"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15 Tidak Akan Mengganggu
Arka pulang lebih cepat dari biasanya. Semua karena telepon dari ibu mertuanya—Santi. Ia tak suka ada yang bersikap kasar pada ibu dari mendiang istrinya. Arka memang sesayang itu pada Raswa, sampai-sampai orang-orang yang Raswa sayangi turut ia jaga sekalipun Raswa sudah tiada.
"Maira di mana, Mbak?" tanya Arka pada Iis yang membuka pintu.
"Ada di kamar Non Zara, Pak."
"Tadi mertua saya ke sini?"
"Ibu Santi?"
"Iya, siapa lagi."
"Iya, Pak, tadi Bu santi datang dengan putrinya."
"Kamu lihat nggak waktu Maira kurang ajar sama mertua saya?"
Iis sedikit bingung dengan pertanyaan majikannya ini. "Maksud Bapak?"
"Iya, kurang ajar, maksudnya Maira berani berkata kasar sama mertua saya?" jelas Arka.
Iis paham maksud Arka sekarang. Mungkin kejadian saat Maira mengusir nenek sihir itu secara halus. Iis tidak mau berbohong, ia ceritakan semua yang ia lihat pada Arka. Bagaimana sikap ibu mertua Arka itu saat merendahkan Maira, dan bagaimana Maira dengan sabar menghadapinya. Bahkan memilih diam dan pergi.
Arka mulai bingung sekarang. Cerita antara pembantu dan ibu mertuanya berbeda. Ibu mertuanya sangat meyakinkan saat bercerita di telepon tadi, tapi Iis juga terlihat jujur.
"Bapak mau saya siapkan makan malam?" tanya Iis, mendistrak pikiran Arka yang tengah bingung.
"Nggak usah, saya mau langsung istirahat. Zara udah tidur?"
"Sudah, Pak."
"Ya sudah, kamu boleh istirahat."
"Terima kasih, Pak."
Arka langsung menuju kamar Zara. Melihat putrinya yang katanya sekarang sudah bisa jalan. Arka hampir tak pernah berinteraksi dengan Zara. Sejak anak itu lahir, hanya beberapa kali Arka menggendongnya.
Arka pikir Zara tidur sendiri, tapi ternyata Maira juga ikut tidur di kamar putrinya itu. Arka urung masuk. Ia kembali menutup pintu kamar Zara dan pergi ke kamarnya sendiri.
Malam ini Arka tidur di rumah, tidak seperti biasanya yang selalu tidur di luar. Semua untuk menghindari Maira. Iya ... Menghindari istrinya itu.
Arka memang sudah mengatakan dengan jelas pada Maira di awal pernikahannya agar wanita itu tak berharap nafkah batin darinya, tapi ia tetap pria normal. Ia takut jika hasratnya muncul dan menginginkan Maira. Sementara hatinya masih penuh dengan nama Raswa.
Sampai pagi menjelang, Arka tidur sendirian di sofa, karena Maira memilih tidur di kamar Zara.
Maira melihat Arka yang sedang membaca koran di ruang tengah, tapi ia tak menyapa sama sekali. Berlalu begitu saja melewati Arka dan pergi ke kamar. Sejak kejadian ia memindahkan barang-barang itu, Maira mulai sadar diri. Ia tak lagi berusaha ramah pada Arka apa lagi mencari perhatian pria itu. Ia hanya bicara seperlunya saja, dan itu pun hanya soal Zara.
Sulit sebenarnya, tinggal bersama tapi tak saling bicara, tapi mau bagaimana lagi. Arka sendiri yang membuat batasan di antara mereka. Maira hanya ikuti saja permainan hidup yang Arka buat ini.
Sementara itu, Arka yang melihat Maira berlalu begitu saja justru merasa diabaikan. Sebelumnya sikap Maira tak seperti ini, meski Arka tak pernah menganggapnya, istrinya itu selalu berusaha bersikap baik padanya. Layaknya istri pada umumnya. Menyapa, menyiapkan makan atau kopi, atau kadang menyiapkan baju kerja, meski sering kali tak Arka pakai. Seolah sengaja ingin membuat Maira tahu jika wanita itu tak tahu seleranya sama sekali.
Setelah semua sikap kasar Arka itu, harusnya ini kan yang dia inginkan. Tak ada lagi perhatian atau basa-basi dari Maira.
Namun, entah kenapa ini justru menimbulkan rasa mengganjal di hatinya. Rasa aneh, seolah tak terima.
Arka masih memikirkan soal sikap Maira yang berubah saat wanita itu keluar dari kamar dan membawa tumpukan baju miliknya sendiri.
"Mau dibawa ke mana baju-baju itu?" tanya Arka pada akhirnya.
Langkah Maira terhenti. Ia menoleh pada Arka yang sudah meletakkan koran dan juga melepas kaca matanya.
"Mau saya bawa ke kamar Zara. Mulai hari ini saya akan tidur dengan Zara. Saya tidak akan mengganggu ketenangan Bapak dengan segala kenangan Bapak itu."
Maira tak menunggu respon apa pun dari Arka, ia kembali melanjutkan langkah.
Telak sekali. Arka seperi ditembak tepat di ulu hati.
Kenangan yang dimaksud Maira tentunya adalah segala foto, interior, juga segala pernak-pernik di kamar yang mana semua adalah milik Raswa. Mendiang istrinya itu juga yang menata dan mengaturnya.
Arka tak bisa membalas perkataan Maira, pun tak bisa mencegah ia pergi.
Maira berhenti sebelum benar-benar masuk ke kamar Zara. "Nanti siang saya ijin untuk membawa Zara pergi menjenguk Ibu saya."
Arka tak mengiyakan, pun tak menolak.
Diamnya Arka dianggap sebagai persetujuan oleh Maira.
*
Siangnya, Maira mengajak Zara pergi ke rumahnya sendiri. Betapa terkejutnya ia saat sampai di depan rumah sang ibu.
"Ada apa ini?" tanya Maira yang baru turun dari taksi.
Para tetangga yang berkumpul di depan rumah ibunya tak ada yang menjawab. Diam seribu bahasa.
Jantung Maira berdetak tak karuan. Perasaannya dipenuhi pikiran-pikiran buruk akan apa yang terjadi pada ibunya. Tak sabar, Maira menyibak kerumunan itu dan masuk ke rumah.
"Ibu!" pekiknya sembari menggendong Zara.