Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Sang jenderal
Abri berdiri mematung di depan dinding kaca ruang ICU, menatap seseorang yang terbaring lemah di atas brankar dengan selang dan alat medis menyertai tubuhnya. Aji masih belum sadarkan diri, sudah dua bulan lamanya.
Ya, dua bulan sejak insiden mencekam di basement mall itu. Aji, ajudan rahasia dari Panglima Jenderal Hamzah, yang ternyata ditugaskan khusus untuk melindungi Moza menderita enam luka tembak. Satu di tangan, satu di kaki, dan empat di punggung. Dua di antaranya menghantam organ vital. Sejak saat itu, Aji koma.
Aji itu merupakan salah satu anggota Abri juga, hanya saja pria itu di tunjuk untuk menjadi Ajudan tapi tak pernah mengatakan akan menjadi ajudan siapa dan setelah kejadian ini Abri baru mengetahui bahwa Aji menjadi ajudan dari anak panglima jenderal Hamzah yang tidak lain tidak bukan adalah Moza.
Moza. Nama itu membuat dada Abri terasa sesak. Ia tidak melihat luka fisik pada gadis itu, namun trauma yang membekas pasti tak terelakkan. Gadis itu melihat semuanya—darah, tembakan, dan Aji yang jatuh demi melindunginya. Bahkan orang pria dewasa sepertinya pun pasti goyah, apalagi Moza.
Sementara itu, Sean, bocah lima tahun yang bersama mereka saat kejadian, sudah mulai membaik. Ia hanya sempat koma dua hari dan dirawat selama seminggu. Satu fakta mengejutkan juga terungkap. Sean ternyata bukan anak Moza, melainkan anak kembarannya Berlian—istri Dwika. Moza masih gadis, dan itulah kenapa dia jodohkan dengan Abri.
Namun meskipun begitu, Abri tetap teguh. Ia tak ingin menikah. Belum. Bukan karena Moza tak pantas, tapi karena hatinya belum siap untuk mencintai lagi.
Abri menghela nafas "kalau ada waktu saya kesini lagi ji sama yang lain. Ini mereka lagi sibuk makanannya cuma saya yang datang," gumam Abri, berbicara seolah Aji bisa mendengarnya dari balik kaca.
Lantas ia melangkah pergi dari sana, pria itu dengan gagahnya berjalan menyusuri lorong namun langkahnya terhenti kala ia melihat Hamzah dan beberapa ajudannya berjalan berlawanan arah, sepertinya juga akan menjenguk Aji.
Abri membusungkan dadanya dan memberikan hormat pada Hamzah ketika pria yang usianya tak jauh beda dari papanya itu melintas di hadapannya.
Langkah pria itu pun langsung berhenti menatap Abri sejenak. Wajah jenderal itu masih tetap nampak tenang seperti biasa, hanya saja tidak seriang dulu. Abri menyadari perubahan Hamzah ini setelah beberapa kali bertemu dengan Hamzah yang tentunya di rumah sakit ini dan juga pernah sekali datang kemarkas mereka untuk mengucapkan terimakasih.
"baru jenguk Aji?" tanya Hamzah, menatapnya tenang.
Abri tak menatap Hamzah, pandangannya lurus kedepan dengan membusungkan dada dan berdiri tegap ia menjawab tegas "siap, benar jenderal."
Hamzah mengangguk dan menepuk pundaknya. "makasih sudah mau datang. Kalau begitu saya gantian jenguk Aji dulu."
"Siap," jawab Abri. Setelah rombongan Hamzah pergi Abri melanjutkan langkahnya. Namun belum jauh berjalan, ia dipanggil seseorang.
"Bri!"
Abri berbalik. Ternyata Marwan, ajudan pribadi Hamzah.
"Bang, kenapa?"
"Bapak mau bicara sama kamu. Bisa sebentar?"
Abri lantas menatap lurus dimana Hamzah yang kini tengah berbicara pada seorang dokter.
"Kau sibuk?" Tanya Marwan lagi karena Abri tak segera menjawab.
"Enggak. Saya tunggu di sini saja, Bang."
Marwan mengangguk "saya sampaikan dulu sama beliau," Lalu Marwan kembali bergabung pada ajudan lain dan menyampaikan pesan Abri pada Hamzah.
Tiga puluh menit lamanya Abri menunggu dengan bermain game di ponselnya dan begitu ia melihat Hamzah muncul dari kejauhan ia langsung saja menyudahi dan Abri berdiri.
"Nunggunya kelamaan ya kapten?" Tanya Hamzah ramah sedikit tak enak karena menyuruh Abri menunggunya padahal mungkin pemuda itu ada kesibukan lain di luar sana.
"Siap tidak jenderal!" Walaupun lumayan lama mana berani Abri bilang iya, bisa bisa di mutasi dia.
"Kita duduk di sini saja gak papa kan? Saya sambil nunggu dokter yang meriksa Aji."
"Siap."
"Dasar anak Saga, tidak jauh beda seperti bapaknya, siap siop siap siop," gumam Hamzah yang masih dapat di dengar Abri, "sudah sini duduk, gak usah berdiri begitu."
Abri menurut. Mereka duduk berdampingan.
"Bagiamana kabar papamu bri?" Tanya Hamzah berusaha akrab dan tidak formal pada Abri.
Abri terdiam. Sudah dua bulan ia tak pulang, menghindari tekanan perjodohan itu.
"Abri!"
Seketika Abri tersadar dari lamunannya.
"Saya tanya loh, kamu malah melamun,"
"Siap, salah, jenderal!"
Mampus lah kau bri bisa bisanya bapak jenderal tanya kau cueki.
"Papa saya... Papa saya Alhamdulillah baik jenderal."
Hamzah mengerutkan keningnya "kenapa kamu ragu mengatakannya?"
Abri terdiam sejenak "siap, saya... Sudah lama nggak pulang."
"Bukannya jarak rumah mu dan tempatmu berdinas terbilang dekat? Kenapa malah jarang pulang?"
Abri kembali berpikir"siap, saya cukup sibuk akhir akhir ini." Bohong Abri nyatanya walaupun ia sibuk tapi kalau cuma pulang kerumah orangtuanya juga ia masih sempat.
Kali ini Hamzah mengangguk anggukkan kepalanya. Lalu ia memberi isyarat pada Marwan untuk lebih menjauh beberapa meter darinya lebih dulu. Dan setelah di rasa Marwan dan ajudan yang lain sudah cukup jauh Hamzah malah diam cukup lama seperti ada yang ia pikirkan dan itu sangat mengganjal bagi Abri.
"Maaf sebelumnya jenderal, bang Marwan bilang anda ingin berbicara dengan saya? Apa pembicaraan kita ini cuma mau menanyakan kabar tentang papa saya saja?"
Hamzah mendengus lalu selanjutnya tersenyum "kamu sibuk? Ada kegiatan lain malam ini?"
"Siap, tidak jenderal."
"Lalu kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Siapa salah jenderal!"
Melihat raut bersalah Abri lagi lagi Hamzah terkekeh lalu selanjutnya ia diam cukup lama selanjutnya terdengar helaan nafas. Abri menoleh dan melihat bahwa wajah jenderal bintang lima terlihat suram, dan Abri menangkap lelah yang dalam dari sorot matanya. Sepertinya dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Wajar seperti itu, walaupun sudah dua bulan berlalu kejadian mencekam itu terjadi tetap saja pria ini tidak tenang karena musuhnya itu masih mengintai di luar, masing mengintai keluarganya juga. Terlebih lagi kini Berlian dan Dwika juga berada di kota yang sama dengannya semakin bertambah lah beban pikirannya.
"Maaf, Jenderal," kata Abri pelan.
Hamzah yang melamun segera menoleh "maaf? Untuk apa?" Tanyanya bingung menatap anak rekannya itu.
"Saya tidak berhasil menangkap penjahat itu. Misi saya... gagal."
Hamzah menggeleng. "Walaupun kita terlatih ada saatnya kita mengalami hal seperti itu kan? Dan Kamu menumpas habis anak buahnya saya rasa misimu gak segagal itu."
Abri hanya diam.
"Saya malah berterimakasih Abri, kalau kalian tidak datang, kalau kamu tidak menolong anak saya, mungkin saat ini saya nggak lagi melihatnya dan malah menangisi fotonya," Hamzah menghela nafas lelah otaknya selalu saja membayangkan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi jika saja Abri dan yang lain terlamat datang.
"Di sini yang bersalah itu saya Abri, saya yang membuat anak dan cucu saya dalam bahaya, saya gak becus menjadi ayah dan kakek, Saya lalai menjaga mereka. Dan bahkan sampai saat ini saya belum bisa memaafkan diri saya sendiri. Terlebih melihat mereka seperti ini."
Hamzah menunduk. Abri menatapnya, sosok jenderal tegas itu kini tampak rapuh. Ia sadar, pangkat setinggi apapun tidak menjamin rasa aman bagi keluarganya. Dan tragedi itu, entah bagaimana, tetap menjadi rahasia negara. Tak ada satu pun media yang memberitakannya.
Tidak ada berita di televisi ataupun media sosial yang menampilkan suasana saat itu, padahal Abri lihat dengan jelas ada beberapa orang yang memanfaatkan telpon seluler mereka untuk merekam setiap kejadian di luar basement. Tapi tak ada satupun yang di tampilkan di layar televisi atau seliweran di medsos. Bapak presiden langsung bahkan yang turun tangan.
"Abri?"
"Siap, jenderal."
"Papamu bilang, kamu menolak perjodohan ini. Kenapa?"
Deg!
Tiba tiba saja tubuhnya membeku di tempat, apa yang harus Abri jawab kalau begini?
"Anak saya cantik loh bri, di saat laki-laki lain di luar sana menginginkannya, mengejar-ngejar dia eh kamu menolaknya yang jelas-jelas saya kasih lampu ijo, kenapa?"
"Maaf, jenderal," Hanya itu yang bisa ia ucapkan.
Hamzah terkekeh lalu Setelah itu wajahnya berubah serius "bri." Panggilnya lagi
"Siap jenderal."
"Saya boleh minta sesuatu nggak?"
Abri diam namun kepalanya mengangguk sekali.
Hamzah terdiam cukup lama menatap Abri "tolong, tolong setuju dengan perjodohan ini. Nikahi anak saya."
Tunggu, apa?
Kali ini jantung Abri mau lepas rasanya dari tempatnya. Abri tidak salah dengar kan? Ia kontan menolehkan kepalanya pada Hamzah dengan mata ingin keluar.
"Cuma kamu yang bisa bantu saya bri, saya rasa cuma sama kamu anak saya aman."
Deg!
"Maaf, jenderal. Tapi... Tapi banyak tentara yang lebih hebat dari saya." Benar kan? Hamzah ini hanya terbawa suasana saja karena ia mengetahui Abri lah yang menolong Moza saat itu.
Hamzah menggeleng "tapi nggak ada prajurit yang saya percaya atas putri saya selain kamu. Saya kenal papamu seperti apa dan saya yakin kamu tak jauh berbeda darinya."
Abri diam di tempatnya. Bukan masalah baik buruknya di sini. Tapi hati Abri masih berantakan belum bisa menerima orang baru apa lagi memberikan cinta. Abri takut tak bisa membahagiakan anak orang, Abri takut malah menyakiti. Abri masih berada di kubangan masa lalu.
"Saya mohon Abri," ucap Hamzah memelas. "Saya mohon, anak saya masih dalam bahaya. Saya tak mampu menjaganya."
Ya apa di pikir Abri juga bisa menjaga gadis itu? Oh tuhan apa yang harus ia katakan?
"Maaf–"
Bruk!
"Bapak!"
"Jenderal!"
Seru para ajudan dan juga Abri berteriak secara bersamaan saat melihat Hamzah kini malah berlutut. Mereka semua kaget melihat Hamzah seperti itu.
Ajudan Hamzah sudah melangkah mendekat namun segera Hamzah mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat untuk berhenti. Begitu juga Abri, mana bisa dia melihat orang yang lebih tua begini berlutut di hadapannya, lebih lebih itu panglima jenderal Hamzah.
"Saya tidak akan berdiri kalau kamu tidak berkata ya," ucap Hamzah sedikit memaksa. Ia kesampingkan pangkat dan kedudukannya. Kehidupan dan keselamatan putrinya lebih penting disini, ia tak mampu melindungi tapi setidaknya ia masih bisa mencari tempat teraman untuk putrinya kan?
"Tapi jen—"
"Saya tetap pada pendirian saya Abri." Potong Hamzah.
Abri meraup wajahnya frustasi "kenapa begini jenderal?"
"Karena saya mau putri saya aman."
"Tapi orang itu bukan saya!" kata Abri sudah mulai frustrasi dengan intonasi yang Muali meninggi. Ia sudah tak sadar berbicara dengan siapa.
Hamzah menggeleng keukeuh "tapi saya yakin tempat aman untuk anak saya itu kamu."
Ya Allah, kenapa jenderal Hamzah keras kepala?
"Jenderal, pernikahan itu bukanlah pemainan."
"Baik, jika menurtmu ini bukan permainan. Maka saya buat menikahi anak saya ini sebagai perintah. Dan saya perintahkan kamu untuk menikahi putri saya Abri!" Ucapnya tegas.
Ini apa lagi ini?!
Abri menunduk. Ia tak sanggup. Lalu menarik Hamzah berdiri. "Bangkit dulu, jenderal."
"Jawab dulu."
Astaga!
"M—"
"Saya hanya mau mendengar kata ya Abri." ucapnya penuh penekanan untuk jawaban Abri.
Sungguh Hamzah ini manusia paling pemaksa dan paling keras kepala yang pernah Abri temui.
Abri lelah. Hancur. Bingung.
"Katakan ya Abri," Desaknya. Abri semakin tak Karuan.
Ini gila. Tau kalau seperti ini Abri tak akan mau menunggu Hamzah. Tapi dia harus bagaimana? Menolak? Abri sudah pastikan Hamzah tak akan diam saja jika kata itu keluar dari bibirnya. Manusia sekeras dan sepemaksa ini tak akan tinggal diam begitu saja kalau tau putrinya di tolak mentah mentah padahal ia sudah mempertaruhkan wibawa dan Harga dirinya seperti Hamzah ini.
"Oke... oke. Ya. Saya akan menikahi putri Anda," Final Abri pada akhirnya, ia terpaksa.
Hamzah lantas tersenyum lalu bangkit "nah, benar begitu. Kamu memang gak boleh menolak putri saya," pria itu menepuk pipi Abri.
Abri hanya menunduk. Pasrah. Entah ini keputusan tepat atau tidak, tapi kini semuanya sudah berubah.
Ia bahkan belum siap mencintai. Tapi entah kenapa, di tengah semua kebingungan ini... ia berharap Moza tidak menangis saat tahu.
Atau mungkin... justru berharap gadis itu mau menerimanya.
Tanpa cinta pun.
...Bang Abri...
duh rayden gemes banget aku.... gimana jadinya kala Rayden bersatu sama Sean pasti GK bisa diem ngakak trus smpai guling" pasti ...