“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima Belas
Davina hanya bisa menatap Kevin dengan dada yang naik turun dengan cepat. Ia tidak tahu apa yang akan pria itu lakukan. Ia hanya tahu satu hal, Kevin sedang berada di titik di mana logika dan emosi saling bertabrakan tanpa rem.
Tanpa banyak bicara, Kevin menunduk dan meraih tas Davina yang sejak tadi tergeletak di lantai dekat kaki ranjang. Gerakannya cepat, terlatih, seperti sudah tahu persis apa yang dicari.
“Bang … jangan,” ucap Davina dengan suara bergetar.
Kevin tidak menanggapi. Tangannya langsung membuka resleting tas dan mengobrak-abrik isinya. Dompet Davina ditemukan lebih dulu. Ia menariknya keluar lalu membukanya tanpa ragu.
“Bang, itu privasiku!” Davina mencoba bangkit, tapi Kevin hanya memberikan satu lirikan dingin dan itu cukup membuat gadis itu membeku kembali.
Satu per satu, kartu ATM ditarik dari slotnya. Kevin tidak melihat namanya, tidak menimbang-nimbang. Ia langsung menyimpannya ke saku celana.
“Bang!” Davina memekik kecil. “Untuk apa Abang ambil itu?!”
Kevin tetap diam. Tak mendengar ucapan gadis itu.
Selanjutnya, ia menarik KTP Davina. Kartu itu tampak kecil dan tidak berarti di tangan Kevin, tapi di mata Davina, itu adalah identitasnya. Bagian kecil dari dirinya yang dicuri begitu saja.
“Bang, jangan!” Davina mencoba maju, meraih kartu itu, namun Kevin dengan mudah menghindar. Seolah ia sudah membaca gerakan gadis itu sebelum Davina bergerak.
Davina memukul pelan dada Kevin, gerakan yang lebih banyak karena panik daripada keberanian. “Bang! Kembalikan!”
Kevin tidak bereaksi. Hanya rahangnya yang mengeras.
Benda terakhir yang ia ambil adalah ponsel Davina. Ia menyalakannya, menunggu beberapa detik sampai layar terbuka, lalu jari-jarinya bergerak cepat.
“Abang mau ngapain?!” Davina histeris kini, suaranya pecah.
Kevin tidak menjawab. Ia masuk ke aplikasi keuangan, menekan beberapa menu, lalu menekan tombol logout. Satu per satu, semua akun perbankan Davina dikeluarkan. Beberapa membutuhkan verifikasi email atau nomor telepon, keduanya ada di bawah kendali Kevin sejak dulu.
“Bang, tolong … jangan!” Davina memohon, suaranya parau.
Kevin tetap tenang. Terlalu tenang.
Setelah semua akun berhasil dikeluarkan, ia mematikan ponsel itu, lalu memasukkannya ke saku.
“Sudah,” gumam Kevin pendek.
Davina menatapnya dengan mata membesar, marah, terluka, ketakutan, semuanya bercampur menjadi satu.
“Apa Abang gila?!” teriaknya sambil maju dan mencoba merebut ponsel serta dompet itu dari tangan Kevin.
Ia meraih tangan Kevin dengan seluruh tenaga, menarik lengan pria itu untuk mendapatkan kembali barang-barangnya. Namun Kevin bergerak terlalu cepat. Tangannya yang bebas menepis tangan Davina dengan gerakan tajam.
Tubuh Davina kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke atas kasur dalam posisi telentang. Rambutnya berantakan, napasnya terputus, dan rasa sakit kecil menjalar dari pergelangan tangannya.
“Davina!” suara Kevin meninggi, tapi suaranya bukan marah. Suaranya lebih seperti seseorang yang ketakutan.
Air mata Davina mengalir begitu saja. Ia mendorong tubuhnya untuk duduk, tapi bahunya bergetar hebat.
“Aku benci Abang …,” bisiknya, pelan namun penuh luka. “Aku benci …."
Kata-kata itu menusuk Kevin lebih dalam dibanding apa pun yang pernah ia rasakan. Pria itu menatap Davina lama, napasnya berat seperti seseorang yang sedang berusaha menahan dirinya dari melakukan sesuatu yang lebih buruk.
Beberapa detik kemudian, Kevin mundur selangkah.
Dan tanpa peringatan apa pun, ia berbalik, berjalan cepat menuju kamar mandi, dan menutup pintunya dengan keras, namun tidak membanting.
Davina memejamkan mata ketika suara pintu itu tertutup. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena marah, tapi karena ketakutan, karena tidak mengerti apa yang sebenarnya Kevin rasakan sampai bisa bertindak sejauh itu.
Detik demi detik berlalu. Davina mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Suaranya deras. Mungkin Kevin membuka shower, entah untuk menenangkan diri atau sekadar menenggelamkan semua suara dalam kepalanya.
Gadis itu menyeka air matanya. Dadanya sesak. Ia memegangi pergelangan tangannya yang tadi ditepis oleh Kevin. Tidak begitu sakit, hanya kaget. Tapi hatinya? Retak.
Ia membenarkan posisi duduknya, merapatkan tubuh ke headboard sambil menatap pintu kamar mandi. Napasnya berat, saling kejar seperti ia baru selesai berlari marathon.
“Kenapa Abang kayak gini …,” gumam Davina pada dirinya sendiri.
Ia ingin marah, ingin menjerit, ingin memukul apa saja. Tapi tubuhnya lelah, mentalnya kacau, dan segala emosi yang meledak bersamaan membuatnya justru kehabisan tenaga.
Air mata Davina kembali menetes. Ia memeluk dirinya sendiri. Hening. Waktu berjalan sangat lambat.
Air dari kamar mandi masih terdengar. Lama. Sangat lama. Seolah Kevin tidak berniat keluar sampai ia yakin dirinya cukup tenang untuk tidak melakukan hal bodoh.
Davina menatap ke arah jam dinding hotel. Sudah hampir setengah jam Kevin berada di kamar mandi itu. Ia ingin bangkit dan kabur, tapi darimana? Ia tidak punya kartu kamar. Tidak punya ponsel. Tidak punya uang. Tidak punya identitas.
Ia tertawa lirih dalam tangisnya. “Pintar banget kamu, Bang … sampai aku nggak bisa apa-apa.”
Namun, tawa itu segera terputus, diganti isak pelan. Tubuhnya mulai lelah, matanya berat, energi emosinya terkuras habis.
Lelah. Itu perasaan paling dominan saat ini. Dan perlahan, dalam kondisi duduk bersandar ke headboard, Davina tertidur. Hembusan napasnya tidak stabil, tapi cukup untuk membuat tubuhnya menyerah pada kantuk.
Beberapa menit setelah Davina tertidur, suara air di kamar mandi berhenti. Pintu kamar mandi terbuka perlahan.
Kevin keluar, rambut dan bajunya sedikit basah seolah ia menyalakan shower sambil tetap mengenakan pakaian. Wajahnya pucat, rahangnya tidak tegang lagi, tapi matanya menunjukkan seseorang yang baru saja bertarung melawan dirinya sendiri.
Langkahnya pelan. Ia menatap Davina yang terlelap di atas kasur.
Davina tertidur dengan pipi masih sedikit basah, bulu mata menahan sisa air mata, dan napas yang terdengar lemah. Posisi tubuhnya meringkuk sedikit seperti seseorang yang berusaha melindungi dirinya sendiri.
Sebuah rasa bersalah yang luar biasa menghantam Kevin. Ia mendekat hingga berdiri di sisi ranjang.
“Vina …,” ucap Kevin pelan, nyaris berbisik. Tidak ada jawaban.
Kevin duduk perlahan di tepian ranjang, berhati-hati agar tidak membuat kasur bergerak terlalu keras. Ia menatap wajah Davina lama, sangat lama, seolah ia sedang menghukum dirinya dengan melihat konsekuensi dari tindakannya sendiri.
“Tadi Abang nggak bermaksud nyakitin kamu,” ucap Kevin lirih. “Abang cuma … takut.”
Kata itu keluar begitu saja, jujur, rapuh, dan berbeda jauh dari pria keras yang beberapa menit lalu menyeret Davina ke hotel ini.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu meraih selimut dan menariknya hingga menutupi tubuh Davina dengan lembut. Gerakannya sangat hati-hati, seperti ia menyentuh sesuatu yang mudah pecah.
Setelah memastikan Davina tertutup selimut, Kevin berbaring pelan di sampingnya. Tidak terlalu dekat, tidak menempel, hanya cukup dekat untuk memastikan gadis itu ada dalam jangkauannya.
Namun, beberapa detik kemudian, ia tidak bisa menahan diri lagi.
Kevin mengulurkan tangan, menarik Davina perlahan masuk ke dalam pelukannya. Satu lengan melingkari pinggang gadis itu, satu lagi berada di bawah kepala Davina agar ia tidak terjatuh.
Davina bergerak sedikit, seperti refleks, tapi tidak terbangun. Napasnya tetap teratur.
Kevin memejamkan mata. Tubuhnya tegang beberapa detik, lalu akhirnya mengendur perlahan.
“Jangan bilang kamu benci Abang …,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Abang nggak sanggup dengarnya.”
Ia menundukkan kepala, menyentuh rambut Davina dengan bibirnya dalam ciuman yang bahkan lebih mirip maaf daripada kasih sayang.
“Abang cuma … nggak mau kamu pergi.”
Ia memeluk Davina lebih erat, tapi tetap lembut, seolah mencoba melindungi gadis itu dari dunia dan dari dirinya sendiri.
Dalam keheningan kamar hotel itu, Kevin akhirnya tertidur juga, masih memeluk Davina, dengan emosi yang masih berkecamuk namun tidak lagi meledak-ledak.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak