Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Di Luar
Ferdi duduk di pojokan tempat tidurnya, bersandar santai pada dinding dengan bantal di atas pahanya. Kedua tangannya memegang ponsel dalam posisi miring. Layar menampilkan game MOBA yang sedang panas-panasnya.
"Tank kemana woi!" teriaknya kesal saat karakternya mati dikeroyok musuh. Tak ada info, tak ada backup.
"Halah!" keluhnya sambil menyentakkan kepala ke belakang, frustrasi.
"Sorry Fer, lagi turtle," suara Fino terdengar lewat voice chat, terdengar santai seperti biasa.
"Iya, iya..." Ferdi menghela napas panjang, menunggu hitungan mundur karakter yang akan hidup kembali. Matanya sayu, entah karena capek atau bosan.
Satu pertandingan…
Dua pertandingan…
Lima…
Enam…
Waktu terasa lewat begitu aja.
"Ini kita main apaan sih dari tadi? Naik kagak, turun kagak! Stuck gini doang!" serunya kesal.
"Yah, mau gimana lagi. Match-nya emang busuk," balas Fino masih dengan nada santai.
Ferdi menggeleng pelan. "Udahan gue, dah capek. Gua juga belum makan," ucapnya sambil keluar dari game. Ia langsung menutup aplikasi, lalu mematikan ponselnya dan melemparnya ke kasur.
Ia merebahkan diri, menatap kosong ke langit-langit kamar. Suara detik jam terdengar samar, mengiringi pikirannya yang entah melayang ke mana.
"Huft~" Ferdi menghela napas pendek. Ia duduk kembali, lalu berdiri dan berjalan keluar kamar, menuju dapur.
Perutnya memang belum diisi sejak siang. Tapi entah kenapa, bukan hanya perutnya yang terasa kosong malam ini.
Ferdi membuka pintu dapur dan langsung menuju lemari tempat biasa dia nyimpen stok mie instan. Dengan penuh harapan, ia menarik laci itu.
Kosong.
Alisnya langsung mengernyit. "Hah?"
Ia memeriksa ulang, menyingkirkan plastik bekas dan tumpukan bumbu-bumbu sisa. Tapi tetap nggak ada.
"Hah... masa iya..." gumamnya, lalu melangkah ke kulkas. Ia buka pintunya lebar-lebar.
Kosong juga. Hanya ada sebotol air putih, beberapa saus, dan sebutir telur yang sudah tampak kesepian.
"Telor doang? Ini juga kayaknya udah waktunya pensiun..." Ferdi mengangkat telur itu, memutarnya sedikit, lalu dengan ragu menaruhnya kembali.
Ia berdiri di depan kulkas dengan ekspresi lelah.
"Yaelah... malem-malem gini... lapar banget lagi..." ujarnya pelan, setengah putus asa.
Tangannya menyentuh perut yang mulai keroncongan. Sempat terpikir untuk pesan makanan online, tapi ia tahu saldo dompet digitalnya juga tinggal sisa-sisa doang.
"Apa ngerebus air terus minum doang?" candanya ke diri sendiri, walaupun nggak lucu-lucu amat dalam kondisi begini.
Ia bersandar ke kulkas, menatap lantai. Lampu dapur yang agak redup menambah sunyi malam itu.
Lapar. Capek. Hati kacau.
Ferdi berdiri dalam diam.
"Makan di luar aja deh," putusnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di bawah lampu kuning yang sedikit redup, Ferdi duduk sendiri di salah satu kursi warung pecel lele. Meja kayu sedikit lengket karena bekas saus sambal, dan suara penggorengan dari dapur belakang terus berisik bersahutan dengan suara kendaraan yang lewat di pinggir jalan.
Ia menghela napas pelan. Pandangannya menyapu ke sekeliling.
Di meja sebelah, ada sekelompok anak muda tertawa keras sambil rebutan kerupuk. Di pojok, sepasang kekasih saling menyuapi. Di sisi lainnya lagi, sebuah keluarga kecil sedang menikmati makan malam mereka sambil bercanda ringan.
Semua orang terlihat hangat... punya seseorang untuk diajak bicara, atau sekadar ditemani makan.
Ferdi bersandar ke kursi. Ia menatap meja kosong di hadapannya. Hanya ada segelas teh tawar hangat yang sudah setengah dingin dan beberapa tisu yang belum dipakai.
Sambil menunggu pesanannya, nasi dan lele goreng datang, Ferdi mengambil ponselnya.
Begitu dibuka, notifikasi langsung berhamburan. Terutama dari grup kelas.
"Hmm? Lagi rame bahas apa dah?" gumamnya pelan.
Ibu-ibu penjual lewat di depannya, membawa sepiring nasi dan ayam goreng ke meja lain. Bau gorengan itu sempat bikin perut Ferdi kembali protes.
Sambil mengusap layar ponselnya, dia mulai membaca obrolan yang masuk. Tapi setelah beberapa scroll, dia langsung berhenti.
Obrolannya cuma candaan nggak penting. Bahas tugas yang belum dikumpulin, ada yang share meme, ada yang bahas drama Korea, lalu beberapa yang nanya soal guru yang nggak masuk.
Ferdi mendesah. "Cuma gitu doang..."
Ia menutup aplikasinya, lalu menyandarkan ponsel di atas meja. Pandangannya kosong, pikirannya entah ke mana.
Angin malam menyentuh lehernya yang sedikit basah oleh keringat. Ia duduk di sana, diam, dikelilingi tawa orang-orang lain... tapi merasa asing.
.
.
.
"Eh, Ferdi?" suara itu terdengar dari samping. Ringan, tapi cukup jelas di tengah keramaian warung.
Ferdi menoleh pelan.
Gadis berambut silver itu berdiri di sana, di bawah cahaya lampu pinggir jalan yang membuat warna matanya yang ungu tampak bersinar aneh tapi memukau.
Hina melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum manis, seolah kemunculannya adalah hal biasa. Padahal tidak.
"Hina...?" gumam Ferdi, nyaris tak percaya.
Tanpa menunggu undangan, Hina langsung duduk di sampingnya, di bangku panjang yang tersisa.
"Lagi pesen makan ya?" tanyanya sambil melirik meja yang masih kosong, hanya ada teh tawar dan ponsel.
"Nggak," jawab Ferdi sambil memainkan sedotan plastiknya, "lagi pesen tiket konser."
Hina terkekeh kecil, lalu menyandarkan sikunya di meja, menoleh ke arahnya. "Kamu payah banget kalau lagi ngelawak."
Ferdi tidak membalas. Tatapannya dialihkan ke jalanan, ke arah lampu-lampu mobil yang melintas cepat. Ada jeda hening beberapa detik.
"Lagi ada masalah lagi, kah?" tanya Hina, kali ini lebih lembut, suaranya nyaris seperti bisikan yang ditangkap angin malam.
Ferdi menghela napas, panjang. "Entahlah. Capek aja."
"Capek sama semuanya?" tanya Hina sambil mencondongkan tubuhnya sedikit, mencoba mencari wajah Ferdi yang menghindar.
"Mungkin," balas Ferdi pelan. "Kadang mikir... gue ini salah terus di mata orang. Tapi kalau gue diem, rasanya kayak dicekik sama perasaan sendiri."
Hina tidak langsung menjawab. Ia hanya memperhatikan Ferdi beberapa saat, lalu berkata pelan, "Kalau kamu ngerasa kayak gitu... itu artinya kamu terlalu banyak nyimpen semuanya sendiri."
Ferdi menoleh, akhirnya bertemu pandang dengan Hina.
"Aku juga pernah kayak gitu, tau?" lanjut Hina, suaranya lembut tapi jujur. "Kelihatannya tenang, tapi dalam hati, berantakan. Dan ternyata... punya seseorang buat sekadar dengerin itu membantu banget."
Ferdi menatapnya dalam diam. Mata ungu itu seolah mengerti, tapi tak memaksa.
"Kalau kamu gak keberatan... malam ini, aku bisa jadi pendengar," ucap Hina sambil tersenyum tipis. Bukan senyum penuh semangat seperti biasanya, tapi senyum hangat yang tulus.
Sebelum Ferdi sempat menjawab, pesanan lele gorengnya datang. Aroma khas bumbu dan sambal langsung memenuhi meja.
Ferdi hanya tersenyum kecil. "Mau bagi setengah?"
Hina ikut tersenyum. "Gausah, aku juga udah pesen kok."
"Gak enak kalo aku yang makan sendiri," ucap Ferdi merasa sungkan untuk makan sendiri.
"Kalo gitu aku temenin makan dikit deh," balas Hina.
kayaknya bertambah saingannya