Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Dirgantara
"Sial! Kenapa harus anak itu yang nemiliki golongan darah langka?" Geram Dirgantara. Maya dan kedua anak pria itu pun menatap bingung dan semakin penasaran.
"Emang ada hubungan apa sih, Pa, golongan darah sama perusahaan?" tanya Maya.
Dirgantara sontak melempar tatapan tajam sejenak pada wanita yang dia nikahi sekitar tujuh tahun yang lalu. Lantas, saat kembali bersandar, pria itu seketika menceritakan alasannya.
"Astaga! Papa serius?" tanya Vano. "Wahh! Kesempatan bagus tuh, Pa?"
"Black Diamond bukankah pemilik gerai berlian yang paling besar di negara ini ya?" tanya Maya.
"Iya, Ma," jawab Vina. "Bahkan, satu-satunya perusahaan di negara ini yang resmi memproduksi perhiasan mewah dengan bahan utama berlian."
"Wahh! Bagus banget tuh kalau Papa bisa menguasai perusahaan itu," ujar Maya. "Ah, kenapa Papa kemarin terburu buru mengusir anak itu sih?"
"Papa kan nggak tahu, bakalan kaya gini," sungut Dirgantara. "Yang Papa tahu, Kevin hanya anak yang tidak berguna dan suka cari masalah. Seandainya Papa tahu dari awal darah anak itu berguna, sudah aku tahan dan dijadikan ladang bisnis untuk kita."
Maya membalasnya dengan mulut ketus dan mendengus.
"Kenapa kita nggak cari aja anak itu, Pa?" Usul Vano. "Kita paksa dia pulang. Kalau perlu, kita ancam sekalian."
"Nah ide bagus tuh," sahut Vina. "Tapi, kita cari dimana, Kak? Kita kan nggak tahu, Kevin pergi kemana."
"Kita cari dulu ke kampungnya Nenek," balas Vano. Bukankah di kampung itu rumah Nenek masih ada? Kemana lagi Kevin akan pergi kalau bukan ke rumah Nenek."
"Iya juga ya," ucap Vina. "Ya udah, Pa, kita suruh orang aja buat jemput Kevin sekarang."
"Kevin ada di mall," Argo yang baru pulang dan mendengar obrolan keluarganya langsung menyela ucapan Vina. Anak itu pun langsung mendapat tatapan semua mata yang ada, dalam satu ruang keluarga.
"Kevin ada di Mall? Ngapain? Ngemis?" terka Vano.
"Lagi makan-makan sama teman-temannya," jawaban Argo kembali sukses mengejutkan semuanya.
"Makan-makan? Kamu serius?" Vano tak percaya mendengarnya.
"Kamu salah orang kali, Go?" Vina ikut menimpali. "Dia kan pergi, nggak bawa uang dari Papa."
"Penglihatanku masih jelas, Kak," Argo tak terima. "Dia juga lagi sama cewek yang kemarin ketangkap basah di kampus."
"Apa! Kamu serius, Go?" tanya Maya, mewakili rasa terkejutnya orang-orang yang ada di sana.
"Seriuslah, Ma," balas Argo. "Teman-teman aku aja banyak yang lihat. Mereka kaya lagi merayakan sesuatu gitu. Mana mereka pada menghina aku di depan banyak orang."
"Menghina kamu? Menghina bagaimana?" Maya seketika agak emosi mendengar pengakuan anak kandungnya.
"Kevin bilang, aku hanya anak tiri yang tidak tahu diri. Numpang di rumah orang kaya aja belagu."
"Kurang ajar! Kevin bilang begitu?" Kali ini Maya berhasil terpancing emosinya.
Dengan cepat Argo mengangguk. "Padahal niatku cuma mau nyapa, nanya kabar dia. Eh, dia malah menghina aku abis-abisan. Aku kan jadi malu banget, Ma. Mana banyak orang yang tahu lagi aku anaknya siapa."
Kurang ajar anak itu!" kebohongan Argo berhasil membangkitkan amarah Dirgantara. "Harus dikasih pelajaran itu anak."
"Benar, Pa, Kevin sudah keterlaluan," sungut Vina. "Itu sama aja, dia menambah buruk nama Baik Papa. Papa harus tindak dia lebih tegas lagi."
"Vano! Cari Kevin sampai ketemu! Seret dia di hadapan Papa. Biar Papa ngasih tahu, posisi dia di rumah ini itu sebagai apa!"
"Baik, Pa, aku pasti secepatnya akan menangkap anak itu."
Diam-diam Argo tersenyum sinis dan sangat puas. Sekarang, dia tinggal menunggu saatnya Kevin mendapat balasan.
####
Sedangkan anak yang sedang dibicarakan Dirgantara, saat ini sudah kembali ke kediaman Hernandez. Kepulangan Kevin dan Nadira di sambut hangat oleh si pemilik rumah yang sedang bercengkrama.
"Sepertinya kalian habis belanja banyak banget, sampai jam segini baru pulang," ucap Lavia setelah selesai minum obat.
"Tadi main dulu, Mi," jawab Nadira. "Kebetulan, tadi di Mall, kita ketemu teman-teman akrabnya Kevin. Jadi selagi ada waktu, kita main sekalian."
Lavia tersenyum. "Nggak apa-apa. Lagian, kamu kan jarang main, kan." Nadira pun tersenyum dan duduk di tepi ranjang, dekat sang Mami.
"Jadi, besok kamu sudah siap berangkat ke kampus lagi kan, Vin," Tanya Hernandez.
Namun Kevin tidak langsung menjawab. Dilihat dari gelagatnya, Hernandez merasa ada yang mengganjal dalam benak anak itu.
"Kamu tidak perlu takut," ucap Lavia. Ternyata, wanita itu juga merasakan hal yang sama seperti suaminya. "Kamu itu harus bangkit. Jangan sampai kamu mudah ditindas."
"Benar, Vin," sambung Nadira. "Kamu nggak perlu mikir macem-macem."
"Emang kamu juga nggak takut?" Kevin malah bertanya pada anak gadis Hernandez.
"Lah, kalau takut, aku udah berhenti dari dulu, Vin. Buktinya aku terus berangkat. Bukankah kamu tahu, meskipun aku ditindas, aku tetap terus maju melawan?"
Kevin tercenung beberapa saat. Apa yang dikatakan Nadira memang benar, gadis itu memang tidak pernah menunjukkan rasa takutnya.
Mungkin karena itu juga, Argo dan teman-temannya terus berusaha keras menjatuhkan Nadira, sampai melakukan fitnah di ruang kesehatan sambil menjebak Kevin.
"Aku sih sebenernya tidak takut. Aku hanya males ribut aja," balas Kevin.
"Ya mulai sekarang, kamu jangan punya pemikiran seperti itu," ujar Hernandez. "Kamu justru akan diremehkan jika diusik, kamunya tetap diam. Okelah, jika dulu alasannya karena Dirgantara. Tapi sekarang, kamu tidak ada alasan untuk takut lagi. Kamu harus buktikan, tanpa dia, kamu bisa hidup lebih baik lagi. Kamu boleh membawa nama Papi buat menggertak."
"Tuh, dengar apa kata Papi," ucap Nadira. "Kamu nggak perlu takut."
Kevin pun tersenyum.
Di saat bersamaan, seorang pekerja di rumah itu masuk dan memberi tahu Tuan rumah kalau dia kedatangan tamu.
Karena tahu siapa tamu yang datang, Hernandez meminta tamunya untuk masuk ke ruangan tersebut. Tak lama kemudian muncullah tamu yang dimaksud.
"Hallo Om, Mario," sapa Nadira dengan riang setelah tamunya menyapa Hernandez dan Lavia.
"Wah, keponakanku udah gede saja," jawab Mario sambil memeluk sang keponakan. "Sepertinya, keponakan Om, sudah berani menunjukan kekasihnya di depan orang tua?"
Kening Nadira sontak berkerut. Namun saat menyadari keberadaaan sosok Kevin, gadis itu langsung tersenyum lebar.
"Dia saudaraku, Om," jawab Nadira. "Kenalan dong, namanya Kevin."
"Suadara? Pacar juga masalah," goda Mario.
"Ih, apaan sih, Om," Nadira jadi salah tingkah. Begitu juga dengan Kevin yang turut mendengarnya.
"Dia anak yang aku ceritakan kemarin ditelfon," ucap Lavia.
"Oh, ini anak yang menolong kamu?" Mario mangajak Kevin untuk berjabat tangan.
"Iya, namanya Kevin," jawab Lavia. "Kamu tahu nggak dia anak siapa?"
"Ya nggak tahu lah."
Lavia tersenyum. "Ternyata, dia anaknya Dirgantara dan Paulina."
Mendengar dua nama itu, raut wajah Mario langsung berubah dan menatap lekat pepada Kevin.