Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Milikku
Cahaya pagi masuk melalui jendela kamar Wen Yuer yang dibuka oleh pelayan setiap pagi, menari-nari di permukaan lantai kayu dan tirai putih yang bergerak pelan karena angin. Suara burung di kejauhan terdengar samar, tapi tak cukup untuk mengusir sunyi yang menggantung di ruangan itu.
Wen Yuer masih duduk di ranjang, belum juga menyentuh seporsi sarapan yang tadi dibawakan pelayan. Ia memeluk lututnya, mengenakan pakaian dalam berlapis tipis, rambutnya setengah tergerai. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi pikirannya jauh dari apa pun yang ada di depan matanya.
Kejadian semalam kembali terputar di benaknya. Perjalanan pulang di atas kuda, bisikan Zeyan di telinganya, lalu ucapan-ucapan dingin dan tajam yang saling mereka lemparkan setelahnya. Ucapan yang meski disadarinya benar, tapi tetap saja terasa seperti pisau.
"Kau benar-benar mengerikan."
Yuer menarik napas dalam. Ia menyesal telah mengucapkan itu atau setidaknya menyesal karena hatinya masih saja terasa berat setelahnya.
Tangannya mengepal pelan di atas selimut. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi kata-kata Qi Zeyan tentang kesetiaan masih bergema jelas. Dingin, logis, tak berperasaan dan justru karena itulah, kalimat itu membuatnya sesak.
Apa semua yang dilakukan Zeyan hanya perhitungan? Apa tidak ada yang benar-benar tulus darinya?
Tapi Yuer seharusnya tidak memikirkannya sempai saat ini kan? Kenapa dia sangat marah? Kenapa dia mengharapkan sesuatu yang lembut dari Qi Zeyan? Kenapa bahkan setelah pertengkaran itu dia merasa menyesal tapi juga marah.
"Apa yang kau harapkan dari seseorang seperti dia, Yuer?"
Yuer memejamkan mata, menunduk, dan menempelkan dagunya ke lutut. Tubuhnya tetap diam, tapi pikirannya tidak. Ia ingat saat Zeyan menggenggam pergelangan tangannya, dingin, tegas, tapi tidak menyakitkan. Ia ingat bagaimana tatapan matanya tidak berubah, tetap setenang malam, tapi ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.
"Wen Yuer!"
Nada itu masih bergema dalam benaknya. Bukan sekadar panggilan tapi tuntutan, kepemilikan, atau mungkin, ketakutan.
Yuer menggelengkan kepala cepat, menepis pikirannya sendiri.
"Bodoh," gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. "Dia adalah Qi Zeyan, Yuer."
Ia berdiri perlahan dan berjalan ke cermin bundar di sudut ruangan. Wajahnya masih menyimpan bayangan kelelahan. Tapi yang menarik perhatiannya adalah bekas samar di pergelangan tangannya. Ia menatapnya lama, lalu buru-buru menarik lengan bajunya menutupi.
Lalu ketukan pelan terdengar dari pintu. Yuer sontak menoleh. "Masuk."
Salah satu pengawal wanita masuk dengan membungkuk. "Tuan Han Lin menyampaikan bahwa jika Anda ingin jalan-jalan pagi ke pasar kota, beliau bersedia menemani."
Yuer terdiam. Pandangannya sedikit bergeser ke jendela, di mana angin pagi masih bergerak pelan.
Setelah jeda singkat, ia hanya berkata,
"Sampaikan padanya, aku akan pikirkan."
Pengawal itu mengangguk dan undur diri.
Dan saat pintu menutup kembali, Yuer masih menatap jendela. Tapi kali ini, tatapannya lebih gelap. Lebih rumit.
"Kalau aku pergi dengan Han Lin, apa Qi Zeyan akan mengizinkan?"
Kenapa aku membutuhkan izinnya?
...
Wen Yuer mencari Mingyue tapi salah satu pelayan bilang anak itu sedang pergi, jadi ia duduk sendirian di beranda belakang kuil tua yang sedikit sepi, tempat yang baru dia temukan. Udara sore dingin dan kering, dan suara bambu yang bergesekan pelan mengisi keheningan.
Ia tak menoleh saat langkah kaki berhenti di belakangnya.
"Kau duduk di luar tanpa mantel, Wen Yuer?"
Suara itu rendah dan lembut, Han Lin.
Yuer mengangkat bahu ringan. "Aku tidak merasa kedinginan."
Han Lin tidak membalas. Ia hanya melangkah pelan ke sampingnya, lalu duduk, menjaga jarak yang sopan, tapi cukup dekat.
"Kau mengirim pelayan untuk mengajakku keluar pagi ini," ucap Yuer pelan, tanpa menatap. "Tapi kau malah menemuiku disini."
Han Lin terkekeh kecil. "Mungkin karena aku tidak bisa menunggu lebih lama? Sudah kau pikirkan?"
Yuer akhirnya menoleh, tatapan mereka bertemu, mata Han Lin menyimpan sesuatu yang tak bisa dikatakan dengan suara.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tentu saja," Ucap Han Lin dengan senyum lembut seperti cahaya matahari pagi.
"Sudah berapa lama kau dan Han Zichen bersama Qi Zeyan?"
Han Lin terlihat tidak mengantisipasi Yuer akan menanyakan itu tetapi dia justru tersenyum mengetahui hal itu menarik keingintahuan Yuer.
"Itu adalah sejarah yang cukup panjang, tapi kita bermain bersama sejak kecil. Jadi, jawaban dari pertanyaanmu adalah itu sudah sangat lama, Mingyue baru bisa berjalan saat itu."
Itu diluar perkiraan Yuer dan masih belum menjawab penuh rasa penasarannya tetapi dia menahan diri untuk bertanya lebih jauh. Satu hal yang pasti adalah hubungan mereka cukup dekat.
Yuer mengangguk kecil. "Kalau begitu apakah tugasmu selalu seorang mata-mata?"
Kali ini Han Lin tersenyum lebih lebar, entah mengapa dia senang Yuer bertanya tentangnya.
"Sebenarnya tidak ada yang setuju pada awalnya, begitupun Zeyan sendiri. Menurutnya itu terlalu beresiko, tetapi, mereka tidak bisa memungkiri kemampuanku dalam menyelinap dan menyamar." Han Lin terkekeh kecil, "Aku tidak selalu jadi mata-mata, hanya saat aku tidak bisa memercayakan tugas itu pada orang lain."
Sesaat hening, angin bertiup ringan menemani dua insan yang mengobrol ringan. Untuk sesaat Yuer merasa bisa bernapas dengan santai meski lawan bicaranya bukan Mingyue.
Han Lin berbeda dengan apa yang benteng ini tawarkan padanya. Cara bicaranya dan senyumannya, tidak seperti dia adalah seseorang yang melakukan pekerjaan berbahaya.
Saat Yuer beranjak perlahan untuk kembali ke kamarnya, Han Lin menahan tangannya yang dengan cepat ia lepaskan begitu menyadarinya.
"Oh, maaf, aku hanya..." Han Lin menunduk sesaat sebelum kembali menatap Yuer dengan lembut. "Bagaimana? Mau pergi jalan-jalan denganku?"
Wen Yuer mengulas senyum tipis. "Kau tidak takut pada Zeyan ya?"
Han Lin diam kemudian mengangkat bahunya. "Kau takut?"
"Terkadang, tapi kurasa tidak."
"Jadi? Kau akan pergi?"
Wen Yuer mengangguk kecil yang mengundang senyum lebar Han Lin. Keduanya saling melempar senyum sebelum Yuer berbalik pergi.
...
Keesokan harinya begitu langit petang, Wen Yuer berdiri di depan cermin besar, jari-jarinya baru saja menyentuh ornamen terakhir di sanggulnya saat suara langkah berat terdengar dari balik tirai. Suasana kamarnya hening seketika, seolah semua udara terserap seperti keadaan setiap kali kehadiran Qi Zeyan.
Ia berbalik, dan benar saja—Zeyan berdiri di sana, bersandar santai namun penuh tekanan, dengan senyum tipis di ujung bibirnya.
"Sayang sekali," ujarnya pelan, nada suaranya terdengar seperti racun berbalut madu, "Riasanmu itu akan sia-sia, Wen Yuer. Han Lin tidak akan datang. Aku mengirimnya kembali ke kekaisaran."
Yuer menegang.
"Setelah dia kembali dengan keadaan hampir mati, kau mengirimnya lagi kesana? Bagaimana kalau mereka mengenalinya?"
Zeyan melangkah lebih dekat, nadanya tetap tenang, dingin, seperti selalu.
"Itu tugasnya dan dia bukan seorang amatir, Wen Yuer. Juga, sudah seharusnya dia mematuhi perintahku, begitupun juga kau."
Wen Yuer memutar tubuh, membelakanginya dengan rahang mengeras. Tapi sebelum ia bisa melangkah pergi, tangan Zeyan menangkap pergelangan tangannya dan memutar tubuhnya kembali menghadapnya.
Satu tangan lain terangkat, menyentuh pipinya dengan ringan, nyaris tidak menyentuh, belaian lembut namun penuh ancaman.
"Masih marah padaku?"
Yuer tidak menjawab.
"Kau boleh marah sesukamu, Wen Yuer..." Suaranya pelan, tapi tajam.
"Tetapi kau tidak bisa pergi ke pelukan siapapun selain diriku. Aku tidak akan mengizinkanmu pergi dariku."
Napas Yuer tercekat. Tatapan Zeyan tak berkedip, dan seluruh tubuhnya seolah menolak jarak di antara mereka.
"Aku bukan sesuatu yang bisa kau klaim."
"Benar, tapi kau tetap milikku dalam hal apapun."
susunan kata nya bagus