Lima tahun sudah Gunung Es itu membeku, dan Risa hanya bisa menatap dingin dari kejauhan.
Pernikahan yang didasarkan pada wasiat kakek membuat Damian, suaminya, yakin bahwa Risa hanyalah gadis panti asuhan yang gila harta. Tuduhan itu menjadi mantra harian, bahkan ketika mereka tinggal satu atap—namun pisah kamar—di balik dinding kaku rumah tangga mereka.
Apa yang Damian tidak tahu, Risa bertahan bukan demi kekayaan, melainkan demi balas budi pada kakek yang telah membiayai pendidikannya. Ia diam-diam melindungi perusahaan suaminya, mati-matian memenangkan tender, dan menjaga janjinya dengan segenap jiwa.
Namun, ketahanan Risa diuji saat mantan pacar Damian kembali sebagai klien besar.
Di bawah ancaman perceraian jika proyek itu gagal, Risa harus berhadapan dengan masa lalu Damian sekaligus membuktikan loyalitasnya. Ia berhasil. Proyek dimenangkan, ancaman perceraian ditarik.
Tapi, Risa sudah lelah. Setelah lima tahun berjuang sendirian, menghadapi sikap dingin suami, dan meny
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang dingin dan canggung
Pagi hari di kamar utama tidak pernah terasa tenang. Damian telah mengatur ritual pagi yang dingin.
"Mau ke kamar mandi?" tanya Damian, wajahnya mempertahankan kedinginan.
"Hmm, tapi aku mau ke kamar aku saja, mau ganti baju soalnya," ucap Risa.
"Itu aku sudah bawakan pakaian kamu, jadi kamu tidak perlu keluar dari kamar," ucap Damian, menunjuk ke sebuah kursi.
Risa melotot saat melihat pakaian dalamnya juga ada di sana. "Jangan salah sangka, semua Bibik yang bawakan dan ambilkan. Mau aku bantu ke kamar mandi?" tawar Damian.
"Nggak usah," jawab Risa, langsung menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Damian melangkahkan kaki ke ranjang sebelah dan mengambil tumpukan baju milik Risa.
Risa sedikit kesal dengan kelakuan Damian yang dengan asal memegang barang pribadinya. Risa dan Damian memang suami istri, tetapi mereka bukan pasangan pada umumnya karena dendam Damian. Risa langsung merebut baju miliknya dari tangan Damian.
Risa langsung masuk ke kamar mandi. Damian memutuskan duduk di sofa sambil mempersiapkan sarapan: bubur kiriman dari Mami Amara yang ia panaskan ulang sendiri, ia menolak Bi Darmi masuk, dan mempersiapkan obat untuk Risa.
Beberapa saat kemudian Risa keluar, sudah berganti pakaian. Untungnya Bibik mengambilkan pakaian berkancing depan, tetapi Risa masih kesusahan memasang beberapa kancingnya.
"Makan dulu, ini bubur dari Mami," ucap Damian.
"Hmm," jawab Risa, lalu berjalan ke arah Damian dan duduk di sebelahnya. Di tengah rutinitas itu, Risa memperhatikan detail kecil. Lingkar hitam di bawah mata Damian semakin pekat. Ia menyiksa dirinya demi mengawasi Risa.
tepat pukul sepuluh pagi, pintu kamar diketuk. damian membukakan pintu untuk dr. arya kusuma.
setiap kali arya masuk, atmosfer kamar berubah dari tegang menjadi medan pertempuran diam-diam. arya mengabaikan damian dan langsung fokus pada risa yang kini duduk di atas tempat tidur.
"bagaimana tidurmu? apa damian membiarkanmu istirahat?" tanya arya, sambil memeriksa suhu tubuh risa.
risa tersenyum tipis. "aku baik-baik saja, arya. damian merawatku dengan baik."
jawaban risa—sebenarnya upaya menjaga martabat—justru membakar api kecemburuan damian. merawat dengan baik? tentu saja, wanita ini akan terlihat manis dan lemah di depan kekasih rahasianya.
"oke, aku periksa dulu ya," ucap dr. arya kusuma. "sepertinya harus diganti perban kamu, risa. damian, tolong bantu aku mengangkat sedikit lengannya."
damian berdiri kaku, matanya tetap tajam pada risa. ia naik ke atas ranjang dan duduk di samping risa.
saat arya membuka perban, ia memeriksa bekas luka lama risa—bekas operasi infeksi—yang selama ini tertutup. arya menyentuhnya dengan sangat lembut.
"bekas lukanya tidak meradang, risa. itu bagus," bisik arya, merujuk pada bekas luka yang hanya diketahui mereka berdua.
damian menyaksikan adegan itu—arya yang menyentuh risa dengan keintiman medis, dan risa yang terlihat tenang.
"dokter arya," potong damian dingin. "saya rasa anda bisa lebih profesional. fokus pada retak tulangnya. bukan pada cerita masa lalu."
arya menoleh. "saya harus memastikan semua aspek tubuhnya pulih, tuan damian. dan jangan khawatir, saya tidak akan mengatakan apa pun kepada atha tentang bekas luka ini, kecuali risa mengizinkan."
Ucapan Arya membuat Damian semakin terasing. Ia menyadari, kedua pria itu—Arya dan Atha, tahu sesuatu yang besar tentang Risa, yang tidak ia ketahui.
Beberapa saat kemudian pemeriksaan selesai.
"Tolong jaga baik-baik Risa jika tidak ingin ada laki-laki yang memperjuangkannya," ucap Dr. Arya Kusuma, dan langsung pergi dari kamar.
Damian mengepalkan tangan mendengar ucapan Arya yang tidak didengar Risa (karena Risa sudah memejamkan mata akibat efek obat).
Jam berganti dan berlalu dengan cepat bagi Damian, tetapi bagi Risa, hari-hari yang dilewatinya sangat lambat.
Malam hari, Risa merasa sangat kedinginan. Ia menarik selimutnya, tetapi itu tidak membantu. Ia berbalik, melihat Damian yang meringkuk di sofa, tampak kelelahan dan kaku.
Risa memanggilnya pelan. "Damian."
Damian tidak merespons. Risa memanggil lagi.
"Damian, dingin," bisik Risa.
Damian tersentak bangun. Dalam keadaan setengah sadar, ia tidak sempat mengaktifkan filter kecurigaannya. Ia hanya melihat Risa menggigil.
Tanpa berkata apa-apa, Damian bangkit, mengambil jaket tebalnya yang tergantung, dan menutupkan nya ke atas kaki Risa. Setelah itu, ia mengambil selimut dari sofa dan kembali merebahkan diri, memunggungi Risa.
Perhatian kecil dan tanpa kata itu—perhatian yang datang saat ia lengah—adalah bukti bagi Risa bahwa ada sesuatu selain kebencian di dalam diri suaminya. Rasa bersalahnya begitu besar hingga mengalahkan naluri egoisnya. Risa memeluk jaket tebal Damian. Ia tahu, di balik penjara dingin ini, suaminya juga sedang menyiksa dirinya sendiri.