"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Berpisah
"Baby, aku masih berharap kamu akan membatalkan rencana kepulanganmu."
Mark menggenggam erat-erat tangan Jessy. Hari ini, wanita itu akan kembali ke Indonesia. Mereka tengah berada di area lounge bandara sembari menunggu keberangkatan pesawat yang akan Jessy naiki.
Dua minggu terasa begitu singkat dan kini tiba waktunya berpisah. Mark rasanya ingin menahan wanita itu lebih lama. Namun, Jessy bilang merindukan negaranya.
Wajah Jessy masih sangat murung. Padahal seharusnya ia merasa gembira karena Mark mengijinkannya pulang. Ia masih memikirkan tentang Justin yang meneleponnya waktu itu.
Mark menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah Jessy. "Aku tidak akan memaksamu memutuskan pacarmu itu. Tapi, jika itu membebanimu, lebih baik kalian putus. Jadi kamu tidak perlu merasa bersalah lagi."
Jessy rasanya ingin menangis lagi. Entah mengapa apapun yang ia lakukan tak pernah berakhir baik.
Jessy memeluk erat tubuh Mark. Raganya kini telah menjadi milik lelaki lain namun hatinya tetap memikirkan Justin. Bagaimana bisa ia memutuskan Justin tanpa ada masalah di antara mereka. Ia sendiri yang membuat masalah dengan menjadi seorang sugar baby.
"Kamu harus ingat Daddy akan selalu ada untukmu. Apapun masalahmu, hubungi Daddy kapanpun itu," ucap Mark.
Jessy mengulaskan senyum. "Terima kasih, Daddy," katanya.
Tak berapa lama pramugari memberitahukan bahwa pesawat yang Jessy akan naiki segera berangkat. Ia kembali berpelukan dan berciuman dengan Mark sebelum benar-benar berpisah.
Jessy menghela napas saat duduk di dalam pesawat. Ia akan pulang dan berpisah dari Mark.
Jessy mengambil ponselnya, memberanikan diri menghubungi nomor Justin yang ada di daftar panggilan masuk ponselnya.
"Halo? Jessy?"
Jessy kembali mendengar suara Justin. Ia benar-benar merindukan lelaki itu meskipun rasanya sangat berdosa masih mengharapkan cinta Justin sementara ia telah menjual dirinya sendiri kepada lelaki lain.
"Hai, Justin. Iya, ini nomorku. Pakai ponsel Fika sementara," katanya sembari menyeka butiran air mata yang membasahi pipinya.
"Ah, Syukurlah ... Jessy, aku sangat mengkhawatirkanmu," kata Justin.
Air mata yang mengalir di pipi Jessy semakin deras. Hatinya terasa terhimpit dan sesak. "Hah ... Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Justin. Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Menurutmu bagaimana, hm? Tiga minggu tidak bisa bertemu denganmu rasanya mau mati, Jessy. Kenapa kamu seperti hilang tanpa kabar?"
"Maafkan aku. Tiba-tiba ada urusan di kampung jadi aku tidak sempat memberitahumu. Ponselku hilang. Sinyal di sini juga kurang bagus."
"Sudahlah! Lupakan saja. Mendengar kamu baik-baik saja aku sudah senang. Semoga kita bisa secepatnya bertemu. Aku sangat merindukanmu," kata Justin.
Jessy kembali menyeka air matanya. Ia terharu mendengar Justin merindukannya. Ia merasa tak pantas untuk dirindukan lelaki sebaik Justin.
"Iya, Justin. Besok aku sudah pulang. Kita bisa bertemu nanti," kata Jessy.
"Hubungi aku kalau kamu sudah sampai di tempat kos," kata Justin.
"Iya," jawab Jessy.
"Jessy ...."
"Hm?"
"Aku cinta kamu."
Jessy menutup mulutnya menahan isak tangis. Tubuhnya kembali gemetar sampai rasanya tak bisa bicara.
"Jessy? Kamu kenapa?"
Sepertinya Justin tahu ada yang tidak beres dengan Jessy.
Jessy menjauhkan ponselnya sejenak. Ia mengatur napas untuk menenangkan diri. "Ah! Tidak apa-apa, Justin. Sinyal di sini mulai hilang-hilang. Aku tutup dulu teleponnya, ya? Kita bertemu setelah aku pulang saja!" tegasnya.
"Ah, oke. Hati-hati di jalan," kata Justin.
***
Justin duduk termenung setelah menerima telepon dari Jessy. Ia masih memikirkan sesaat sebelum menutup telepon sepertinya ia mendengar suara isakan tangis. Suara Jessy juga agak bergetar berbeda dengan biasanya.
"Dia kenapa? Apa ada masalah dengannya?" gumamnya.
Justin sangat penasaran di mana Jessy selama dua minggu belakangan. Jika satu minggu sebelumnya Jessy memang berpamitan akan pergi ke London bersama Fika. Setelah itu, keberadaannya menjadi misteri. Bahkan Fika sendiri tidak tahu menahu dimana Jessy.
"Oi! Justin! Kamu mau main nggak?" seru salah seorang temannya dari arah lapangan basket.
Justin sama sekali tidak bersemangat main basket. Ia sangat merindukan Jessy. "Aku libur hari ini!" jawabnya dengan suara keras.
"Dasar payah! Mentang-mentang kemarin habis menang sekarang jadi malah latihan ah! Justin, Justin!" keluh temannya.
Justin mengabaikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling memperhatikan lalu lalang mahasiswa di kampusnya. Sorot matanya menangkap sosok Rindi salah satunya.
"Rindi!" seru Justin.
Rindi yang tengah berjalan dengan teman-temannya menghengikan langkah. Ia terlihat bahagia namanya dipanggil oleh Justin.
"Rindi, bisa kita bicara sebentar?" tanya Justin.
Rindi merasa tersanjung Justin mau bicara dengannya. Bahkan teman-temannya ikut bahagia karena Rindi di-notice Justin.
"Kita pergi ke kelas duluan ya, Rin! Kamu bicara dulu saja dengan Justin. Mungkin ada hal penting," kata salah satu teman Rindi.
"Justin, nanti teman kita kamu antar ke kelas, ya!"
"Jaga baik-baik, jangan sampai lecet!" gurau teman Rindi yang lain.
Justin mengajak Rindi ke tempat yang cukup sepi. Ia bingung ingin memulainya dari mana.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Rindi. Hatinya terass berbunga-bunga bisa berbicara sedekat utu berdua dengan Justin.
"Kamu tahu aku teman baik Jessy dan Fika, kan?" tanya Justin.
Mendengar kedua nama yang sangat Rindi benci, ia menjadi tidak senang. "Memangnya kenapa?"
"Aku juga tahu kamu sepupuan dengan Jessy."
"Ya, tapi apa hubungannya dengan pembicaraan kita? Apa Jessy membuat masalah?" tanya Rindi.
"Tidak. Hanya saja, katanya Jessy sedang ada di pernikahan saudaranya atau apa di kampung. Acara penting."
Rindi tertawa. "Kampung? Memangnya Jessy masih punya kampung? Aku malah baru tahu," kata Rindi.
"Jadi, menurutmu Jessy sudah tidak punya saudara?"
"Ya! Dia itu sebatang kara. Aku juga tidak sudi jadi saudaranya!" ketus Rindi.
Apa yang Rindi harapkan benar-benar tidak sesuai realita. Ia kira Justin ingin mencari tahu tentang dirinya. Nyatanya, masih Jessy yang ditanyakan.
"Lagipula, kenapa kamu peduli sekali dengannya? Bukankah kalian hanya berteman?" tanya Rindi curiga.
"Pertemanan kami memang saling peduli. Memangnya pertemananmu bagaimana?"
Pertanyaan Justin benar-benar menohok. Pertemanan yang Rindi jalani tak jauh-jauh dari ajang pamer.
realistis dunk