah bersandar di atas ranjangnya. Wajahnya masih tampak pucat, tetapi sorot matanya lebih tenang.
Ia menatap Grilyanto yang sibuk membuka kotak makanan di atas meja kecil di samping tempat tidur.
“Pa, nggak usah repot. Aku bisa makan sendiri,” ucap Sri lirih.
“Sssst… Mama harus banyak istirahat. Biar Papa yang suapi.”
Ia meraih sendok, lalu dengan hati-hati menyuapkan bubur hangat ke mulut istrinya.
Sri sempat tersenyum malu, namun tak menolak. Sesekali matanya terpejam saat menelan.
“Enak, Ma?” tanya Grilyanto sambil menatap penuh perhatian.
“Enak, Pa…,” jawab Sri pelan.
“Tapi kamu capek, kerja seharian, terus begadang di sini…”
Grilyanto tersenyum sambil menyeka sisa bubur di sudut bibir Sri dengan tisu.
“Papa nggak apa-apa. Papa seneng bisa jaga Mama. Kamu dan anak-anak segalanya buat Papa.”
Sri tertegun mendengar kata-kata suaminya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru.
Perlahan, ia meraih tangan Grilyanto dan menggenggamnya erat.
“Pa, Maaf ya sudah sering bikin Papa khawatir,” ucap Sri dengan suara bergetar.
“Nggak usah minta maaf, Ma. Papa senang punya Mama. Kamu hebat, Ma. Kamu ibu yang kuat.”
Setelah Sri menghabiskan beberapa suap, Grilyanto merapikan wadah makanan dan menyisihkan nya ke meja.
Ia kemudian membantu Sri merebahkan punggungnya perlahan ke bantal.
“Pa, selimuti aku, dingin…”
Tanpa banyak kata, Grilyanto mengambil selimut tebal warna hijau muda dan merapikannya hingga menutup tubuh istrinya. Ia memastikan Sri nyaman sebelum menatap wajah perempuan yang begitu ia cintai.
Sri mengusap pelan pipi suaminya. “Papa…”
“Ya, Ma?”
“Terima kasih sudah jadi suami terbaik…”
Grilyanto menunduk, mengecup kening Sri. “Papa yang terima kasih, Ma. Sudah jadi istri yang luar biasa.”
Sri tersenyum tipis. Rasa lelah tampak jelas di wajahnya, tetapi matanya bersinar lembut.
“Papa…”
“Ya, Mama?”
“Panggil aku Mama terus ya… biar rasanya kita selalu punya rumah…”
“Iya Ma, Papa selalu di sini.”
Tak lama, Sri memejamkan matanya. Tarikan napasnya teratur, tanda ia mulai terlelap.
Grilyanto duduk di sisi ranjang, mengamati wajah istrinya yang kini damai dalam tidur. Perlahan, rasa kantuk menguasainya.
Ia beringsut ke sofa kecil di pojok ruangan, merebahkan tubuhnya sambil masih melirik ke arah Sri.
Beberapa menit kemudian, Grilyanto akhirnya memejamkan mata.
Suara mesin pemantau jantung berdetak stabil, seolah menjadi nyanyian pengantar tidur bagi sepasang suami istri yang kini terlelap, menyimpan doa dan cinta untuk hari esok.