Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Pelukan yang Kosong
Malam itu Laura kesulitan memejamkan mata. Hatinya bimbang harus mengambil keputusan apa atas lamaran Noah. Hatinya mulai bingung dan perempuan tersebut kesulitan memahami diri sendiri.
Namun, ada satu yang pasti dirasakan Laura ketika bersama dengan Noah. Kenyamanan dan rasa aman. Perasaan itu membuat dirinya menyalahartikan hal tersebut. Dalam satu tarikan napas panjang, dia akhirnya membuat keputusan.
"Aku akan menemui Noah besok."
Keesokan harinya, tepat satu pekan setelah Noah melamar Laura, perempuan tersebut mengundangnya makan siang di apartemen. Kebetulan Leon memilih untuk tetap berada di rumah karena harus mengerjakan tugas sekolah. Tepat setelah Laura menyiapkan hidangan, Noah datang.
Lelaki tersebut tersenyum lebar ketika memasuki apartemen Laura. Dia membuka lebar kedua lengan sehingga membuat Leon tergerak untuk berlari ke dalam pelukan lelaki tersebut. Senyum bocah lelaki itu semakin merekah ketika Noah menyodorkan sebuah kotak besar kepadanya.
"Wah, apa ini Paman?" tanya Leon dengan mata berkilat.
"Bukalah!" ujar Noah sambil tersenyum lebar.
Jemari mungil Leon dengan hati-hati membuka kotak tersebut. Dari luar sebenarnya sudah jelas apa yang ada di dalam sana. Namun, Leon tetap saja bertanya karena rasa ingin tahu yang terus mendorongnya.
Mata Leon semakin berbinar ketika mengetahui apa yang ada di dalam sana. Sebuah mainan robot dengan papan puzzle sebagai bonus. Sontak Leon meletakkan mainan tersebut dan masuk ke pelukan Noah.
"Wah, hari ini bukan ulang tahunku! Kenapa Paman memberiku hadiah?" tanya Leon ketika melepaskan pelukannya dari tubuh Noah.
"Leon, tidak perlu menunggu hari ulang tahun untuk memberikan hadiah kepada orang yang kita sayangi." Noah tersenyum tipis sambil mengusap lembut puncak kepala Leon.
Melihat pemandangan di hadapannya membuat Laura tersenyum. Perempuan tersebut merasa sedikit lebih yakin lagi untuk menerima lamaran Noah. Mereka pun langsung makan siang.
Canda dan tawa yang memeriahkan suasana siang itu, membuat ketiganya seperti keluarga utuh yang nyata. Usai makan siang, Noah dan Leon membantu Laura merapikan meja dapur dan cuci piring. Laura diratukan oleh dua laki-laki beda usia tersebut.
Setelah semua selesai, mereka menghabiskan waktu di depan TV sambil menyaksikan acara anak favorit Leon. Beberapa kali tanpa sengaja tangan Noah menyentuh jemari Laura. Entah mengapa perempuan tersebut menariknya secara refleks.
"Maaf, nggak sengaja." Noah tersenyum getir karena menyaksikan masih ada keraguan di hati Laura.
Dengkur halus mulai keluar dari bibir Leon. Laura bersiap menggendong putranya. Namun, Noah langsung mengambil alih tubuh mungil bocah tersebut.
"Biar aku yang tidurkan." Noah langsung mengangkat tubuh Leon tanpa menunggu persetujuan Laura.
Usai menidurkan Leon ke kamarnya, Noah langsung menemui Laura. Dia masih belum membuka pembicaraan karena Laura masih terlihat tidak nyaman. Noah tetap menunggu seperti biasanya.
Laura berulang kali melirik ke arah Noah. Jemarinya terus meremas satu sama lain. Keringat dingin terlihat mulai membasahi dahinya.
"Apa AC-nya kurang dingin?" tanya Noah sambil meraih remot mesin pendingin ruangan dan bersiap untuk menurunkan suhu.
Namun, dengan sigap Laura mencegah Noah. Dia merebut remot dan kembali meletakkannya ke atas meja. Perempuan tersebut menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara kepada Noah.
"Noah, begini. Aku sudah memikirkan semuanya." Laura tersenyum kikuk dengan sudut bibir yang sedikit berkedut.
"Mari kita menikah."
"Ya?" Kedua alis Noah terangkat.
"Aku menerima lamaranmu. Jadi, ayo kita menikah. Aku akan meninggalkan masa laluku dan mulai melangkah bersamamu. Aku tidak bisa terus terbelenggu dengan rasa sakit akibat ulah Jordan, Noah. Aku harus terus melanjutkan hidup sebagaimana dia juga tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang." Laura tersenyum kecut.
Noah tidak lagi peduli tentang alasan Laura menerima lamarannya. Baginya sekarang, bisa melangkah ke depan bersama perempuan yang dia cintai. Noah langsung menarik Laura ke dalam pelukan.
Dalam pelukan hangat penuh cinta yang Noah berikan, ada kehampaan yang justru menyelubungi hati Laura. Tak ada rasa bahagia karena keputusan yang dia ambil. Namun, Laura berusaha meyakinkan dirinya sendiri dengan mengatasnamakan kenyamanan dan rasa aman yang didapat ketika bersama Noah.
Laura mengangkat tangannya meski terasa berat. Akhirnya perempuan tersebut membalas pelukan Noah. Mulai hari itu Noah yang mempersiapkan semuanya karena Laura masih sibuk mengurus finishing proyek game bersama Jordan.
---
"Jadi, kamu suka yang mana?" tanya Noah ketika ada di depan etalase sebuah toko perhiasan.
Laura masih menatap cincin pernikahan yang terpajang di sana. Ada berbagai macam model dengan berlian berbagai ukuran. Noah sengaja meminta Laura ikut ketika memilih cincin dan gaun pernikahan agar sesuai dengan keinginan calon istrinya itu.
"Noah, sebenarnya aku bisa memakai cincin mana pun. Aku sangat menghargai pilihanmu, itu sebabnya kuserahkan semua rencana pernikahan kita kepadamu." Laura tersenyum kaku sambil menatap sepasang mata Noah.
"Laura, ini pernikahan kita berdua. Jadi, meski sedikit, aku mau ada sentuhan keinginanmu di dalamnya."
"Pernikahan?" Suara itu berasal dari balik punggung mereka berdua.
Ketika menoleh, mereka mendapati Leysha sudah berdiri sambil melipat lengan di depan dada. Perempuan tersebut berjalan maju mendekati Laura. Dia tersenyum miring sambil meneliti penampilan adiknya itu dari ujung rambut hingga kaki.
"Aku penasaran, bagaimana reaksi Jordan saat tahu kamu akan menikah dengan orang lain." Sebuah senyum tersungging di bibir perempuan itu.
"Kamu jangan pernah mencampuri urusanku, Kak. Apakah aku kurang mengalah kepadamu? Aku membiarkan Jordan bersamamu dan memilih pergi dengan membawa putranya. Kamu kenapa tidak memanfaatkan masa itu untuk memikat hati Jordan?"
"Semua karena kamu! Sebentar lagi seharusnya kami menikah. Tapi, dia selalu menunda semuanya, terlebih setelah kamu kembali. Dan sekarang dia tahu kenyataan bahwa Leon anaknya. Aku sudah bertindak sejauh ini untuk menyembunyikan faktanya! Aku sampai merendahkan harga diri agar dia masuk ke pelukanku! Tapi yang aku dapat hanyalah luka!" Leysha menarik napas dalam sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.
"Seharusnya kamu tidak lahir di dunia ini! Kamu menghalangi keinginanku untuk bersama Jordan! Aku mengatur segalanya agar kamu salah paham dan meninggalkannya! Tapi pada akhirnya aku tidak pernah memiliki hati Jordan."
"Maka kamu pantas mendapatkannya, Kak. Kamu salah telah melempar duri ke langit, bersiaplah tertusuk saat ia jatuh dan memantul ke dada sendiri."
Laura tersenyum miring kemudian menggandeng tangan Noah. Keduanya kini pergi meninggalkan Leysha yang masih mematung sambil menatap keduanya menjauh. Noah sesekali menoleh ke belakang.
"Lalu, bagaimana dengan cincin pernikahan kita?" tanya Noah sambil menoleh ke arah Laura yang masih membisu dengan mata berkaca-kaca.
"Noah, aku tak sudi membeli barang di tempat yang sama dengan kakakku. Lebih baik aku mencari toko lain daripada berada di tempat yang sama dengannya dalam waktu yang terlalu lama."