Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
"Papa."
Suaraku begitu lirih, namun berhasil membuat Pak Arga menoleh padaku. Saat ini aku berdiri tidak jauh darinya. Tidak mungkin aku tiba-tiba mendekat atau memeluknya. Itu jelas sangat aneh rasanya.
Mata yang awalnya cerah kini mulai berkaca-kaca. Pak Arga menyeka air mata yang hampir keluar dari sumbernya. Dia mendekat, memegang tanganku dengan erat. Tidak ada kata, tapi sorot matanya menyiratkan kerinduan yang sangat dalam.
"Heni."
"Nama saya Heera. Heera Zanita."
"Heera? Zanita?"
Aku mengangguk kecil. Saat itu Pak Arga menarik diriku ke dalam pelukannya. Pelukan seorang ayah yang penuh kasih sayang. Pelukan yang seharusnya aku miliki sejak dulu, kini baru aku rasakan.
Tanpa sadar air mataku juga menetes. Padahal ini tidak ada dalam akting yang harus aku lakukan. Aku bahkan membalas pelukan itu.
"Sayang. Kamu masih hidup?"
Iya, aku masih hidup karena orang yang disuruh Oma Melati memilih menyelamatkan aku. Jika tidak, mungkin kita tidak akan bisa bertemu saat ini.
"Bagaimana kau bisa datang?" tanya Pak Arga penuh perhatian.
"Oma Melati menemukan aku. Dia menyadari aku mirip dengan Ibu Heni, jadi dia melakukan tes DNA."
"Benarkah?" Wajah bahagia Pak Arga tidak bisa ditutupi. Dia seperti menemukan hal yang sangat berharga dalam hidupnya yang telah lama hilang.
Pertemuan pertama ini berakhir begitu saja. Aku tidak bisa langsung bertanya tentang banyak hal. Ini baru pendekatan dan aku harus terlihat tenang dan tidak agresif. Jika sudah saatnya nanti, aku pasti akan mendapatkan apa yang aku mau.
Pak Arga sudah meminum obatnya. Dia juga tengah istirahat saat ini. Jadi, aku memilih untuk berpamitan dengan Oma Melati. Di sini, tanpa alasan yang jelas membuat aku merasa tertekan sendiri.
"Aku pamit dulu, Oma."
"Sopir akan mengantarmu," kata Oma Melati.
"Tidak perlu, Oma. Suamiku akan menjemput."
"Suami?" Oma Melati terlihat sangat kaget saat tahu aku sudah menikah.
Aku memperlihatkan cincin pernikahanku dan Mada. Oma melati mengangguk kecil.
"Tenang saja Oma. Suamiku sudah tahu tentang semua ini."
"Baguslah. Jangan sampai Arga tahu yang sebenarnya."
"Baik, Oma. Kalau begitu saya permisi."
"Hati-hati di jalan."
Keluar dari gerbang aku kaget karena mobil Mada ada di sana. Pria itu melambai begitu aku mendekat. Padahal aku berbohong pada Oma Melati. Tidak aku sangka Mada benar-benar menjemputku.
Aku masuk ke mobil. Mada menarikku langsung untuk lebih dekat dengannya. Dia mencium keningku beberapa saat. Hal yang manis untukku.
"Kenapa di sini?"
"Aku tahu kamu sudah akan pulang."
"Kau menguntitku?"
Mada hanya tertawa kecil lalu menjalankan mobil itu. Aku melihat beberapa pesan masuk ke ponselku. Tidak ada hal yang istimewa seperti biasanya. Jadi, aku memilih menikmati waktu dalam perjalanan kembali ini.
Sampai di persimpangan Kaif melajukan mobilnya lurus. Padahal apartemen kami seharusnya belok kanan. Aku menoleh pada Kaif yang masih sibuk dengan setirnya.
"Kita mau kemana?"
"Ke rumah orang tuaku."
"Apa?!"
Selama pernikahan ini baru pertama kalinya Mada mengajakku ke rumah orang tuanya. Mendadak, di saat aku tidak menyiapkan apapun. Bahkan aku juga belum berganti pakaian setelah seharian beraktifitas.
Aku meminta Mada untuk putar balik dan kembali dulu ke apartemen. Sayangnya, Mada tidak peduli. Dia bahkan berbelok ke sebuah butik di pinggir jalan. Aku semakin tidak tahu jalan pikiran Mada.
Kacau, aku tidak bisa berpikir apapun. Membayangkan berhadapan dengan keluarga Mada saja sudah membuat aku mengeluarkan keringat dingin. Bagaimana nanti saat sudah di sana. Apa aku akan mudah berbaur, atau aku akan mati kutu dan tidak bisa melakukan apapun.
Bayangan semua orang yang menatapku rendah kembali teringat. Aku takut, aku takut mereka tidak menerimaku. Aku takut di saat aku hanya diam dan tidak bisa membela diriku sendiri Mada juga memilih diam.
Bagaimana ini? Aku harus apa? Aku beberapa kali mengatur nafas agar lebih tenang. Namun tetap saja semua pikiran itu sangat mengganggu.
Tuk. Tuk. Tuk.
Kaca mobil diketuk beberapa kali membuat aku kaget. Aku melihat Mada masih menungguku untuk turun dan masuk ke butik itu. Aku menggeleng, tapi Mada tidak peduli dengan penolakan yang aku berikan.
Pintu terbuka dan Mada menggendongku masuk ke dalam butik. Tentu saja kami langsung menjadi pusat perhatian. Aku memilih bersembunyi pada dada bidang milik Mada. Sampai di dalam sebuah ruangan Mada menurunkan aku.
Seorang wanita dengan pakaian khas butik itu masuk. Dia membawa dua gelas berisi jus jeruk dengan kudapan di piring kecil. Aku masih mencerna semua itu saat dua karyawan lain masuk dengan beberapa baju di sana.
Melihat semua fasilitas ini tentu barang di sini tidaklah murah. Jika dulu, aku akan memilih pergi ke toko lain yang lebih murah. Sayangnya aku akan bertemu dengan mertua dengan status sosial tinggi. Aku tidak tahu harus pakai baju apa dan yang seperti apa.
Selama ini aku pakai baju apa yang aku mau. Kini, aku harus benar-benar memperhatikan penampilanku.
"Pilih yang kamu suka."
Aku menoleh pada Mada. "Aku tidak tahu. Kau tahu, selama ini aku hidup biasa."
"Kalau begitu panggil pemilik butik ini atau yang bertanggung jawab," kata Mada pada karyawan yang tadi membawa minum untuk kami.
Tidak lama seorang wanita tinggi dan cantik masuk. Wanita itu langsung menyapa Mada dengan senyuman dan sapaan yang rendah. Sementara saat bertemu mata denganku, dia terlihat tidak begitu suka.
"Dia istriku. Apa yang kamu lakukan?"
Wanita itu langsung tersenyum padaku. Aku hanya diam saja. Benar, selama ini aku memang di pandang rendah oleh orang dengan kalangan atas. Tidak aku sangka Mada akan membelaku. Bahkan langsung mengakui jika aku adalah istrinya.
"Pilihkan baju yang cocok untuk istriku. Jika salah, kau tahu akibatnya," kata Mada lagi.
Wanita dengan name tag Tia itu langsung mengambilkan aku beberapa baju. Mada memintaku untuk langsung mencobanya. Tentu saja aku harus mau, jika tidak aku pasti tidak akan bisa masuk ke rumah keluarga Wijaya.
Tia masuk ke dalam ruang ganti denganku. Dia tentu saja membantuku, tapi dengan beberapa kalimat yang membuat aku kesal.
"Kau tidak cocok dengan Tuan Mada."
Aku diam, mencoba tidak peduli meski merasa sakit hati tentunya.
"Dulu, Tuan Mada datang ke sini hanya dengan kekasih kecilnya. Tidak aku sangka dia menikah dengan gadis biasa sepertimu."
Ya Tuhan. Aku benar-benar mencoba untuk tuli tapi kenapa rasanya sangat menyakitkan. Aku sadar jika aku melawan pembicaraan itu saat ini, aku kalah. Jadi, aku membuka tirai ruang gantiku.
"Mada. Aku tidak suka karyawan ini. Aku ingin dia," aku menunjuk seorang karyawan yang tadi membawakan minum.
Pelayan itu tampak kaget, tapi dia tetap masuk ke ruang gantiku. Sementara Tia keluar dengan wajah suramnya. Aku benar-benar ingin menamparnya, tapi ingat jika aku istri Mada. Aku harus membuat semua orang merasa aku pantas untuk pria tampan itu.