Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Libur semester Helios Academy sedang berlangsung.
Bagi Helena, ini bukanlah waktu untuk bersantai, dia melihat liburan sebagai jendela strategis untuk memperkuat dirinya.
Helena tidak lagi sekedar membaca buku di kamarnya, dia ingin memahami Nelson secara langsung.
Suatu malam, Helena mengetuk pintu ruang kerja Fedrick. Ruangan itu terasa tenang dan berwibawa.
Fedrick Nelson mendongak dari tumpukan laporan. Melihat Helena, senyum lelahnya melunak.
"Sayang? Ini sudah hari kedua liburanmu, dan kamu tidak pernah keluar bermain. Ada apa?"
Helena duduk di sofa dengan tablet dan buku catatan tebal, mengabaikan pertanyaan tentang liburan.
Dia langsung ke inti, nadanya serius dan matanya memancarkan tekad.
"Papa," kata Helena.
"Biarkan aku memahami Nelson secara langsung."
Fedrick terdiam sejenak. Dia terkejut oleh tuntutan itu, bukan permintaan.
"Memahami Nelson? Kamu bisa membaca semua laporan di rumah," balas Fedrick, mencoba menguji.
Helena menggeleng.
"Membaca teori di rumah tidak sama dengan melihat kelemahan moral yang dieksploitasi pesaing. Aku harus mengerti mengapa strategi Ayah, meskipun benar secara moral, selalu menjadi target empuk untuk predator."
Wajah Fedrick menunjukkan kebanggaan. Dia menyadari putrinya telah tumbuh.
Fedrick berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap kota.
"Kau benar," ucapnya, suaranya mengandung pengakuan.
"Aku selalu berharap kamu bisa memilih jalanmu sendiri, tetapi skandal Aliston dan pertunangan ini telah memilihmu untuk menjadi penerus Nelson."
Fedrick berbalik, sorot matanya kini fokus.
"Nelson butuh penerus yang memahami fondasi kami, tetapi juga mengerti cara kerja dunia di luar integritas. Itu berarti kamu harus belajar menghitung risiko, bukan hanya mengutip moral."
Helena mengangguk.
"Aku mengerti, Papah. Aku hanya ingin memastikan, di saat pesaing berencana menghancurkan, aku belajar bagaimana melindungi. Jika aku adalah penerus Nelson, maka aku harus mulai bekerja sekarang."
Fedrick tersenyum tulus. Dia tahu tidak ada gunanya menahan ambisi murni itu.
"Baiklah," putus Fedrick.
"Permintaanmu diterima. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Mulai besok, kamu datang ke kantor. Kamu akan punya meja di sebelah Felix. Aku ingin kamu belajar, mengamati, dan yang terpenting, jangan membuat keputusan tanpa seizinku."
***
Keesokan paginya Helena muncul di lobi utama Nelson Corporation.
Dia tidak datang dengan seragam sekolah, melainkan dengan setelan blazer tailored berwarna cream dan rok pensil yang menunjukkan profesionalisme, sebuah upgrade signifikan dari gaun koktail biasa.
Meskipun penampilannya berkelas, wajahnya tampak segar dan menyenangkan.
Kehadirannya segera memicu bisikan di antara staf yang baru datang. Mereka mengenalinya sebagai Putri Nelson.
Di ruangannya, Felix, penasihat utama Fedrick yang dikenal bersikap kaku dan konservatif, sudah menunggu.
Dia melihat Helena bukan sebagai anak kecil, tetapi sebagai bom waktu, pewaris yang tiba-tiba sadar statusnya dan mungkin akan mengganggu struktur yang sudah matang.
Felix membawa Helena ke divisi Strategi dan Analisis, area yang paling sensitif dan membutuhkan ketelitian.
Di sana, dia mengumpulkan tim terdekatnya, beberapa manajer senior dan analis utama yang sudah lama bekerja di Nelson.
Felix berdeham, menarik perhatian mereka.
"Selamat pagi, tim. Saya memperkenalkan Nona Helena Nelson. Selama liburan semesternya, Nona Helena akan bergabung dengan kita."
Felix sengaja tidak menggunakan istilah 'magang' atau 'pewaris'.
Dia menggunakan istilah yang samar.
"Nona Helena akan mengambil meja di sebelah saya. Dia akan menghabiskan waktunya untuk mengamati, mempelajari alur kerja Nelson. Harap perlakukan dia dengan hormat, dan anggap dia sebagai mata dan telinga Tuan Fedrick."
Helena dengan cepat menyadari udara dingin dan skeptisisme yang melingkupinya.
Namun, dia tidak melawan dengan kemarahan atau kekuasaan, melainkan dengan taktik yang dia pelajari dari sang ayah, Soft Power.
Helena tersenyum tulus kepada tim.
"Senang bertemu dengan kalian semua," katanya, suaranya menyenangkan.
"Tolong jangan sungkan. Saya tahu saya masih sangat baru di sini. Anggap saja saya sebagai asisten kalian, yang bisa disuruh untuk urusan apapun, dari membuat kopi sampai membantu mencarikan data yang rumit." Ucapnya hormat.
Meskipun posisinya strategis, para staf senior tetap melihatnya sebagai anak ingusan yang tidak mengerti intrik bisnis.
Mereka yakin dia hanya akan menghabiskan waktu bermain-main dengan monitor barunya.
Pada hari kedua, Lux, Analis Senior, menghampiri Helena.
"Nona Nelson," kata Lux, senyum di bibirnya dingin.
"Karena Anda menawarkan diri sebagai asisten, kami punya tugas sangat teliti ini."
"Kami perlu data historis ini disalin, diverifikasi, dan diinput untuk perbandingan market trend triwulan. Ini hanya tugas salin tempel yang membosankan. Kami butuh hasilnya di akhir minggu."
Lux yakin tugas itu akan memakan waktu setidaknya tiga hari kerja penuh, cukup untuk membuat Helena bosan dan mengeluh kepada Ayahnya.
Helena menerima tumpukan kertas itu dengan wajah ceria. Dia tahu itu adalah tugas meremehkan yang menguji kesabarannya.
Helena tidak mengeluh.
Dia segera menggunakan komputernya. Sambil menyalin, dia tidak hanya memasukkan data, dia menggunakan program analisis datanya sendiri untuk membersihkan, menyusun, dan membangun database spreadsheet yang dapat diotomatisasi pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh tim IT kecil.
Dia menganggap tugas asisten ini sebagai latihan data sourcing pribadinya.
Dua puluh empat jam kemudian, saat tim sedang berjuang dengan tenggat waktu dan kesulitan mencari data yang hilang, Lux panik.
"Sial," desis Lux.
"Aku butuh angka penjualan regional dari tahun 2018 segera! Kita tidak akan sempat menyalinnya dari arsip lama!"
"Permisi, Tuan Lux," suara Helena terdengar dari mejanya, tenang dan profesional.
"Data itu ada di folder shared yang baru saja saya kirim ke email Anda. Sudah terverifikasi dan terkorelasi otomatis dengan data triwulan ini."
Lux dan seluruh tim Strategi dan Analisis terdiam.
Lux membuka email-nya dan menemukan database yang rapi, bersih, dan langsung dapat digunakan, pekerjaan yang seharusnya memakan waktu satu orang selama tiga hari telah diselesaikan Helena dalam waktu semalam.
Lux mendatangi meja Helena, rasa malu di wajahnya berganti menjadi rasa hormat yang tulus.
"Nona Nelson," katanya.
"Bagaimana Anda... bagaimana Anda melakukannya secepat ini?."
Helena tersenyum ramah.
"Saya hanya menggunakan sistem saya sendiri, Tuan Lux. Lebih efisien. Saya akan membagikan template ini dengan tim, jika kalian mau."
Ini adalah kemenangan soft power yang sempurna. Helena telah membuktikan bahwa kecerdasannya adalah aset yang meningkatkan efisiensi mereka, bukan ancaman yang mengganggu.
Staf tidak akan lagi melihatnya sebagai putri yang bermain, tetapi sebagai pemecah masalah fungsional yang tak terduga.