Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Mohon maaf kalau ada typo hehhe
****
Dan ya, akhirnya Elizabeth lembur. Sekarang sudah pukul delapan malam. Keadaan semakin sepi dan Elizabeth yakin di luar sudah tidak ada orang. Oh, mungkin ada, petugas kebersihan.
Ini semua dia lakukan demi laporan proyek. Elizabeth tidak akan bisa tidur jika belum menggarap nya. Dia sudah menghabiskan tiga gelas kopi hari ini. Gila, tolong jangan tanyakan keadaan lambungnya. Saking fokusnya, dia juga tidak makan siang dan belum makan malam. Untungnya Elizabeth sudah mengabari kedua orang tuanya tadi, jika dia akan lembur.
Mata Elizabeth hanya tertuju pada komputer di depannya, dia benar-benar tidak mengalihkan pandangannya dari sana. Bahkan kacamata anti radiasi sudah bertengger apik di hidung mungil gadis itu.
"Hah ...."
Setelah berjam-jam duduk tegang, sekarang Elizabeth bisa menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Selesai, laporannya sudah selesai.
"Akhirnya!" Dia menggeliat sebelum kembali fokus pada komputer untuk menyalin file nya ke flashdisk.
"Oke, good job, Elizabeth." Ia berdiri dan keluar dari ruangan. Ke mana? Tentu saja ke ruangan Altezza. Eliza tidak ingin menunda-nunda lagi, nanti si bos marah.
"Permisi, Pak ...." Eliza masuk setelah mengetuk pintu.
Dia bersyukur karena Altezza masih duduk di kursinya.
"File laporan proyek ada di flashdisk ini, Pak. Sudah saya kerjakan ulang." Eliza menyerahkan flashdisk tersebut pada Altezza.
"Hm."
Altezza hanya berdeham singkat. Bahkan dia tidak menoleh pada Elizabeth dan terus fokus pada komputer. Untung saja Eliza sedang tidak mood julid. Dia malah terpesona dengan wajah Altezza, pria itu juga memakai kacamata, benar-benar terlihat berkali-kali lipat tampannya!
"Hah? Apa? AKU SEDANG APA?!" batin Eliza berusaha menyadarkan diri. Dia menggeleng pelan, lalu berdeham canggung.
"K–kalau begitu, saya permisi, Pak ...."
"Tunggu."
APALAGI?!
"Iya?" jawab Eliza.
"Ambil itu, untuk kamu." Altezza menunjuk plastik putih yang ada di meja depan sofa. Eliza tidak tau apa isinya. Tapi, dia menurut dan mengambil benda itu.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi," katanya tanpa basa-basi, dia sudah lapar! Setelahnya Eliza benar-benar pergi dari sana. Dia kembali menuju ruangannya dan membuka bekal miliknya. Iya, bekal, entah sudah basi atau belum, karena sedari pagi tidak disentuh. Oh, dia juga melewatkan makan paginya ternyata. Hanya makan roti selai coklat, Elizabeth bisa bertahan hingga malam. Sebuah momen langka.
"Tidak basi? Syukurlah," gumamnya.
Gadis itu beralih membuka plastik dari Altezza, ternyata isinya makanan. Tanpa menunggu lama lagi, Elizabeth memakan semuanya dengan buru-buru. Karena lapar, semua makanan terasa enak dan tidak eneg meski dia makan banyak.
Di sisi lain, Altezza mematikan laptopnya dan beranjak dari sana. Ia ingin membuat kopi sekarang. Selain Eliza, Altezza juga lembur, Baskara pun begitu, tapi dia tidak keluar dari ruangannya sejak tadi.
Langkahnya terhenti saat melewati ruangan Elizabeth. Dia diam di depan pintu selama beberapa detik, lalu akhirnya mengetuk benda persegi panjang itu.
"Ada apa, Pak?" Elizabeth keluar dengan pipi menggembung penuh makanan.
Altezza berdeham canggung, dia tak mengerti apa yang sedang ia lakukan, tangannya reflek mengetuk pintu tadi.
"Tidak apa-apa."
Eliza mengerutkan keningnya bingung. Dia menggaruk pipinya seraya menatap punggung Altezza yang perlahan menjauh.
"Aneh."
****
"ELIZABETH!"
"Iya, sebentar!!"
Geisha mendengus. Putrinya itu sedang apa sebenarnya? Sedari tadi dipanggil tidak datang-datang.
"Kenapa?"
Elizabeth sudah berada di belakang Geisha yang sedang memotong kue. Pagi ini dia agak kurang semangat karena lembur semalam, kepalanya juga agak pusing.
"Sebelum berangkat ke kantor, bisa tolong antar kue ini ke rumah Nyonya Asteria?" Geisha menunjuk satu kotak berisi kue buatannya. "Satu arah, kan?"
"Ya sudah. Lalu, milikku yang mana?" tanya Elizabeth. Dia mengambil sepotong kue coklat dari piring, lalu memakannya.
"Ini, untuk Altezza juga." Geisha menunjuk kotak berwarna pink dan biru. "Bawa bekal atau tidak?"
"Tidak usah. Aku sarapan." Elizabeth duduk di kursi meja makan, lalu menyalakan ponselnya untuk memeriksa notifikasi.
"Bagaimana semalam? Lancar lembur nya?" Geisha meletakkan sepiring kue di atas meja makan, bersama lauk pauk lainnya.
"Lancar. Untung saja anakmu ini kuat dan tidak manja," balas Elizabeth.
"Tidak manja? Lalu, siapa yang kemarin mengadu pada suamiku, hm?" Geisha melotot.
Elizabeth tertawa. "Itu bukan aku, Ma. Tapi, kepribadian ganda ku." Dia menaik turunkan alisnya, jahil.
Geisha berdecih. "Kepribadian ganda apanya? Sekalipun kamu punya kepribadian ganda, Mama rasa tidak akan ada bedanya, sama sama manja dan cengeng."
"Papa, lihat mama ...." Elizabeth mengadu pada Austin yang berjalan ke arah mereka.
"Kenapa? Ini masih terlalu pagi, kalian ini." Austin menggelengkan kepalanya. Dia mengelus puncak kepala Elizabeth sebelum duduk di kursinya.
"Nah, kan, mengadu. Katanya tidak manja, itu apa tadi?" cibir Geisha.
"Harusnya Mama bersyukur aku bersikap manja seperti ini, kalau aku sudah menikah, siapa yang akan bersikap manja lagi?" Eliza memasang wajah bangga.
"Masih kecil sudah bicara tentang pernikahan ya kamu." Geisha berdecak.
"Kecil?! Aku sudah—"
"Sudah, sudah. Ayo kita sarapan sekarang, nanti telat," sela Austin.
Elizabeth berdecak sebal, sedangkan Geisha tersenyum kemenangan. Kedua perempuan beda generasi ini memang suka sekali berdebat. Tapi, justru itulah yang membuat rumah mereka tidak sepi.
"Ingat, antarkan kue nya ke rumah Nyonya Asteria dulu," ujar Geisha sembari menatap putrinya yang sudah selesai makan.
"Iya!" Elizabeth menyambar tote bag berisi kue. "Aku berangkat!" Dia mencium pipi kedua orang tuanya lalu segera keluar.
Sesampainya di mobil, Elizabeth segera meminum obat pereda sakit kepala. Kalau tidak minum, bisa pingsan dia nanti.
"Ke rumah keluarga Pamungkas lebih dulu, Pak."
"Baik."
Meski lumayan kenal dengan keluarga Pamungkas, Elizabeth tidak pernah tau dimana rumah mereka. Bahkan bentuk rumahnya Eliza hanya pernah melihat di internet. Logika saja, untuk apa dia datang ke rumah mereka jika tidak berkepentingan, kan? Jadi, wajar kalau dia tidak tau dimana rumah keluarga terhormat itu.
"Oh God ...." Elizabeth melongo saat melewati gerbang putih yang begitu panjang, dan dia semakin shock saat mobilnya berhenti di pintu gerbang utama.
"Kita sudah sampai?" tanya Eliza pada sang supir.
"Sudah, Nona. Di sini rumahnya," jawab supir tersebut.
Elizabeth yang tadinya begitu yakin, kini tiba-tiba menciut. Bayangkan saja, dari persimpangan mereka sudah bisa melihat gerbang, dan panjang gerbangnya melebihi lima meter. Dari pintu gerbang, Eliza melihat rumah mewah yang mampu membuatnya berdecak kagum. Sumpah, dia tidak expect rumahnya sebesar ini. Dan sepertinya, foto di internet itu adalah rumah versi lama, karena banyak perbedaan yang bisa Eliza lihat.
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya Asteria, apa beliau ada?" tanya Eliza pada seorang satpam yang berjaga.
"Boleh saya tau siapa nama Anda, Nona?" tanya satpam tersebut.
"Elizabeth, putri Austin Argantara."
Satpam mengangguk, lalu terlihat sedang menelpon seseorang.
Elizabeth benar-benar merasa kecil sekarang. Apakah mamanya sudah pernah ke sini? Kalau sudah, kira-kira seperti apa reaksinya?
"Hanya kue biasa yang diberikan mama, apakah Nyonya Asteria akan memakannya? Memegangnya dia suka dengan makanan seperti ini?" batin Eliza semakin ragu.
"Mari, saya antar."
Suara satpam membuat Eliza membuyarkan lamunannya. Mereka pun berjalan menuju rumah besar itu. Mata Elizabeth tak berhenti menatap sekelilingnya. Halaman luas, ada taman kecil juga di dekat air mancur, dan juga kolam ikan serta pohon besar yang membuat suasana semakin sejuk.
"Wahh ... benar-benar seperti istana. Ini bukan rumah, tapi ... apa itu namanya? Mision? Minion? Ah! Mansion! Ini adalah mansion!" batin Elizabeth.
Begitu Elizabeth berada di teras rumah, seorang pelayan langsung menyambutnya. Lagi-lagi Elizabeth terpana.
"Mari masuk, Nona." Kini pelayan itulah yang mengantarkannya masuk ke dalam.
"Sial, kenapa aku merasa seperti pelayan juga?" Elizabeth mengetuk keningnya, pikiran itu tiba-tiba melintas begitu saja. Bagaimana tidak? Saking mewahnya rumah ini, Eliza seperti seorang pelayan miskin.
"OMG! Kak Elizabeth?!"
Suara cempreng milik Gaby membuat Eliza tersentak, gadis berumur 18 tahun itu berlari ke arahnya dengan sumringah. Elizabeth hanya melambaikan tangannya dengan senyum canggung.
"Sedang apa Kakak kemari? Oh, apa itu?!" Mata Gaby berbinar melihat tote bag yang dibawa Eliza.
"Ini untuk Nyonya Asteria," jawab Eliza seadanya.
"Untukku tidak ada, ya?" Wajah Gaby terlihat murung, hal itu membuat Eliza ketar ketir.
"Gaby, biarkan tamu kita duduk dulu, Sayang." Suara Asteria membuat Elizabeth menghela nafas lega.
"Selamat pagi, Nyonya," sapanya.
"Pagi." Asteria tersenyum, dia pun mengajak Elizabeth ke ruang tamu yang terdapat sofa mahal di sana. Semuanya benar-benar mewah!
"Sebenarnya saya tidak akan lama, hanya ingin mengantar ini saja, titipan dari mama," kata Eliza setelah mereka duduk. Dia menyerahkan tote bag yang dia bawa pada Asteria.
Asteria terlihat sedikit terkejut. "Astaga ... terima kasih. Sampai repot-repot seperti ini ...," Asteria terkekeh kecil. Ternyata keluarga Argantara adalah keluarga yang begitu baik, meski mereka sudah minta maaf, ada saja gebrakannya yang lain, seperti kemarin, makan malam, dan sekarang apa lagi?
"Tidak repot sama sekali, Nyonya."
"Kalau begitu, aku juga harus memberikan sesuatu untuknya."
"Hah? T–tidak—"
"Pelayan, tolong bawakan bingkisan untuk Elizabeth." Belum sempat Eliza selesai bicara, Asteria lebih dulu memanggil pelayan nya.
"Baik, Nyonya."
"Nyonya, tidak perlu repot-repot." Elizabeth meringis tak enak. Demi apapun dia canggung sekali.
"Tidak repot sama sekali, Sayang. Tunggu sebentar, ya. Oh iya, kamu kemari dengan siapa?"
"Supir saya menunggu di depan," jawab Elia seadanya.
"Benarkah? Kebetulan Altezza belum berangkat, kamu mau berangkat dengan dia saja?" tawar Asteria.
"Tidak perlu, Nyonya!" tolak Elizabeth, panik. Mana mau dia satu mobil dengan es kutub itu.
Asteria terkekeh melihat kepanikan Elizabeth. "Baiklah, aku tidak akan memaksa." Ia menepuk-nepuk punggung tangan Eliza.
"Mom."
Suara bariton yang sangat tegas itu membuat Elizabeth terkejut, bahkan dia langsung merinding. Tentu saja Eliza tau siapa pemilik suara tersebut.
"Sudah mau berangkat, ya?" tanya Asteria pada Altezza yang berjalan ke arah mereka.
Altezza mengangguk pelan, matanya melirik Elizabeth yang terus menunduk.
"Elizabeth datang membawakan ini untuk Mommy. Kamu berangkat dengan dia saja bagaimana? Kalian satu arah, kan?" tanya Asteria.
Elizabeth menghela nafas pelan, nyonya yang satu ini ngeyel sekali. Tadi katanya tidak akan memaksa, lalu, apa ini?! Untung saja Eliza bisa menahan diri agar tidak menjawab.
Tanpa diduga, Altezza mengangguk menjawab pertanyaan sang mommy. Eliza pikir Altezza akan menolaknya mentah-mentah.
"Ayo," ajaknya.
Elizabeth berdecak dalam hati, dia pun menyalami tangan Asteria dan Gaby langsung memeluknya dengan erat.
"Kapan-kapan datanglah ke sini lagi, Kak. Aku ingin bercerita panjang lebar!" ujar Gaby dengan senyum riang.
Eliza mengangguk. "Baiklah, jika ada waktu luang aku akan datang."
"Terima kasih bingkisan nya, Nyonya," lanjut Eliza pada Asteria.
"Terima kasih kembali, Sayang. Salam untuk mama, ya?"
Elizabeth mengangguk dengan senyumannya. "Kalau begitu saya permisi."
Asteria dan Gaby mengangguk, mereka mengikuti Elizabeth dan Altezza yang menuju ke luar.
Sebelum naik ke mobil Altezza, Eliza lebih dulu mengambil tas dan tote bag nya di dalam mobilnya tadi. Tak lupa dia memberikan bingkisan dari Asteria pada supir, agar nanti diberikan pada Geisha.
"Hati-hati!" Gaby berseru sambil melambaikan tangannya dengan riang. Sedangkan Eliza hanya membalas dengan lambaian tangan.
"Kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga, ya, Mom?" ucap Gaby.
Asteria mengangguk. "Benar."
Gaby dan Asteria saling menatap, lalu keduanya tersenyum penuh arti, seolah mereka memang memiliki pemikiran yang sama.
Bersambung...