Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27 Tiba Di Desa W
Happy reading
Hawa dingin semakin memeluk erat ketika Dira tiba di Desa W. Desa yang berjarak cukup jauh dari rumahnya dan membutuhkan waktu dua sampai tiga jam untuk sampai di sana.
Dira tiba di desa itu tepat pukul dua belas malam. Beruntung tidak ada aral yang melintang, sehingga ia tiba dengan selamat.
Meski sudah larut malam, suasana di Desa W masih cukup ramai. Kebetulan malam ini bertepatan dengan malam satu Muharam atau biasa disebut malam satu suro dan merupakan malam tahun baru bagi umat penganut dua kalimat syahadat.
Para warga merayakan malam tahun baru itu bukan dengan kemeriahan pesta kembang api, melainkan dengan berzikir dan berdoa bersama di masjid.
Merenungi perjalanan hidup selama satu tahun ini. Meminta pada Zat Yang Maha Kasih untuk selalu menuntun langkah mereka dan menyentuhkan cinta.
Tatkala melintas di depan masjid, Dira mematikan mesin sepeda motor dan menuntunnya sampai di halaman rumah Humaira yang berada tidak jauh dari masjid itu.
Pintu rumah Humaira tampak tertutup rapat. Namun samar-samar terdengar lantunan Kalam suci yang berasal dari dalam rumah.
Dira sangat yakin jika pemilik suara itu adalah Humaira. Bisa dipastikan jika Humaira berada di dalam rumah dan tidak turut serta berkumpul di masjid.
"Assalamu'alaikum, Humaira." Dira mengucap salam dan mengetuk pintu rumah Humaira.
Tanpa menunggu waktu lama, pintu yang diketuknya terbuka perlahan bersama balasan salam yang terdengar lembut, khas suara Humaira.
"Alhamdulillah, sampai juga kamu di desa ini, Ra."
Netra Humaira berbinar, wajah ayu-nya terhias senyum kala mendapati tamu yang sudah sedari tadi ditunggu.
"Alhamdulillah, May." Dira pun turut menghias wajahnya dengan senyum dan mengangkat kedua tangannya yang menjuntai untuk memeluk Humaira--sahabatnya.
Dira dan Humaira bersahabat cukup lama. Namun tidak selama persahabatan yang terjalin di antara Dira dan Dariel.
Persahabatan Dira dan Humaira mulai terjalin di bangku kuliah. Sementara persahabatan Dira dan Dariel terjalin sejak mereka duduk di bangku SMA.
Setelah lulus dari fakultas kedokteran, Dira bekerja di Rumah Sakit Sehati, sementara Humaira bekerja di Rumah Sakit ICPA. Rumah sakit yang didirikan oleh kakek dan neneknya. Mereka ... Abimana dan Kirana. Dua tokoh di kisah 'Istri Comel Pilihan Abi'.
Namun sudah dua tahun ini, Humaira ditugaskan oleh Kirana untuk menjadi dokter relawan di Desa Pule. Desa yang masih sangat kekurangan tenaga medis.
Untuk mengatasi permasalahan yang dirasa genting di Desa Pule, Kirana mengajukan tawaran pada Dira yang dirasa mumpuni dan sanggup menunaikan tugas.
Semula, Dira merasa enggan untuk menerima tawaran itu. Selain sudah terlanjur nyaman bekerja di Rumah Sakit Sehati, Dira juga serasa berat untuk meninggalkan Milah dan kedua orang tuanya.
Namun karena tekadnya untuk menjauh dan menghilang dari kehidupan Dariel sudah menguat, Dira pun memutuskan untuk menerima tawaran Kirana dan resign dari Rumah Sakit Sehati.
Dira dan Humaira berpeluk cukup lama. Menumpahkan rasa rindu yang sudah tak terbendung, setelah dua tahun tak bertemu dan hanya bisa berkomunikasi melalui udara.
Puas menumpahkan rasa rindu, sepasang sahabat itu pun perlahan mengurai pelukan.
"Masuk yuk, Ra!" ucap Humaira sambil menggandeng tangan Dira.
"Iya, May." Dira membalas dan mengiringinya dengan seutas senyum.
Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, Humaira memandu Dira berjalan menuju kamar yang dulu ditempati oleh Azam, saudara kembarnya.
Mereka berjalan beriringan sambil berbincang diselingi candaan.
"Bagaimana perjalananya tadi, Ra? Lancar jaya atau ada sedikit hambatan?" tanya yang terucap dari bibir Humaira, mengiringi ayunan kaki mereka.
"Alhamdulillah lancar jaya, May. Sampai di desa ini rasanya dingin poll."
"Pffftt, wajar dingin poll. 'Kan tadi habis hujan, Ra."
"Tapi di kota nggak hujan lho, May."
"Hujan nya nggak mesti merata, Ra. Di sini hujan, belum tentu di kota juga hujan. Meski berada di satu provinsi."
"Bener, May." Dira membenarkan ucapan sahabatnya.
"Nah, sudah sampai." Ayunan kaki Humaira terhenti tepat di depan kamar yang sudah ia siapkan untuk Dira. Begitu juga Dira. Ia pun turut menghentikan ayunan kaki dan berdiri sejajar dengan Humaira.
"Malam ini kamu tidur di sini ya, Ra." Humaira membuka pintu kamar, lalu mempersilahkan Dira untuk masuk ke dalam.
Meski sedikit ragu, Dira tetap membawa ayunan kakinya masuk ke dalam kamar itu.
"Kalau boleh tahu ... ini kamar siapa, May?" Dira bertanya pada Humaira sambil mengedar pandangan--menyapu seisi ruang.
"Kamar kembaranku, Azam. Tapi sudah lama nggak ditempati. Masih ingat Azam 'kan?"
"Iya, aku masih ingat. Memangnya, Azam ke mana?"
"Kairo."
"Melanjutkan study di sana atau bekerja?"
"Dia berbisnis, Ra. Sambil mencari jodoh katanya."
"Kenapa jauh banget?"
Humaira mengendikkan bahu, lalu mendaratkan bobot tubuhnya di tepi ranjang.
"Dari dulu anak itu memang unik. Sudah ditawari papi untuk memegang Perusahaan Go-success, malah memilih bisnis tahu tempe di Kairo. Mau dijodohkan sama anak kyai, malah pingin dapet gadis bermata biru."
"Ya bagus dong. Berarti dia mandiri dan nggak suka bergantung terus sama orang tuanya --"
"Iya sih. Makanya papi dan mami nggak melarang. Cuma berpesan supaya Azam nggak salah pergaulan dan nggak salah pilih pasangan. Harus seiman dan kalau bisa ... yang saleha."
"Seneng ya punya orang tua seperti Papi Rangga dan Mami Khanza."
"Alhamdulillah, seneng banget. Menurutku, Om Firman dan Tante Nisa ... orang tua yang super baik lho. Mereka sama baiknya dengan papi dan mami-ku. Pastinya kamu juga seneng 'kan memiliki orang tua seperti mereka?"
"Iya, aku seneng banget dan teramat bersyukur. Tapi --"
"Tapi apa, Ra?"
Dira menghela napas panjang, lalu meletakkan tas punggungnya di lantai dan mendaratkan bobot tubuhnya di tepi ranjang, bersebelahan dengan Humaira.
"Aku sudah mengecewakan mereka, May. Aku melakukan dosa besar yang mungkin tak akan terampuni --"
"Dosa besar?" Humaira mengerutkan dahi dan menatap Dira penuh tanya.
"Iya, May. A-aku, a-aku melakukan khilaf terlarang bersama Dariel. A-ku menyerahkan kesucian-ku padanya. Kami berzi-na." Dira menjawab terbata dan menundukkan wajah. Ia teramat malu pada Humaira dan merasa sangat hina di hadapan sahabatnya itu.
Humaira terkesiap kala mendengar pengakuan yang dituturkan oleh Dira dan serasa tak percaya.
Terbesit tanya di dalam hati, bagaimana mungkin seorang wanita terhormat dan berpendidikan seperti Dira bisa melakukan khilaf terlarang bersama sahabat nya sendiri? Yang lebih parah dan teramat di sayangkan, dia menyerahkan Marwah yang seharusnya dijaga pada pria yang tak sepaham.
Humaira mematung. Ia teramat syok dan tak sanggup mengeluarkan rangkaian kata untuk menanggapi perkataan Dira.
🌹🌹🌹
Bersambung
Sambil menunggu bab selanjutnya, Kakak-kakak terkasih bisa mampir ke novel author yang berjudul 'Pernikahan Tanpa Cinta'. Love Story Rangga dan Khanza yang sudah end. 😊🙏🏻
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah