Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesekali boleh kok, gagal!
Nathan mengembuskan napas lelah. Ia tahu Brianda akan menolak, karena Brianda sudah punya janji dengan Chacha. Tapi kali ini, Nathan tidak bisa membiarkan Britania sendirian. "Kita ke sana..." titahnya tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar.
Brianda melongo, kedua alisnya terangkat tinggi. Mulutnya sudah terbuka ingin protes, namun urung.
Setibanya di tempat meeting, suasana sudah sepi. Hanya tersisa Britania dan Birru. Brianda, yang mengetahui situasinya, langsung memanggil Birru untuk berbicara di luar, memberi ruang agar Nathan bisa menemui Britania berdua.
Britania cukup kaget, baru kali ini ia mendapati seorang bos membawakan jaket untuk pegawainya. Tindakan itu terlalu mencolok dan hanya akan membuat pikirannya makin menebak-nebak yang tidak seharusnya.
"Mmm... Pak Nathan kenapa yang ke sini? Saya minta Olivia yang untuk mampir tadi," tanya Britania, mencoba menjaga jarak.
Pria itu menatap Britania dalam, tatapannya bukan lagi otoriter. "Ayo pulang, sudah hampir hujan. Ini pakai jaketnya..." Nathan memakaikan jaket itu di bahu Britania dengan lembut.
Sungguh demi apapun ini bukan Nathan banget. Dan Brii juga, alih-alih baper justru ia merasa geli sendiri.
Britania merasa tak diberikan waktu untuk menolak. Ia segera memakai jaketnya dan berjalan mengekor di belakang Nathan. "Pak, saya bawa mobil sendiri. Terima kasih sudah membawakan jaketnya," ucap Britania, memegang kunci mobilnya erat-erat.
Bertepatan dengan itu, gerimis mulai turun, dan dalam hitungan detik, berubah menjadi hujan yang deras. Langkah Britania langsung terhenti, matanya terpejam erat, seolah ingin mengumpat pada semesta yang tengah menjebaknya kini.
Mereka masih saling terdiam untuk beberapa detik. Terdengar gemuruh petir dan kilat yang bersahutan, saling menyambar.
Sial! Pertahanan Britania lemah, ia tidak bisa melawan ketakutan seperti ini. Hampir saja ia membalikkan badan kalau tidak ingat ada Nathan di sana.
Tangannya sigap menutup kedua telinga dengan kencang, mencoba menghalau perasaan takut dan gelisah yang semakin besar.
"Aku antar. Mobil kamu nanti biar Brianda yang bawa..." Suara Nathan terdengar lembut, bukan menawarkan, tapi memerintah.
Kali ini, Britania tidak lagi bisa menolaknya. Ia menyerahkan kunci mobil di tangannya pada Nathan. Nathan segera melepas jasnya untuk melindungi kepala Britania dari hujan. Ia terus menuntun tubuh Britania yang menggigil sampai ke dalam mobil.
Dinginnya hujan, makin melengkapi keheningan mereka di dalam mobil. Hanya suara wiper yang terus bergerak cepat menyingkirkan air hujan yang jatuh di kaca mobil.
Britania menyadari betapa Nathan sangat sigap, seolah sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Detik itu juga, Britania kembali menyesali hidupnya yang berantakan. Sekeras apa pun ia membuat hidupnya tertata dengan baik, berjalan dengan lancar, dan se-perfect mungkin, tetap saja ia punya satu hal buruk yang tak bisa ia hilangkan.
Phobia dan trauma ini sudah menjadi bayang-bayang kelam yang bercokol dalam batinnya. Ke mana pun ia pergi, rasa itu tetap ada.
Bahkan ia sudah jauh dari sumber kisah penyebab trauma sialan itu, sisa-sisa kesengsaraan yang menyertainya masih sangat menyiksanya hingga kini.
Hampir 30 menit mereka terjebak dalam suasana hening di mobil, sampai akhirnya Nathan memarkirkan mobilnya di area parkir basement, gedung tempat apartemen Brii.
"Aku ambilin minum sebentar, ya?" Nathan berjalan menuju dapur Britania. Ya, tadinya Nathan sudah akan membawanya ke rumahnya lagi, namun Britania menolak. Jadilah kini ia berada di apartemen Britania.
Hujan masih belum juga reda. Suara petir dan guruh juga masih saling bersahutan. Entah kenapa, hujan kali ini terasa begitu lama.
Nathan cukup berterima kasih pada situasi ini sebenarnya, ia jadi punya banyak waktu bersama Britania tanpa perlu repot-repot mencari alasan.
"Thanks.." ucap Britania pada Nathan, untuk segelas susu hangat yang ia ulurkan.
Nathan duduk di sampingnya, menatap Britania lekat.
"Mau aku temenin... malam ini?" tanyanya, sama sekali bukan karena iba, namun Nathan merasa harus peduli pada kondisi Britania saat ini. Ia sangat tahu bagaimana rasanya tersiksa dalam sebuah trauma.
Apa Brii tampak separah itu kondisinya? Britania merasa malu. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Nathan.
"Nggak usah. Aku bisa nyalain musik kencang biar enggak dengar suara petir dan hujannya. Lagian ruangan ini cukup kedap suara, kok," jawab Britania ringan. Itu solusi yang biasa ia lakukan selama ini tiap kali berada dalam situasi hujan lebat sendirian.
"Nggak usah kasihan gitu sama aku, Nath. Aku udah biasa, kok, kayak gini. Nanti juga reda sendiri ujannya. Nggak mungkin hujan sampe pagi kan? " lanjutnya dengan senyum miris. Nathan tahu Brii sedang menyembunyikan perasaan dia yang sebenarnya.
"Brii..." Nathan mengangkat kepalanya, memandang Britania sayu. "Kalau kamu memang nggak mau aku temenin di sini karena nggak enak atau apapun itu, setidaknya izinkan aku menemani kamu sampai hujannya reda... yaaa?"
Ruangan apartemennya memang kedap suara, tapi kilatan petir itu sesekali tampak melalui celah jendela dari balkon, membuat Britania kembali bergidik. Jujur, ia pasti tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, tapi tidak mungkin juga membiarkan Nathan tetap di sini semalaman.
Dering ponsel terdengar dari dalam tasnya. Rayyan. Adik angkatnya yang tinggal di rumah singgah, tiap kali menemaninya saat hujan seperti ini. Ia menelepon untuk memastikan kondisi Britania.
"Halo, Kak Bri... Udah balik belum?"
"Udah, Ray..."
"Gue ke sana, ya... bentar lagi sampai. Lo di kamar aja, pakai selimut tebal sama pasang headset. Petirnya kencang banget dan hujan juga kayaknya bakal lama, nih..."
"Mmm... enggak usah buru-buru, Ray. Aku ada teman, kok... Teman kantor. Kamu tenang aja," jawab Britania, merasa sedikit lega.
"Oh... oke, deh. Kalau lo sendirian, kabarin gue, ya? Gue siap otw ke situ..." Rayyan selalu siap siaga dengan segala hal yang berhubungan dengan Brii, termasuk memastikan dia bisa tetap tenang ketika hujan, selama hujan masih menajdi menjadi sesuatu yang sangat menyakitinya.
Nathan menghampiri Britania setelah telepon selesai.
"Siapa?" tanyanya lembut.
"Oh, itu Adikku. Dia biasa ke sini nemenin aku kalau hujan deras gini," jawab Britania, menyeruput susu hangat di tangannya.
Keberadaan Nathan di apartemennya memang cukup membuat perasaannya tenang. Hingga akhirnya, rasa lelah dan kantuk menyerangnya bersamaan, sampai tak sadar tertidur nyenyak di sofa samping tempat Nathan duduk.
Entah jam berapa pria itu pulang, namun sebelum itu ia sempat memindahkannya ke kamar. Nathan menyelimuti Britania, memastikan gadis itu tidur nyenyak, lalu meninggalkan apartemennya setelah hujan reda.
***
Hari yang sibuk masih berlanjut. Di ruang meeting, Olivia dan beberapa kepala departemen sedang beradu argumen mengenai masalah komplain customer kemarin. Britania tidak tahu harus berbuat apa.
Di tengah kebingungan, Olivia menatap rekan-rekannya, berucap, "Sabar, ya... pasti Bu Britania bisa mengatasi ini. Dia selalu punya sejuta solusi untuk tiap masalah kita, kan, selama ini?" Kalimat itu tanpa sengaja terdengar oleh Nathan yang kebetulan lewat.
Nathan menghentikan langkahnya. Ia mendengar betapa para pegawainya itu, sepenuhnya menggantungkan harapan pada Britania. Padahal harusnya semua bertanggungjawab dengan tugasnya masing-masing.
"Nda... meeting siang nanti sama mitra biar gue aja yang langsung ke sana sama Britania. Enggak usah sama kepala bagian produksi itu. Lo sekarang cari salinan hasil produksi dari mitra, bawa ke sini," perintah Nathan, tegas.
Walaupun sambil terus menggerutu karena harus turun ke bagian produksi langsung, Brianda segera mengikuti perintah bosnya itu demi menyelesaikan masalah besar mereka.
Britania sendiri tidak tahu bahwa Nathan telah menyiapkan semua ini. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya meminta perusahaan mitra agar tetap bersedia memproduksi ulang tanpa anggaran biaya berlebih.
Ia cukup kaget kala Nathan sudah bersiap untuk ikut bersamanya ke tempat perusahaan mitra, tetapi karena banyaknya hal yang harus ia pikirkan, Britania langsung mengekor saja di belakang Nathan tanpa banyak bertanya. Di mobil pun ia masih sibuk dengan laptopnya, mengurus proyek pengiriman berikutnya.
Sesampainya di perusahaan mitra, Nathan langsung memimpin rapat.
"Saya sudah membawa salinan hasil produksi yang dikirim sebelumnya ke Kanada, dan itu murni kesalahan mitra. Jadi, saya minta tanggung jawabnya untuk kalian segera memproduksi ulang semuanya sesuai detail dari model awal kita, sesuai sample. Tidak ada tambahan biaya lembur karena kita sudah menyediakan ulang bahan bakunya, itu sudah cukup sebagai kompensasi," ucap Nathan dengan suara telak kepada jajaran staf di perusahaan mitra, setelah Britania berdebat cukup lama dalam meeting.
Salah satu dari mereka meminta keringanan waktu karena waktu yang diminta customer sudah mepet. Nathan tidak memberi toleransi.
"Kalau sejak kemarin Britania ke sini kalian langsung mengerjakan, pasti tidak akan semendadak ini. Ini tanggung jawab kalian. Masih ada proyek lain yang akan dikirim bersama dengan produk ganti rugi ini juga. Saya tidak mau tahu bagaimana caranya. Yang jelas, tiba saatnya mengekspor nanti, semua barang harus sudah siap! Saya sebagai atasa punya tanggung jawab memfasilitasi kalian dalam berbagai hal dan kalian juga punya tanggung jawab sama besarnya untuk mensukseskan tiap order yang masuk. Jadi, mohon kerja sama yang baik ini terus terjaga." pungkas Nathan.
Auranya memang sangat tegas dan dingin kali ini. Ketegasan dan kewibawaannya segera membuat seisi ruangan meeting mengangguk patuh.
Memang, ya, kalau punya kuasa, akan lebih mudah diterima omongannya oleh orang lain... Itu sudah hukum alam sepertinya. Britania hanya menyaksikan dengan takjub.
Dia memang sering melihat ketegasan pimpinan sebelum Nathan, hanya saja mereka ditakuti oleh bawahan lebih tepatnya, sementara Nathan, di segani.
"Terima kasih, Pak, sudah membantu saya menyelesaikan ini semua. Kalau saja dari kemarin Pak Nathan ikut meeting, pasti sudah kelar dan mungkin sudah mulai jalan produksinya. Saya enggak perlu lembur besok, hihihi..." ucap Britania setelah akhirnya bisa merasa lega.
Nathan menoleh pada Brii yang duduk di samping kemudinya. "Aku harus tahu dulu bagaimana kinerja karyawan terbaik di Maheswara Group, yang menjadi banyak idola bahkan Ayah dan Bunda juga sering membicarakan kehebatan kamu," Nathan terkekeh keras, matanya melirik Britania dengan bangga.
"Maaf, ya, kalau saya gagal menyelesaikan masalah kali ini..." sesal Britania. Ia merasa gagal dan malu karena Nathan harus turun tangan menyelesaikan masalah kecil yang harusnya ia mampu handle sendiri.
"Nggak semuanya harus sempurna, Bri... Kadang sesekali harus merasakan nggak berhasil dulu baru bisa mengerti bagaimana luar biasanya kita," Nathan membalasnya dengan bijak, seolah ia mengerti beban mental ang Britania rasakan.
Britania mengangguk beberapa kali, menyetujui kata-katanya. Benar memang, tapi sudah terbiasa berhasil, sekarang gagal dalam masalah skala kecil seperti ini rasanya cukup menyentil harga dirinya.
Nathan sudah akan mengatakan sesuatu, namun tertahan. Dering ponsel mengalihkan atensinya. Ia segera menyambungkannya ke bluetooth mobil.
"Haii... Night son..." sapanya, sudah jelas itu pasti telepon dari orang rumah yang menelpon.
"Night Dad.. di mana?" Suara anak kecil itu sangat fasih dalam berbahasa Inggris. Ren, putranya, yang tengah menelepon.
"Mmm... Papa lagi di mobil, Sayang, mau nganterin Aunty Britania pulang... Kenapa?"
Beberapa detik kemudian, terdengar pekikan dari anak kecil itu.
"Wow, sama Tante Briii... Ajak ke sini, pah... Ren mau aunty. .."
Nathan menoleh ke samping, Brii setengah kaget juga mendengar permintaan Ren.
"Mau?" tanyanya, setengah berbisik. Britania bisa mengangguk canggung, karena ia tidak ingin mengecewakan Ren.
"Oke, Sayang... sebentar lagi, ya? Aunty sampai di rumah sama papah..." Nathan tersenyum ke arah Britania, senyum geli, dalam hatinya sangat bersyukur Renn ada dipihaknya. Biasanya anak itu akan sangat menentang kehadiran orang baru,