Nadia Prameswari menjalani kehidupan yang sempurna dengan suaminya di mata publik. Namun sebenarnya, pernikahan itu hanya untuk kepentingan bisnis dan politik.
Nadia seorang wanita aseksual, membuat Arya selingkuh dengan adik tirinya.
Hal itu membuat Nadia bertekad memasang chip di otaknya untuk mengaktifkan hasrat yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
Namun, apa yang terjadi setelah rasa itu aktif? Apa dia akan menjerat Arya atau justru terjerat pria lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
"Bagaimana, Prof? Apa benar-benar tidak ada yang berhasil disalin?" tanya Nadia memastikan sekali lagi bahwa data penelitiannya tidak ada yang berhasil disalin oleh Rissa.
Axel yang kini memegang kendali penuh atas keamanan data, tersenyum kecil. Dia mengangguk yakin. "Tidak ada. Saya sudah mengamankan semua data. Akan ada alarm peringatan di tablet yang saya bawa kemana-mana," jawabnya.
Axel memutar kursinya, mengalihkan perhatiannya pada Niko yang berdiri tegak di samping Nadia. "Niko, kamu kembali?" tanyanya sambil tertawa. "Aku tidak menyangka kamu putra Pak Riadi. Pantas saja kamu tidak ada takutnya sama siapapun."
Niko membalas tawa itu. Dia mendekati Axel, menepuk bahu Profesor itu dengan ringan. "Tentu saja, Prof. Mengapa Prof tidak bilang kalau punya proyek bersama mantan yang sekarang bekerja di perusahaan Papa."
"Aku juga tidak mengira kalau dia sudah meluncurkan proyek itu tanpa sepengetahuanku. Kami sudah lama tidak kontak. Apa dia sekarang sudah menikah?"
Niko hanya tertawa, tidak ingin membocorkan informasi lebih jauh. "Anda tanya sendiri saja," jawabnya misterius.
Saat percakapan santai itu berlangsung, Nadia yang sejak tadi fokus dengan ponsel di tangannya, tiba-tiba menunjukkan ekspresi panik. Matanya yang tajam kini memancarkan kecemasan yang mendalam. Dia segera meraih lengan Niko.
"Niko, kita ke rumah Papa sekarang saja," kata Nadia, suaranya tercekat oleh firasat buruk yang mendadak menyerangnya. "Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku sudah menghubungi nomor papanya beberapa kali tapi tidak diangkat."
Niko langsung memahami situasi itu. Dia mengangguk cepat, tahu bahwa kekhawatiran Nadia adalah prioritas utama. Mereka segera melangkah cepat keluar dari laboratorium menuju lift.
Di dalam lift, Nadia berdiri gelisah dan terus menatap layar ponselnya. "Dari tadi aku tidak bisa hubungi Papa," kata Nadia.
"Sebaiknya kita bawa Papa kamu ke rumah kamu saja," saran Niko, mencoba memberikan solusi praktis. "Agar jauh dari ibu tiri kamu dan Rissa."
"Tapi, Papa tidak mungkin mau," jawab Nadia, raut wajahnya menunjukkan dia tahu betul betapa keras kepalanya papanya.
Pintu lift berdenting, terbuka di lantai dasar. Mereka segera keluar dan berjalan cepat melintasi lobi yang sunyi menuju area parkir.
Niko berjalan lebih dulu, membuka pintu mobil untuk Nadia. Nadia segera masuk ke dalam mobil.
Setelah menutup pintu di sebelah Nadia, Niko segera masuk dan duduk di kursi pengemudi. Tanpa membuang waktu sedetik pun, dia memasukkan segera menghidupkan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah orang tua Nadia.
Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti tepat di depan gerbang mewah kediaman Pak Anas. Hati Nadia sudah dipenuhi rasa cemas yang menusuk. Tanpa menunggu Niko membukakan pintu, Nadia segera keluar dari mobil.
DIa berjalan cepat menuju gerbang utama, tetapi terhenti karena gerbang tinggi itu tertutup rapat. Nadia menekan bel interkom berkali-kali dengan tidak sabar. Tak lama, suara Bu Ratna terdengar dari speaker.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Bu Ratna, nadanya dingin dan tidak ramah.
"Bu Ratna, buka pintunya! Aku harus bertemu Papa sekarang!" tuntut Nadia, suaranya lantang dipenuhi kekhawatiran.
Gerbang itu akhirnya terbuka sedikit, memperlihatkan Bu Ratna berdiri angkuh di balik celah, mengenakan pakaian rumah yang elegan. Tatapan matanya tajam dan penuh permusuhan.
"Untuk apa kamu datang ke sini, Nadia? Mas Anas sedang istirahat. Dia tidak mau diganggu," ujar Bu Ratna, menghalangi pandangan Nadia ke dalam rumah.
"Papa tidak pernah menolak bertemu denganku! Aku sudah mencoba menghubunginya sejak tadi pagi, tapi tidak ada jawaban! Kalau Papa sakit, aku harus tahu!"
Bu Ratna tertawa sinis. "Mas Anas sakit? Tentu saja dia sakit karena memikirkan kelakuanmu dan kecuranganmu di perusahaan. Dia butuh ketenangan. Kamu pulang saja. Jangan membuat keributan di sini."
Niko, yang kini berdiri tepat di samping Nadia, angkat bicara. "Bu Ratna, jangan mempersulit keadaan. Biarkan Nadia masuk sebentar saja untuk melihat Pak Anas. Ini penting."
Bu Ratna melirik Niko dari atas ke bawah, pandangannya penuh penghinaan. "Kamu hanya seorang asisten tapi selalu saja ikut campur urusan Nadia. Apa jangan-jangan kalian punya hubungan gelap? Pantas selama ini kamu belum juga mempunyai anak, pasti Arya tidak mau menyentuh kamu."
"Jangan bicara sembarangan! Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku datang ke sini untuk bertemu Papa! Kalau memang Papa baik-baik saja, biarkan aku melihatnya sebentar."
"Mas Anas tidak ingin bertemu denganmu! Kalau mau bertemu, berikan Rissa proyek."
Nadia menghela napas panjang. Niko juga sudah habis kesabarannya. Dia mendorong Bu Ratna hingga terjatuh kemudian mereka berdua masuk secara paksa ke dalam rumah itu.
Nadia segera berjalan cepat menuju kamar papanya. Saat dia membuka pintu kamar itu, dia melihat papanya yang sedang tertidur dengan nyenyak.
Nadia mendekat dan akan membangunkannya namun terhenti.
"Sudah aku bilang, Mas Anas sedang istirahat. Jangan ganggu!"
Nadia mengepalkan kedua tangannya. "Baiklah. Besok aku akan datang ke sini lagi untuk menemui Papa." Kemudian Nadia mengajak Niko keluar dari rumah itu.
Bu Ratna memberi kode pada satpam agar menutup pintu setelah Nadia keluar. Dia kini mengambil ponselnya dan memanggil pengacara.
"Pak Riki, Anda ke rumah sekarang dan siapkan dokumen pengalihan saham."
***
"Kak Arya, aku hubungi dari tadi mengapa tidak diangkat?" Rissa memutuskan untuk menemui Arya di depan kantor pemerintahan.
Arya yang baru saja keluar dari kantor sangat terkejut. Buru-buru dia membawa Rissa masuk ke dalam mobilnya.
"Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu ke sini?" Arya menatap kesal pada Rissa karena selalu saja menambah masalahnya.
"Kak Arya, ada sesuatu yang ingin aku katakan?"
"Rissa, aku sedang pusing. Ternyata Nadia selingkuh sama Niko. Dia sengaja menanam biochip untuk membangkitkan hasratnya."
"Biar saja. Niko hanya seorang asisten. Dia tidak lebih baik dari kamu. Kamu cemburu?"
Arya menghela napas panjang. "Niko, bukan orang sembarangan. Dia anak Pak Riadi, pemilik rumah sakit swasta terbesar dan juga memiliki perusahaan biotek. Dia juga punya saham di berbagai sektor. Aku jelas kalah sama dia, tapi aku tidak rela kalau dia sama Nadia."
Rissa menatap kesal Arya. Dia mencengkeram kemeja Arya. "Mengapa tidak rela? Selama ini kamu juga selingkuh sama aku."
"Rissa, aku selingkuh sama kamu karena Nadia tidak mau aku sentuh. Tapi, aku benar-benar tidak mau kehilangan dia!"
Rissa menampar pipi Arya cukup keras. "Bukankah kamu memang ingin menceraikannya? Aku akan mendapatkan semuanya. Kamu bisa bersamaku!"
Kemudian Rissa mengambil sesuatu di dalam tasnya dan dia tunjukkan pada Arya. "Aku hamil anak kamu."