NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 # Terlambat Pulang

Pukul lima sore, Aliza tiba di rumah dengan menumpang ojek online yang ia pesan dari aplikasi di ponselnya. Tubuhnya terasa letih setelah seharian sibuk mengerjakan pesanan para pelanggan.

Baru saja ia melangkahkan kaki ke pekarangan, sebuah mobil hitam mengilap—kendaraan yang biasa digunakan Tuan Muda Nadeo—masuk melewati gerbang utama. Seketika, seluruh pelayan berbaris rapi menyambut kepulangan sang tuan muda.

Aliza panik. Ia segera berlari, berusaha menyambut, namun terlambat. Pintu mobil sudah lebih dulu terbuka, dan sosok Tuan Muda Nadeo keluar dengan penuh wibawa. Pandangan tajam dari mata elangnya langsung mengunci arah Aliza, membuat langkahnya terhenti dan jantungnya berdegup keras.

Tanpa sepatah kata, Tuan Muda Nadeo melangkah masuk ke dalam rumah. Aliza berniat menyusul, tapi geraknya terhenti ketika Sekretaris Mark berdiri menghadangnya.

“Nona Aliza,” suara Mark datar namun tegas, “apakah Anda melupakan tugas-tugas Anda sebagai istri Tuan Muda?”

Aliza menunduk, jemarinya meremas ujung tas yang masih ia genggam, lalu menggeleng pelan.

“Lalu kenapa Anda baru pulang? Bukankah seharusnya Anda sudah berada di rumah sebelum Tuan Muda kembali?” tanya Mark lagi, tatapannya tajam seolah menembus hati kecil Aliza.

Aliza menunduk semakin dalam. Suaranya lirih saat mencoba memberi penjelasan,

“Maaf, Sekretaris Mark... tadi saya banyak pekerjaan. Itu yang membuat saya terlambat pulang.”

Namun wajah Mark sama sekali tak luluh. Tatapannya dingin, penuh wibawa.

“Itu bukan alasan, Nona. Anda sudah tahu tugas Anda sebagai istri Tuan Muda. Kenapa tidak dijalankan?” ucapnya tegas.

Aliza terdiam, bibirnya gemetar, sementara tangannya meremas tas yang digenggam.

“Tuan Muda tidak melarang Anda bekerja,” lanjut Mark, nada suaranya tajam menusuk, “tapi seharusnya Anda tahu waktu dan batasannya. Apa gunanya status istri Tuan Muda kalau Anda mengabaikan kewajiban utama Anda?”

Aliza menelan ludah, rasa takut bercampur cemas memenuhi dadanya.

“Saya rasa...” Mark menatap lurus ke arah mata Aliza, membuat perempuan itu tak berani menatap balik, “setelah hari ini, Tuan Muda pasti akan marah besar pada Anda.”

Silakan Nona menyusul Tuan Muda ke dalam,” ujar Sekretaris Mark datar, sebelum berbalik hendak masuk ke mobil.

Namun langkahnya tertahan ketika Aliza cepat-cepat menghalangi.

“Maaf, Sekretaris Mark... boleh saya bertanya sesuatu?” suara Aliza ragu, matanya memohon.

Mark menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Apa itu?”

“Saya... ingin tahu,” Aliza menarik napas gugup, “jam berapa setiap hari biasanya Tuan Muda Nadeo pulang ke rumah. Supaya saya bisa memastikan diri sudah ada di rumah sebelum beliau tiba.”

Sekretaris Mark menatapnya sejenak, seolah menilai kesungguhan Aliza. Lalu ia menjawab singkat,

“Biasanya Tuan Muda kembali sekitar pukul lima sore. Tapi terkadang, beliau pulang lebih awal.”

Aliza mengangguk cepat, wajahnya tampak lega. “Kalau begitu... bolehkah saya meminta nomor telepon Anda, Sekretaris Mark? Dengan begitu, saya bisa bertanya langsung kapan Tuan Muda pulang. Jadi saya tidak akan terlambat lagi.”

Mark terdiam, sorot matanya tajam seakan sedang menimbang apakah permintaan Aliza pantas dikabulkan.

Sekretaris Mark merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam elegan dengan huruf timbul keperakan. Ia menyerahkannya pada Aliza dengan sikap formal.

“Ini kartu nama saya, Nona. Anda bisa menyimpan nomor saya di dalamnya,” ucapnya tegas.

Aliza menerima kartu itu dengan kedua tangan, menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Sekretaris Mark…”

Mark menatapnya sejenak, lalu menyipitkan mata. “Apa ada lagi yang ingin Nona tanyakan? Jika tidak, saya ingin kembali sekarang.”

Aliza menggenggam kartu itu erat, seolah benda kecil itu bisa menyelamatkan posisinya. Ia menggeleng pelan. “Tidak ada, Sekretaris. Terima kasih atas kebaikan Anda.”

Mark hanya mengangguk tipis, lalu melangkah masuk ke mobil dengan wibawa yang tak bisa disentuh. Mesin mobil kembali meraung halus, meninggalkan Aliza yang masih berdiri di halaman dengan perasaan campur aduk—antara lega karena mendapat jalan keluar, dan cemas karena sebentar lagi ia harus berhadapan langsung dengan Tuan Muda Nadeo.

Aliza menutup pintu pelan di belakangnya, jantungnya masih berdegup kencang. Saat pandangannya menyapu ruang tamu, ia melihat Claudia, ibu mertuanya, duduk tegap di sofa; di sampingnya Jenny dan Jean, kedua iparnya, saling bertukar tatap yang penuh sindiran. Suasana mendadak dingin seperti udara di penghujung malam.

“Baru sehari menjadi istri, sudah membuat kesalahan. Bukankah seharusnya seorang istri berdiam di rumah menyambut suami? Ini malah berkeliaran di luar.” suara Claudia tajam, setiap kata digulung dengan kekecewaan.

“Aku rasa Kak Nadeo sudah terlalu baik pada ‘tikus kecil’ ini, membiarkannya berkeliaran di luar,” sela Jenny, nada mengejek seperti garpu menohok kain halus.

Jean menepuk tangan kecilnya, senyum sinis terlukis di bibirnya. “Kalau aku jadi Kak Nadeo, sudah kuberi pelajaran. Tidak becus menjadi seorang istri, memang pantas diberi tahu.”

Aliza terasa seolah seluruh ruangan mengecil. Bibirnya kering, kata-kata yang sudah disiapkan rontok seperti pasir dari genggamannya. Ia menunduk, berusaha menahan rasa malu yang naik ke pipi. Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia mengumpulkan sisa keberanian: “Maaf—ibu, adik ... tadi saya benar-benar sibuk. Saya... saya tidak bermaksud mengecewakan.”

Claudia menghela napas panjang, matanya yang dingin tak berubah lembut. “Maaf tidak cukup untukmu . Statusmu di sini bukan sekadar gelar. Ada tata krama, ada batas — yang tampaknya belum kamu pahami.”

Jenny dan Jean saling tersenyum kecil, puas melihat posisi Aliza melemah. Udara di ruang tamu semakin tegang, hanya terdengar detak jam dinding yang seperti menghitung dosa.

Ketika suara itu masih menggantung, langkah kaki terdengar menuruni anak tangga . Tuan Muda Nadeo datang. Seluruh ruang seolah berhenti bernapas. Ia berdiri di ambang pintu, rapi, tenang, namun sorot matanya dingin seperti pisau. Semua mata tertuju padanya; bahkan tawa sinis Jenny seketika mati.

Nadeo menatap Aliza beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Tanpa tergesa, ia melangkah masuk dan berkata dengan nada yang sangat rendah — namun semua orang mendengar: “Jelaskan.”

Aliza menelan, menatap ke arah suaminya. Di sanalah titik balik — apakah ia akan menjawab dengan jujur, menangis, atau tetap bungkam menunggu hukuman?

"Ikut saya.”

Suara Tuan Muda Nadeo terdengar tegas, tak memberi ruang untuk membantah.

Aliza hanya bisa menunduk, mengikuti langkah kakinya yang panjang dan mantap. Mereka keluar dari ruang tamu, meninggalkan tatapan puas Claudia dan kedua iparnya. Jalan itu berakhir di sebuah ruangan yang sunyi—ruang baca dengan rak-rak penuh buku yang menjulang.

Nadeo menjatuhkan tubuhnya ke sofa, duduk dengan sikap berwibawa. Sedangkan Aliza tetap berdiri di depan, tubuhnya gemetar menahan rasa takut. Udara dalam ruangan begitu berat, seolah seluruh oksigen habis tersedot oleh sorot mata elang Tuan Muda.

“Kenapa kamu tidak langsung menyusul saya ke kamar tadi, Nona Aliza?” suara Nadeo rendah, namun tegas, menggedor jantung Aliza.

Aliza menelan ludah, mencoba menyusun kata. “Tadi... saya berbicara dengan Sekretaris Mark sebentar, Tuan Muda.”

Alis Nadeo terangkat tipis. Sebuah senyum dingin melintas di wajahnya. “Oh, begitu.” Ia bersandar ke sofa, menautkan jemarinya. “Ada keperluan apa kamu dengan Mark?”

Aliza terdiam, bibirnya kaku.

Tatapan Nadeo mengeras, tajam seperti bilah. “Atau...” ia berhenti sejenak, suaranya semakin menusuk, “apakah kamu tertarik padanya?”

Aliza terhenyak, kepalanya cepat-cepat menggeleng. “Tidak, Tuan Muda! Sama sekali tidak!” suaranya nyaris bergetar.

Nadeo masih menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha membongkar isi hatinya sampai ke dasar.

Aliza menggeleng cepat, lalu menunduk semakin dalam. Suaranya lirih, bergetar, namun penuh ketulusan.

“Tidak, Tuan Muda... sama sekali bukan seperti itu. Saya hanya... hanya bertanya kepada Sekretaris Mark tentang jam kepulangan Anda setiap hari. Saya takut terlambat lagi, takut tidak ada di rumah ketika Anda pulang. Karena itu... Aliza masih menunduk, menunggu reaksi Tuan Muda. Namun suara dingin itu kembali terdengar, menusuk telinganya.

“Kalau begitu...” Nadeo menyilangkan kaki, pandangannya menusuk tajam, “setelah berbicara dengan Mark, kenapa kamu malah berada di ruang tamu? Bergabung bersama Ibu, Jenny, dan Jean?”

Aliza terhenyak, kedua tangannya refleks meremas ujung bajunya. “Sa-saya tidak berniat begitu, Tuan Muda,” jawabnya tergagap. “Saat saya masuk, mereka sudah ada di sana... saya tidak ingin dianggap tidak sopan jika langsung beranjak pergi ke kamar.”

Tatapan Nadeo tetap dingin, tak ada sedikit pun celah untuk bernafas lega.

“Jadi kamu memilih diam, menerima hinaan mereka begitu saja?”

Aliza menelan ludah, matanya berkaca-kaca. “Saya... saya tidak ingin memperkeruh keadaan. Saya pikir... lebih baik saya diam, Tuan Muda.”

Nadeo terdiam beberapa saat, lalu condong ke depan, suaranya rendah namun penuh tekanan.

“Mulai hari ini, ingat baik-baik, Aliza. Jangan biarkan siapa pun—termasuk Ibu atau adik-adik saya—merendahkanmu tanpa alasan. Kamu adalah istriku. Dan itu berarti... tempatmu bukan untuk diinjak.”

Aliza hanya mengangguk

1
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!