Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35: MENYIAPKAN PAPAN CATUR
Fajar adalah kebohongan.
Cahaya yang merayap masuk melalui celah-celah rumah yang hancur itu bukanlah cahaya keemasan yang hangat, melainkan cahaya abu-abu yang dingin dan mati. Cahaya itu menerangi penjara baru mereka: sebuah ruang tamu yang lantainya tertutup lapisan tebal debu, plesteran yang rontok, dan daun-daun kering yang ditiup angin selama bertahun-tahun.
Tidak ada yang tidur. Tidak ada yang bisa.
Reza duduk meringkuk di sudut terjauh, memeluk pipa rebar-nya, matanya merah dan bengkak. Setiap beberapa menit, tubuhnya tersentak oleh gema trauma.
Santi Ibrahim duduk bersandar di dinding yang berlumut, ban kempes kecil tergeletak di sampingnya. Dia telah mencoba menggunakan ponselnya—baterainya masih 60%—tetapi benda itu hanyalah sebongkah kaca dan logam yang mati. "Tidak Ada Layanan". Dia benar-benar terputus dari dunia yang dulu dia liput.
Dan Rania...
Rania bekerja.
Selama berjam-jam, di tengah kegelapan yang dingin, dia duduk di depan layar laptop yang menyala, yang ditenagai oleh aki mobil. Dia adalah sebuah pulau ketenangan yang tidak wajar di tengah lautan keputusasaan. Amulet obsidian di dadanya membuatnya tetap dingin, tetap fokus.
Dia tidak sedang panik. Dia sedang menganalisis.
"Ini," kata Rania, suaranya memecah keheningan fajar yang mati. Suara itu terdengar datar dan keras.
Reza dan Santi tersentak.
"Apa?" kata Reza serak.
"Markas ini," kata RANIA. "Ini aman. Untuk saat ini."
Santi menggosok wajahnya yang kotor. "Bagaimana kamu tahu?"
"Aku sudah memeriksa," kata RANIA. Dia menunjuk ke laptop. "Radio *scanner* Santi. Aku menyalakannya satu jam yang lalu."
Dia menekan satu tombol.
Keheningan.
"Tepat," kata RANIA. "Tidak ada. Tidak ada statis 'Omega'. Tidak ada lolongan. Tidak ada siaran militer. Tidak ada apa-apa. Frekuensi di sini... bersih."
Dia menoleh ke Reza. "Kamu benar, Za. Tempat ini adalah kuburan. Tapi itu juga 'gelembung'. 'Koreksi' di Blok M menyiarkan Gema-nya melalui frekuensi radio AM. Tapi sinyal itu tidak sampai ke sini. Kita berada di *noise floor*. Kita 'buta' dan 'tuli' bagi dunia luar. Dan mereka juga buta dan tuli bagi kita."
Itu adalah berita terbaik yang mereka dengar dalam 48 jam. Itu juga yang terburuk. Mereka aman, tapi mereka terisolasi sepenuhnya.
"Jadi," kata Santi, suaranya sedikit lebih kuat. Dia merangkak mendekat ke cahaya laptop. "Kita punya... waktu. Waktu untuk apa?"
Rania menatapnya. Mata dinginnya yang tanpa emosi tampak bersinar dalam cahaya layar.
"Waktu untuk memahami musuh kita," katanya.
Dia membalikkan laptop itu sehingga mereka berdua bisa melihatnya. Di layar, ada folder yang terbuka: *'SKRIPSI_MASTER_FINAL_OK_BANGET'*.
"Ini," kata RANIA, "adalah buku pelajaran Bima."
Dia membuka sub-folder: *'CATATAN_LAPANGAN_SITUS_KUNO'*.
"Selama empat tahun," Rania mulai menjelaskan, suaranya seperti dosen di ruang kuliah yang hancur, "Aku berkeliling mempelajari arsitektur kuno. Aku pikir aku sedang mempelajari 'gema psikologis'. Aku pikir itu tentang *bagaimana* sebuah bangunan membuatmu *merasa*."
Dia menunjuk ke layar. Sebuah file teks: *'BOROBUDUR_ANALISIS_AKUSTIK.txt'*.
"Aku salah," katanya. "Aku tidak sedang mempelajari *bagaimana*. Aku sedang mempelajari *apa*. Aku sedang mengukur *Gema*."
Dia membacakan catatannya sendiri, suaranya datar, tanpa emosi, menerjemahkan idealisme Rania yang *dulu* menjadi data Rania yang *sekarang*.
"Catatan lama: *'Stupa berlubang di tingkat atas memiliki 'keajaiban' akustik... Rasanya seperti 'diserap' oleh batunya. Seluruh lantai itu terasa seperti garpu tala raksasa yang mati.'* "
Dia menatap Reza dan Santi. "Terjemahan: Borobudur adalah 'Peredam' Gema. Itu adalah 'Segel'. Didesain untuk *menetralkan* Gema liar. Seperti teknologi garpu tala Dion, tapi ribuan kali lebih kuat dan permanen."
Reza ternganga.
Rania membuka file lain. Foto-foto Katedral Cologne yang dia ambil saat studi banding.
"Catatan lama: *'Jendela kaca patri dan langit-langit yang menjulang tinggi dirancang untuk mengintimidasi. Suara organ menggema begitu kuat hingga kau bisa merasakannya di dadamu. Ini adalah manipulasi emosi yang brilian.'* "
"Terjemahan," kata RANIA. "Katedral adalah 'Amplifier' Gema. Sebuah 'Lensa'. Kaca patri dan sudut 60 derajat memfokuskan Gema *kekacauan*—emosi kolektif dari para jemaat—menjadi satu titik, memperkuatnya. Mereka tanpa sadar memberi makan 'Denah'."
Santi menelan ludah. "Jadi... Borobudur adalah *Perisai*. Katedral adalah *Senjata*."
"Tepat," kata RANIA. "Dan Bima tahu ini. Dia mengejekku di kampus karena penelitian ini. Sekarang aku tahu kenapa. Dia tidak mengejeknya karena itu 'omong kosong'. Dia mengejeknya karena aku *tidak tahu* apa yang sebenarnya telah kutemukan."
Rania membuka file terakhir. Satu pindaian (scan) buram dari buku langka: *'Geometri Suci dan Denah yang Tak Terlihat.'*
Layar itu menampilkan diagram garis yang dingin dan presisi. Pola geometris yang mustahil.
"Tanda tangan 'Sang Geometer'," bisik Reza, mengenali kengerian itu.
"Ya," kata RANIA. "Aku pikir ini hanya 'Proporsi Ilahi' yang menarik. Tapi lihat."
Dia membuka *file* lain. Foto-foto "Koreksi" di Blok M yang diambil Santi.
Dia menyejajarkan kedua gambar itu.
Pola *glitch* pada bangunan yang "meleleh" itu... *identik* dengan diagram kuno "Sang Geometer".
"Bima tidak hanya *menemukan* sesuatu," kata RANIA. "Dia... *menyempurnakannya*. Dia mengambil *desain Tatanan* murni dari 'Sang Geometer', dan—berdasarkan penelitianku—dia menggabungkannya dengan *prinsip Amplifier* dari arsitektur 'Kekacauan'."
Dia menatap kedua rekannya. "Dia tidak hanya membangun 'Lensa' di Menara Aeterna. Dia membangun sesuatu yang baru. Sesuatu yang bisa *memfokuskan* Tatanan *dan* Kekacauan. Sesuatu yang bisa *mengendalikan* keduanya."
Keheningan memenuhi trailer itu. Skala ambisi Bima terlalu besar untuk dipahami.
"Oke," kata Santi akhirnya, suaranya gemetar. "Oke. Jadi... Bima adalah jenius jahat. Dan kita... kita terjebak di sini, di kota hantu. Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa melawannya."
"Benar," kata RANIA. "Kita tidak bisa melawannya. Belum."
Dia bersandar di kursinya. Amulet itu dingin. Pikirannya jernih. "Dia mungkin jenius. Tapi sekarang, aku punya buku pelajarannya. Dan dia tidak tahu aku memilikinya."
Rania mematikan laptop. Aki mobilnya perlu dihemat.
"Kita tidak terjebak," katanya pada timnya yang hancur. "Kita berada di ruang kelas. Kita berada di markas pelatihan."
Dia menatap Reza. "Kamu akan membaca setiap teks *lore* yang aku temukan. Kamu akan menjadi ahli sejarah 'Denah'."
Dia menatap Santi. "Kamu adalah 'telinga' kita. Kamu akan memantau radio AM itu. Aku ingin tahu apakah 'lolongan' itu *berubah*. Apakah itu sebuah bahasa. Cari polanya."
"Dan kamu?" tanya Reza. "Apa yang akan kamu lakukan?"
Rania menyentuh amulet obsidian di dadanya. Dia teringat pertarungannya dengan *Mimic*. Dia teringat bagaimana "kekacauan" emosinya telah merusak Tatanan murni.
Dia membutuhkan *keduanya*.
"Aku," katanya, "akan belajar cara *bertarung*. Aku akan berlatih."
Dia perlu belajar cara melepas amulet ini tanpa menjadi lumpuh. Dia perlu belajar mengendalikan "kekacauan" yang dia gunakan sebagai senjata.
"Hari ini," kata RANIA, "kita berhenti berlari. Kita mulai belajar."
Reza dan Santi mengangguk. Itu adalah rencana pertama yang terasa seperti... harapan.
Tiba-tiba, Reza, yang duduk di dekat pintu trailer yang terbuka, membeku.
"Ra..." katanya pelan. "Lihat."
Rania dan Santi langsung tegang, meraih senjata darurat mereka (pipa rebar dan ban kempes).
Reza tidak menunjuk ke jalan. Dia menunjuk... ke seberang danau kering.
Ke "Rumah Sempurna".
Rania dan Santi bergabung dengannya di pintu.
Mereka bertiga menatap ke bukit.
Dari cerobong asap "Rumah Sempurna" yang terawat rapi itu... mengepul asap.
Asap tipis berwarna putih, membubung lurus ke langit fajar yang sakit-sakitan. Seolah-olah seseorang baru saja menyalakan perapian untuk menghangatkan diri.
"Tidak mungkin," bisik Santi. "Di luar... suhunya 30 derajat Celcius."
"Gema 'Nostalgia' itu..." Reza gemetar. "Apa... apa yang dilakukannya?"
Rania menatap asap itu. Itu adalah sebuah undangan. Itu adalah sinyal. Itu adalah *puzzle* lain.
"Itu," kata RANIA pelan. "Sedang memanggil kita."