Manusia bercita cita namun kembali Allah yang berhak menentukan.
Baiknya...
Buruknya...
Senangnya...
Sedihnya...
Memiliki rumah sangatlah cukup untuk berteduh.
Pastinya aman untuk berlindung.
Tapi tanpa cahaya?
Akankah tetap menjadi indah?
Akankah tetap terasa nyaman?
Akankah akan merasa aman dalam kegelapan?
Masalalu tidak selamanya buruk.
Bisa jadi masalalu adalah sebuah titik balik untuk mendapatkan yang jauh lebih baik.
Manusia hanya bisa melakoni apa yang sudah digariskan apa yang sudah ditetapkan. Hanya manusia masih dapat merubah melalui usaha dan do'a.
Perjalanan yang tidak selalu mudah.
Tidak pula menjanjikan pemandangan yang indah.
Tapi satu yang harus diyakini jika Allah ada bersama hambanya. Jika usaha tidak akan berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fennita Eka Putri Nurfadiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUA 15
Alvin sampai di rumah ibunya untuk menjemput Aina.
"Assalamualaikum." ucap Alvin.
"Wa'alaikumsalam. Aina di atas sama Vina sama Fika." kata ibu.
"Rewel enggak Aina bu?"
"Enggak kok. Cuma biasa sempet nanyain aunty cantiknya."
"Alvin tadi ketemu dia bu."
"Terus gimana?"
"Gak gimana gimana."
"Apa Alvin mundur aja ya bu? Dari awal juga Alvin udah ngerasa bakal sulit."
"Katanya udah yakin sama keputusan kamu. Kok sekarang malah mau mundur?"
"Semuanya ditangan kamu. Ibu mah cuma bisa mendukung. Kamu yang tahu yang terbaik buat anak kamu dan buat diri kamu sendiri." kata ibu lagi.
"Tapi ini termasuk penolakan secara halus gak sih bu?"
"Kamu ngerasanya gimana?"
"Huh udahlah Alvin mau liat Aina dulu. Alvin ke atas ya."
Alvin pergi untuk menemui Aina.
Sedangkan itu di lain tempat Haifa baru saja sampai di rumah.
"Assalamualaikum." ucap Haifa dan langsung menghampiri sang mama yang sedang menemani keponakannya bermain di ruang keluarga.
"Wa'alaikumsalam. Kok baru pulang?"
Haifa hanya mengangguk kemudian mencium tangan sang mama.
"Kenapa?" tanya Mama merasa ada yang beda dengan putri bungsunya.
"Mama..." ucap Haifa kemudian langsung memeluk mamanya.
"Kok nangis ada apa? Mau cerita sama Mama?" tanya Mama sambil mengusap punggung Haifa.
Setelah merasa lebih tenang Haifa melepaskan pelukan pada mamanya.
"Gak apa apa kok hehe. Haifa ke atas dulu ya. Assalamualaikum."
"Dadah Arsyad." pamit Haifa pada sang keponakan sambil tidak lupa mengunyel unyel pipi Arsya.
Haifa pergi ke kamar. Jujur Haifa sangat merasa bersalah pada Alvin. Tapi Haifa bingung semuanya sudah terjadi harus gimana lagi?
"Ya Allah gimana cara minta maafnya ya?"
"Mau minta maaf sama siapa?"
"Astagfirullah. Mama kok ada di kamar Haifa?"
"Ngelamun terus sih mama ketok, Mama salam gak dijawab."
"Hehe."
"Adek kenapa? Ayo cerita sama Mama."
"Ih adek gak apa apa kok ma hehe."
"Dari kecil sampe segede ini adek selalu sama Mama. Mama tau gimana kalau adek lagi baik baik aja dan gimana kalau adek lagi gak baik baik aja." kata Mama sambil duduk di samping Haifa.
Haifa langsung memeluk sang Mama.
"Kenapa coba cerita pelan pelan sama Mama."
"Bingung Ma."
"Bingung kenapa?"
"Tapi Mama janji jangan cerita sama siapa siapa dulu. Cuma Mama yang tau."
"Iya."
"Bener Ya."
"Iya Adek kenapa sih?"
"Bismillah. Jadi gini Ma beberapa minggu lalu, ada yang minta izin sama adek buat datang ke rumah ketemu sama Papa Mama."
"Terus bingungnya kenapa? Tinggal adek suruh datang ke rumah aja."
"Ih gak gitu masalahnya ma. Masalahnya dia itu dosen adek. Terus temen adek juga ada yang suka sama dia."
"Kenalankan? Kenalan mah kan boleh sama siapa aja."
"Bukan cuma kenalan ma."
"Terus gimana yang jelas dong Mama bingung."
"Ih mama mah suka pura pura gak ngerti."
"Haha iya iya. Jadi gimana dia bilangnya gimana sama adek?"
"Dia bilang begini. Bersediakah kamu jika saya datang ke rumah kamu bertemu dengan kedua orang tua kamu. Kemudian meminta kamu untuk menjadi bunda untuk Aina sekaligus istri saya?"
"Wah dia mau ngelamar adek? Tapi tunggu Bunda untuk Aina maksudnya?"
"Adek ceritain. Tapi mama dengerin sampai beres jangan potong dulu jangan marah dulu."
Mama mengangguk. Haifa mulai menceritakan semuanya sejak pertama bertemu Aina hingga kejadian di dalam mobil pada waktu itu selengkap mungkin pada sang mama. Tapi Haifa belum menjelaskan kejadian yang barusan terjadi.
"Udah lama juga ya. Kok ade baru cerita sama Mama?"
"Jangan marah. Ya adek pikir gak akan sampai sejauh ini. Maaf mama."
"Mama gak marah. Wajar kok."
"Jadi gimana Ma?"
"Mama tanya kejadiannya kan udah lama kenapa adek kayaknya baru bingung dan nangis sekarang?"
"Adek udah kasih jawaban?"
Haifa menggeleng.
"Terus yang buat adek sedih kayak gini apa?"
Haifa mulai menjelaskan kejadian hari ini.
"Ya Allah dek." ucap mama sambil menarik nafas.
"Iya adek salah."
"Kok tindakannya ngasal banget kayak gak dipikir dulu."
"Iya abis adek bingung."
"Bingung mikirin temen adek itu?"
Haifa mengangguk.
"Dengerin Mama. Sekarang gini, adek sendiri yang tau luar dalamnya diri adek. Yang tau gimana deketnya adek sama mereka itu adek sendiri."
"Masalah temen adek. Kalaupun adek mau kasih tau mulai dari sekarang bisa kok. Kalau memang dia serius dengan perasaan sama Alvin mungkin dia kaget. Tapi adek bisa pelan pelan menjelaskan. Insya Allah kalau dibicarakan baik baik bisa kok. Tapi adek harus siap dengan segala macam konsekuensinya."
"Jadi mama kasih izin? Mama gak mempermasalahkan statusnya?"
"Kalau mama mah. Dia mau kenalan sama keluarga kita selagi niatnya baik, tujuannya jelas ya silahkan aja. Dari pada kayak sekarang kan adek ternyata sering pergi berdua sama dia itu malah mama gak suka. Dan mama juga cukup salut dia bisa langsung ambil keputusan. Kecuali kalau misalkan niatnya cuma buat coba coba tau main main. Baru mama gak mau. Tapi kayaknya enggak deh apalagi kan dia udah punya putri."
"Terus Papa gimana?"
"Ya kalau papa. Mama gak tau, Mama dan Papa dua individu yang berbeda pastinya punya sudut pandang dan cara pikir yang beda juga. Tapi Insya Allah kalau emang adek udah yakin mau ngenalin Alvin. Insya Allah nanti mama bantu adek jelasin ke papa."
"Kalau adek nanti jadi dijauhi sama temen adek gimana?"
"Ya resiko kan? Tapi seharusnya kalau sama sama dewasa sih gak akan semasalah itu."
"Mama." Haifa kembali memeluk sang Mama.
"Udah ah jangan nangis lagi. Nah sekarangkan adek udah keluh kesah sama Mama. Sekarang tinggal sama Allah. Ya walaupun baru sebatas kenalan tapi tetep harus atas izin Allah. Karena bukan buat main main."
Haifa kembali memeluk sang mama.
"Udah ah dari tadi pelukan nangis pelukan nangis. Gitu terus." kata mama sambil melepaskan pelukan Haifa.
"Mama gak mau dipeluk adek?" tanya Haifa sambil cemberut.
"Mau, tapi gak sambil nangis. Malu masa udah mau ada yang lamar sekaligus udah mau jadi bunda masih nangis."
"Ih mama mah."
"Udah jangan nangis lagi. Mandi cepet, terus mama si pengennya malam ini adek cerita ke Papa."
"Tapi mama bantuin."
"Mama kan udah janji tadi sama adek gak akan cerita ke Papa."
"Yaudah tarik lagi janjinya. Mama bantuin adek cerita ke papa."
"Ini anak manja gini yakin nih mau ada yang lamar langsung buat jadi bunda?"
"Mama mah godain aja terus anaknya."
"Haha yaudah cepet mandi. Terus turun bantuin mama masak. Nanti abis makan kita ngobrol sama Papa."
"Siap ibu negara." jawab Haifa sambil hormat kemudian bergegas ke kamar mandi.
Alvin sudah berada di rumah bersama Aina. Aina sedang asik menceritakan kegiatannya bersama sepupunya pada Alvin.
"Papa udah temu aty tantik belum?" tanya Aina disela sela cerita. Padahal Aina tidak tahu sama sekali Alvin sudah bertemu dengan Haifa.
"Belum."
"Tepon boleh?" pinta Aina pada sang papa.
"Jangan dulu ya sayang." tolak Alvin dengan halus.
"Kenapa?"
"Nanti ya."
Aina hanya mengangguk.
"Telpon mama aja mau?" tawar Alvin.
Aina menggeleng.
"Kenapa?"
"Udah tadi tama aty Vina."
"Ngobrol apa sama Mama?"
"Aina katanya mau puna dede bayi di pelut mama."
"Seneng dong."
Aina mengangguk.
"Tapi jauh." jawab Aina.
Di meja makan Haifa beserta mama dan papa tampak baru selesai melakukan makan malamnya.
Haifa dengan sang mama tampak saling bertukar pandangan.
"Mama sama adek kenapa sih? Kok kaya main kode kodean begitu?"
"Eh itu pa. Adek katanya mau cerita sesuatu sama Papa."
"Adek mau cerita apa?" tanya papa sambil menatap Haifa.
Haifa tampak menunduk dan diam.
"Adek?" panggil papa.
"Iya." jawab Haifa
"Mau cerita apa?" tanya Papa lagi.
"Papa janji jangan marah?"
"Loh kok? Jangan aneh aneh adek kenapa?"
"Ih Papa janji dulu jangan marah."
"Oke papa janji. Sekarang adek cerita ada apa?"
"Mama aja." ucap Haifa.
"Enggak papa maunya denger dari yang punya cerita sendiri." kata Papa
Haifa menunduk.
"Adek. Mau gak nih papa masih ada pekerjaan." tegur Papa.
"Ada yang mau kenalan sama Papa sama Mama." ucap Haifa.
"Yaudah kenalan aja. Biasanya juga kalau bawa temen ke rumah gak pernah izin serius gini." jawab Papa.
"Ini beda pa." tambah mama.
"Beda maksudnya?" tanya papa
"Adek bicara yang jelas bisakan?" kata papa lagi.
"Iya Maaf."
"Jadi gimana?"
"Jadi ya gitu ada yang mau kenalan sama papa sama mama. Tapi bukan temen adek."
"Iya pa, jadi anak bungsu papa ini udah ada yang minat nah terus peminatnya itu pengen kenalan sama sama keluarga kita. Jadi gimana boleh enggak di ajak ke rumah buat dikenalin sama keluarga? Gitu kan dek maksudnya?" kata mama membantu.
Haifa mengangguk.
"Iya gitu pa. Gimana papa izinin gak?"
"Adek kasih tau papa dulu dong dia itu siapa, adek kenalnya gimana. Yang jelas dong biar papa punya gambaran."
Haifa melirik sang mama.
"Papa mau adek sendiri yang jelasin ke papa. Jangan mama."
"Iya. Jadi dia itu dosen adek. Tapi adek kenalnya bukan kenal di kampus."
"Terus kenal dimana?"
"Adek lebih dulu kenal..."
Haifa menggantung ucapannya.
"Kenal siapa?"
"Kenal anaknya." ucap Haifa pelan.
"Siapa dek?"
"Anaknya." jawab Haifa.
"Hah anaknya? Jadi maksud adek?"
Haifa menunduk. Seketika di meja makan menjadi hening.
***
**To be continued...
See you next part**...