Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak pernah pulang
“Selamat pagi… keluargaku yang tercinta. Jangan berhenti sarapan ya! hanya karena aku datang.” Ucapnya santai, melempar senyuman sinis.
Rose meletakkan topinya di tangan Dimitri, lalu menatap Sebastian dengan senyum tipis.
“Jadi… kau akan menikah dengan Madona?”
Sebastian menegakkan punggungnya, mencoba terlihat tenang, walau jelas nada Rose mengandung duri.
Rose melangkah pelan mengitari meja makan, jemari menyusuri sandaran kursi. “Tenang saja… Tuan Morreti punya selera tinggi. Dia tidak akan menikahi wanita yang sudah… usang bekas kau.”
Sebastian membeku. Elvira langsung menoleh, hendak menegur, tapi Rose mengabaikannya. Ia berhenti di samping Radit, meletakkan sebuah kotak berbalut pita emas di hadapannya.
“Hadiah… untuk ayah. Orang yang pernah memberi sedikit pelangi di hidupku.” Tatapan Rose melembut__namun hanya sesaat.
“Aku masih ingat saat berkelahi dengan rentenir itu… demi membelamu. Tapi aku juga tidak akan lupa… saat aku diserahkan begitu saja… ke tangan orang lain, dengan tukaran uang.”
Rose menatap ayahnya, tatapan itu cukup membuat Radit menunduk dalam-dalam, seolah kursi di bawahnya bisa menelan seluruh rasa bersalah.
Elvira tiba-tiba bersuara, nadanya datar tapi tegang. “Kau sudah bahagia sekarang, Rose. Aku bisa melihatnya… jadi kenapa masih membahas hal itu?”
Rose menoleh perlahan, menatap ibunya dari ujung meja. Senyum itu kembali muncul__manis, tapi dingin. “Karena, Bu… beberapa cerita tidak akan pernah selesai… meski pengantinnya sudah mengenakan gaun terindah sekalipun.”
Rose tertawa pelan, tawa yang lebih mirip retakan kaca. “Bahkan… jika suatu hari putriku bertanya, Di mana kakek dan nenekku?, aku akan menjawab… aku lahir jatuh dari langit. Aku tidak akan mengenalkannya pada kalian.”
Elvira menghela napas panjang, lalu menatapnya penuh sinis. “Tanpa kau berkata begitu pun, kami sudah siap kehilanganmu. Semua wanita yang dinikahi Tuan Morreti memang tidak pernah kembali. Mereka hilang… seperti ditelan bumi. Jangan terlalu sombong, Rose. Kau belum tahu saja nasibmu kelak.”
Sebastian ikut menyahut, nada suaranya seperti menusuk. “Ya, benar kata Ibu. Jangan pikir kau sudah menang.”
Rose menoleh pelan ke arah kakaknya, tatapan matanya menusuk bagai bilah tipis. “Kau… sampai kapan akan menjadi benalu?”
Ia mencondongkan tubuh, bertanya pada ayahnya. “Di mana kalian membeli rumah untuknya?”
Radit menelan ludah. “Di kaki bukit… dekat danau Virrela.”
“Ayah! Kenapa memberi tahunya?!” bentak Sebastian.
Rose mendekat selangkah, suaranya merendah tapi penuh api. “Rumah itu… dibeli dari uang hasil menjualku, kan? Kenapa aku tidak boleh tahu?”
Tak ada yang menjawab. Hening di ruang makan itu menekan seperti dinding yang menyempit.
Rose menarik napas panjang. Semakin lama ia berdiri di sini, semakin hatinya tersayat. Amarahnya mendesak ingin meledak, hatinya hancur, kenangan masa lalu menyayat di tiap sudut pandang.
Dan yang paling menusuk… ibunya, wanita yang melahirkannya, bahkan tak memberinya secangkir teh pun.
Rose tersenyum tipis, tapi kali ini tatapannya dingin membeku.
“Ternyata… aku memang tidak pernah pulang. Aku hanya sedang mampir… di rumah orang asing.” Ucapnya, mengayunkan angkah berjalan menuju pintu keluar. Dimitri menatapnya sedih, seolah paham seperti apa kondisi hari Rose saat ini.
Mereka, keluarganya hanya diam. Bahkan tak ada yang menghentikan Langkah Rose meninggalkan rumah itu.
**
Mobil mewah itu melaju tenang di jalan berkelok kaki gunung. Rose duduk di kursi belakang, menatap kosong ke luar jendela. Matanya sembab, pipinya dingin.
Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ia menegakkan badan.
“Belok. Ke danau Virrela.” Ucapnya.
“Baik Nyonya!” sambut Dimitri. Kemudipun segera belok sesuai permintaanya tanpa banyak tanya. Elano ikut terdiam, merasakan aura tak biasa dari majikannya.
Tak lama, mereka tiba. Danau Virrela memantulkan cahaya sore, tenang… namun rumah megah di tepiannya berdiri angkuh, bagai monumen dari pengkhianatan.
Rose turun perlahan. Angin gunung menusuk kulitnya, tapi yang lebih menusuk adalah pemandangan rumah itu__dindingnya putih berkilau, jendela-jendelanya lebar, halaman luas yang masih bau semen baru. Semua… dari hasil menjual dirinya.
Lucas ikut turun, mobilnya tersembunyi dibalik Semak dan pohon. Ia berjalan lebih mendekat, agar tahu apa yang Rose lakukan.
Lutut Rose gemetar. Nafasnya tercekat. Air mata menggenang, tapi ia menahannya, hingga bibirnya bergetar.
“Rumah ini…” bisiknya, “…dibangun dari harga yang kalian pasang di punggungku.”
Tanpa berpikir panjang, ia mengambil jerigen di bagasi. Dimitri memandang terkejut.
“Nyonya… apa yang akan anda lakukan?”
Lucas berlari ingin membantunya, namun ia ingat siapa dirinya, lalu kembali bersembunyi. Menatap heran namun tidak menghentikan. Hanya sorot matanya yang berubah__dingin, penuh pengamatan.
Rose berjalan mengelilingi rumah itu. Minyak tumpah mengikuti jejak kakinya, meninggalkan garis gelap berbau tajam di tanah dan dinding. Dimitri dan Elano akhirnya ikut membantu menuangkan, entah karena takut atau setia.
Begitu lingkaran minyak sempurna, Rose berdiri di depan pintu utama. Tangannya merogoh kantong, mengeluarkan pematik perak.
Sekejap… klik. Api kecil menyala. Rose menatapnya sebentar, lalu melemparkan ke arah terdekat.
WUSSSHHH!
Api menyambar secepat bisikan iblis, menjalar ke seluruh dinding. Dalam hitungan detik, rumah itu terbakar hebat, lidah api menjilat langit sore.
Rose berdiri tak bergeming, wajahnya diterangi cahaya merah menyala.
Lucas, masih diam, hanya mengamati sosok wanita itu__yang tanpa ragu mengubah rumah mewah menjadi bara dan abu.
“Biarlah… batu dan kayu ini merasakan panas yang sama seperti yang aku rasakan waktu mereka menjualku,” ucap Rose pelan, tapi suara itu terdengar jelas dikuping Lucas, membuatnya merasa bersalah.
“Aku hanya ingin menyelamatkanmu Rose. Menyelamatkan mereka semua__meski bukan aku, akan ada Morreti yang lain yang tetap akan mengukir takdir yang sama, bahkan mungkin akan lebih sadis,” gumam Lucas, menghela napas panjang.
**
Bersambung!
Kasih komentar dong, gimana ceria ini menurutmu? masukan juga boleh, apa yang harus di tambahkan?...