"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Suasana di ndalem pondok malam itu masih berat, seakan bayangan peristiwa pengusiran Gus Zizan belum mau pergi dari hati siapa pun. Santri-santri masih saling berbisik, ustadz-ustadz senior masih sibuk mencari cara menenangkan Kyai Zainal, sementara para ustadz muda menutup rapat mereka, takut salah bicara.
Namun, satu hati yang paling tak bisa menerima kenyataan malam itu adalah hati seorang perempuan, Ning Lydia.
Ia masih duduk di ruang tamu ndalem setelah musyawarah usai, wajahnya pucat, matanya sembab, bibirnya bergetar menahan emosi. Sejak tadi ia hanya diam, tak banyak bicara, tapi di dalam dadanya ada badai yang bergemuruh. Tangannya bergetar, memegang erat kain kerudungnya, seolah ingin merobeknya.
“Lydia…” suara ustadz Yusuf, ayahnya, lirih namun penuh tekanan. “Cukup menangis. Ini bukan waktunya menunjukkan kelemahan. Kamu harus ingat siapa dirimu. Kamu Ning, anak seorang ustadz senior, cucu Kyai besar. Jangan biarkan air mata menodai martabat keluargamu.”
Tapi Lydia hanya semakin menangis. Air matanya menetes satu per satu, membasahi kain putih di pangkuannya.
“Ayah… apa salahku? Apa kurangku? Aku sudah ikuti semua yang Ayah bilang. Aku jaga diri, aku patuh, aku belajar, aku menjaga nama baik keluarga… tapi kenapa Gus Zizan tega memilih santri biasa itu dibanding aku?”
Ustadz Yusuf mengepalkan tangan. Wajahnya merah, urat-urat di pelipisnya menegang. “Itulah yang membuat Ayah tak habis pikir! Seorang santri biasa, bahkan tidak punya darah keturunan kyai, bisa merusak rencana besar pondok ini. Tidak, Lydia. Kita tidak boleh diam. Kita harus tahu siapa perempuan itu. Kita harus tahu siapa Dilara.”
Mendengar nama itu disebut, hati Lydia terasa seperti ditusuk belati.
“Dilara…” ia berbisik, lirih namun penuh kebencian. “Jadi itu namanya? Perempuan itu yang sudah merebut segalanya dariku…”
Sejak malam itu, api amarah dalam diri Ning Lydia mulai menyala.
Keesokan harinya, pondok kembali bergemuruh. Kabar tentang pengusiran Gus Zizan terus menyebar, namun di sela bisikan santri, satu nama selalu disebut, Dilara.
“Katanya santri yang dicintai Gus Zizan itu Dilara.”
“MasyaAllah… beruntung sekali dia. Sampai Gus rela kehilangan pondok.”
“Beruntung? Aku rasa dia penyebab perpecahan. Gara-gara dia, Gus Zizan diusir.”
“Astaghfirullah, jangan su’udzon…”
Tapi gosip tetap beredar. Nama Dilara seakan menjadi sorotan utama.
Dan bisikan itu cepat sampai ke telinga Lydia. Ia mendengar langsung dari sekelompok santri putri yang tak sadar dirinya lewat di koridor.
“Hus, jangan keras-keras. Kalau Ning Lydia dengar, bisa gawat.”
“Ah, biarlah. Lagian, bukankah lebih baik Gus Zizan jujur soal cintanya? Daripada nikah sama Ning Lydia tanpa cinta?”
“Na’udzubillah… kasihan sekali Ning Lydia kalau dengar itu.”
Wajah Lydia panas mendengarnya. Ia berhenti melangkah, menatap santri-santri itu dengan tatapan menusuk. Mereka langsung pucat pasi, menunduk, terbata-bata minta maaf.
Tapi hati Lydia sudah retak. Bukan hanya karena ia kehilangan calon suaminya, tapi karena ia merasa harga dirinya diinjak-injak di hadapan seluruh pondok.
Di kamar tamu, Lydia memandangi wajahnya di cermin. Mata yang biasanya bersinar teduh kini tampak merah, penuh luka. Bibirnya bergetar, tangannya mengepal kuat.
“Dilara…” ia berbisik lirih. “Santri biasa… berani-beraninya kau melawan takdirku. Kau sudah menghancurkan pertunanganku, kau membuat Ayahku dipermalukan, kau membuatku jadi bahan kasihan seluruh pondok. Kau pikir aku akan diam?”
Ia menggigit bibirnya hingga berdarah.
Tidak. Ia tidak akan diam.
Malam itu, Lydia mendatangi ayahnya yang masih duduk murung di ruang kerja.
“Ayah…” suaranya lirih, tapi tegas. “Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa makan. Semua orang memandangku dengan tatapan iba. Aku tidak tahan, Yah. Aku tidak tahan.”
Ustadz Yusuf menatap putrinya. “Apa yang kamu mau, Lydia?”
“Aku ingin tahu siapa Dilara. Aku ingin tahu asal-usulnya. Aku ingin tahu mengapa dia bisa begitu memikat Gus Zizan. Aku tidak percaya, Ayah. Tidak mungkin Gus Zizan meninggalkan pondok hanya karena santri biasa, kecuali ada sesuatu di baliknya.”
Ustadz Yusuf menarik napas panjang. “Kamu benar. Ayah juga berpikir begitu. Besok, kita akan cari tahu siapa keluarga Dilara, bagaimana latar belakangnya. Kalau perlu, kita bongkar semua aibnya. Biar semua orang tahu, Gus Zizan telah memilih jalan yang salah.”
Senyum tipis muncul di wajah Lydia. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada harapan untuk membalas.
Sementara itu, di asrama putri, Dilara terbaring dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Sejak mendengar kabar Gus Zizan diusir, ia tak lagi bisa tidur nyenyak.
“Lara, tolong berhenti menyalahkan dirimu,” ucap Salsa, sahabatnya, yang setia menemaninya. “Semua ini bukan salahmu. Gus Zizan memilih sendiri jalannya. Jangan kau pikul semuanya di pundakmu.”
Tapi Dilara hanya menggeleng. “Tidak, Salsa. Kalau aku tidak pernah ada, kalau aku tidak pernah dekat dengannya… semua ini tidak akan terjadi. Pondok tidak akan berantakan, Gus Zizan tidak akan diusir, Ning Lydia tidak akan dipermalukan…”
“Lara…” Salsa memeluknya erat. “Jangan bicara begitu. Kau tahu sendiri bagaimana tekad Gus Zizan. Dia yang memilih, bukan kau yang memaksa. Dan percayalah, Allah punya rencana.”
Tapi hati Dilara tetap tak tenang. Ia merasa bayangan kebencian semua orang mulai menghantuinya. Dan ia tidak tahu bahwa satu hati, Ning Lydia, sudah menyalakan api dendam yang lebih berbahaya.
Keesokan harinya, Ning Lydia sengaja berjalan-jalan ke asrama putri dengan alasan menjenguk santri yang sakit. Tapi sesungguhnya ia ingin memastikan siapa Dilara.
Di lorong panjang asrama, ia mendengar bisikan santri. “Itu dia, Ning Lydia… jangan sampai dia tahu siapa Dilara…”
Ning Lydia langsung menghentikan langkahnya. Matanya menajam.
“Siapa yang kalian maksud?” tanyanya datar.
Para santri saling pandang, ketakutan. “T-tidak ada, Ning. Kami hanya… hanya bicara biasa…”
Tapi Lydia tahu, mereka berbohong.
Ia terus berjalan, sampai akhirnya matanya menangkap sosok yang duduk lemah di depan jendela. Seorang santri dengan wajah pucat, mata bengkak karena menangis, tubuhnya kurus, tapi ada ketenangan aneh di rautnya.
“Dilara…” Lydia berbisik pelan, hampir tak terdengar.
Saat itu juga, dadanya terbakar. Api amarahnya semakin menyala.
Dilara menyadari ada yang menatapnya. Ia menoleh, dan seketika jantungnya serasa berhenti. Di sana berdiri Ning Lydia, dengan sorot mata tajam yang menusuk jiwanya.
Keduanya saling tatap.
Waktu seperti berhenti.
Dilara segera menunduk, tubuhnya gemetar. Ia tahu, inilah perempuan yang seharusnya dinikahi Gus Zizan. Ia tahu betapa besar luka yang dirasakan Ning Lydia. Dan ia juga tahu, dirinya pasti dibenci.
“Dilara…” Ning Lydia akhirnya bersuara, pelan tapi dingin. “Jadi ini wajah santri yang sudah membuat Gus Zizan rela kehilangan segalanya?”
Dilara tak sanggup menjawab. Bibirnya bergetar, air matanya jatuh lagi.
Ning Lydia mendekat, menatapnya dari atas. “Kau harus bangga, Lara. Karena gara-gara kau, seorang pewaris pondok terusir. Gara-gara kau, seorang Ning dipermalukan. Gara-gara kau, semua orang jadi berbicara. Kau puas?”
“Maaf… Ning… saya tidak pernah bermaksud…” suara Dilara lirih, hampir tak terdengar.
“Maaf?” Lydia tersenyum miring. “Kau kira kata maaf bisa mengembalikan harga diriku? Bisa mengembalikan masa depanku? Tidak, Dilara. Tidak.”
Salsa buru-buru berdiri, mencoba melindungi sahabatnya. “Ning, mohon jangan salahkan Lara. Semua ini bukan kemauannya. Jangan bebani dia lagi. Dia baru saja sembuh dari sakit.”
Tapi Lydia hanya menatap Salsa dengan dingin, lalu kembali menunduk menatap Dilara.
“Kau pikir ini selesai, Dilara? Tidak. Ini baru permulaan. Aku akan cari tahu siapa kau sebenarnya. Aku akan pastikan semua orang tahu siapa Dilara yang sebenarnya. Kau akan menyesal sudah menginjak harga diriku.”
Ucapannya membuat tubuh Dilara makin gemetar. Air matanya jatuh deras. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi lidahnya kelu.
Ning Lydia berbalik pergi, langkahnya mantap, sorot matanya penuh tekad.