ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Medan tak Terlihat
Mobil hitam itu meluncur pelan melewati gerbang besi besar. Di dalam mobil, Claire menekan hidungnya ke jendela, matanya berbinar penuh semangat. Di sampingnya, Elina duduk dalam diam, menenangkan degup jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Gaun lembut berwarna biru safir yang dipilihkan Adrian membingkai tubuhnya anggun. Riasan tipis mempertegas fitur wajahnya, namun tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang bergelora di dada.
Adrian meliriknya sekilas dari kursi kemudi. "Semua akan baik-baik saja!" ucapnya singkat, namun cukup membuat Elina terdiam beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya tersenyum kecil.
Begitu mereka tiba di halaman depan, dua pelayan segera membukakan pintu mobil. Claire melompat turun dengan semangat, langsung menggenggam tangan Elina. "Ayo, Miss Elina! Kita masuk!" serunya, tak menyadari betapa tegangnya udara yang menyambut mereka.
Pintu utama terbuka perlahan.
Nenek Adrian berdiri di ambang, mengenakan gaun malam berwarna gelap dan kalung mutiara antik warisan leluhur yang tampak dingin di leher kurusnya. Tatapannya langsung tertuju pada Elina, menelusuri dari kepala hingga kaki, bukan dengan kekaguman... tapi penilaian. Kaku. Penuh pertimbangan.
"Selamat malam, Nenek," sapa Adrian, mengecup pipi wanita tua itu.
"Selamat malam, Adrian." Lalu matanya beralih ke Elina. "Kau tamu yang cukup... tepat waktu.”
Elina membungkuk sopan. "Terima kasih telah mengundang saya, Nyonya Leonhart."
Nenek Adrian tidak langsung menjawab. Hanya membalikkan badan dan melangkah masuk, seolah mengharapkan mereka mengikutinya tanpa perlu basa-basi.
Namun suasana yang kaku itu sejenak mencair ketika Claire, dengan polosnya, merangkul lengan Elina dan berkata lantang, "Miss Elina itu guru terbaikku! Dia juga pintar bikin roti lapis!"
Senyum muncul sekilas di wajah keriput nenek Adrian. Sekilas, namun cukup untuk menunjukkan bahwa hatinya tidak sepenuhnya tertutup. "Begitu ya?" gumamnya, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Tapi sebelum Elina sempat merasa sedikit lega, matanya menangkap pemandangan di ruang tengah.
Keluarga Hartford.
Tiga pasang mata memandang mereka dari sofa panjang. Seorang wanita muda yang begitu cantik dalam definisi publik: rambut pirang bergelombang, gaun mewah pas tubuh, senyum yang terlalu lebar, nyaris seperti dipoles untuk kamera. Di sampingnya, duduk pasangan suami istri Hartford yang sama-sama terlihat seperti poster kehidupan elite: tenang, terkendali, dan berpengaruh.
Senyum di wajah wanita muda itu melebar ketika melihat Adrian. "Adrian," sapanya manis, berdiri dengan anggun dan melangkah mendekat. "Sudah lama sekali. Aku sangat senang akhirnya bisa bertemu lagi, dalam suasana yang lebih... kekeluargaan."
Tatapan Elina langsung tertuju pada Adrian. Pria itu hanya menjawab dengan senyum tipis, lalu menepuk pelan bahu Claire. "Ayo, duduk, sayang."
Nenek Adrian melangkah ke tengah ruangan, membuka percakapan dengan formalitas yang rapi, memperkenalkan keluarga Hartford sebagai "teman lama keluarga" yang diundang secara khusus untuk makan malam.
Suasana menjadi medan tak terlihat dari tatapan, bahasa tubuh, dan senyum yang menyimpan lebih banyak niat daripada kata-kata.
Dan Elina berdiri di antara semuanya. Seorang wanita asing di rumah yang tak ia kenal, mengenakan gaun pemberian seorang pria yang hanya ia kenal lewat luka-luka kecil yang tak pernah mereka bicarakan.
Namun, saat tangan kecil Claire menggenggam jemarinya erat, Elina tahu satu hal pasti:
Malam ini bukan tentang siapa yang paling sempurna.
Tapi tentang siapa yang paling jujur dalam mencintai.
...****************...
Makan malam baru saja dimulai. Deretan hidangan mewah tertata anggun di meja panjang yang berlapis taplak putih bersulam benang emas. Para pelayan bergerak nyaris tanpa suara, seperti bayangan yang tahu diri. Percakapan mengalir dalam sopan santun yang dingin dan penuh basa-basi.
Elina duduk di sisi Claire, yang sibuk dengan potongan kecil ayam di piringnya. Di seberangnya duduk wanita muda dari keluarga Hartford, yang belakangan Elina dengar dipanggil "Anya".
Sejak awal, Anya kerap melemparkan senyum yang terlalu manis ke arah Adrian, dan pandangan mengukur ke arah Elina. Seolah Elina hanyalah debu yang menempel pada sepatu mahalnya.
"Miss Elina, bukan?" sapa Anya, akhirnya membuka percakapan, meskipun dari nada suaranya terdengar jelas, sapaan itu bukan untuk menjalin keakraban, melainkan memulai permainan.
Elina mengangguk, tetap menjaga senyum sopan. "Iya, saya Elina."
Anya mencondongkan tubuh sedikit, matanya menelusuri Elina seolah sedang membaca label harga. "Guru TK, ya? Pekerjaan yang... mulia sekali. Apalagi, sekarang banyak anak-anak yang sulit diatur." Tatapan cepat terlempar ke arah Claire, lalu kembali ke Elina. "Pasti cukup menantang, ya, menghadapi anak orang lain setiap hari?"
Elina tahu tusukan halus itu. Tapi ia hanya tersenyum tenang, tanpa sedikit pun berubah ekspresi. "Anak-anak hanya sulit dimengerti jika kita tidak benar-benar ingin mengerti mereka. Tapi mereka jauh lebih tulus dari kebanyakan orang dewasa."
Claire tertawa kecil tanpa tahu arti percakapan itu. Tapi Adrian menoleh pelan, memperhatikan Elina sekilas.
Anya membalas senyum Elina, namun sorot matanya mulai kehilangan kilaunya. "Saya pribadi belum terlalu cocok dengan anak-anak. Mereka terlalu... ribut. Dan lengket." Ia mengibaskan jemari, seolah menyeka sesuatu yang kotor dari tangannya.
Elina hanya menunduk sebentar, mengusap kepala Claire lembut. "Mungkin karena mereka terlalu jujur. Anak-anak tidak tahu cara berpura-pura."
Jawaban itu membungkam Anya untuk sesaat.
Di sisi meja, nenek Adrian meneguk tehnya perlahan, memperhatikan pertukaran kata itu dalam diam. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, bukan karena keberpihakan, tapi karena ia tahu siapa yang sedang menguji, dan siapa yang tanpa sadar sedang menunjukkan nilainya.
...****************...
Malam semakin larut ketika jamuan makan itu selesai. Para tamu sudah meninggalkan rumah keluarga Leonhart, dan yang tersisa hanyalah secangkir teh hangat di ruang duduk, dan percakapan ringan untuk menutup malam yang melelahkan.
Claire sudah tertidur di pangkuan Elina, yang dengan lembut menepuk-nepuk punggung gadis kecil itu sambil membisikkan lagu-lagu pelan. Elina menyadari waktunya untuk pamit, dan dengan anggukan sopan pada Elizabeth Leonhart, ia perlahan bangkit dan membawa Claire ke kamarnya seperti yang telah disiapkan.
Adrian melihat itu sebagai momen yang pas. Ia memandang neneknya yang duduk tegak dengan secangkir teh melati di tangannya, wajahnya tenang, namun tatapan matanya masih menyimpan tanda tanya.
"Nenek..." Adrian akhirnya memulai, suaranya rendah namun mantap. "Bisa kita bicara sebentar?"
Lady Leonhart meletakkan cangkir tehnya perlahan. Ia mengangguk tanpa berkata apa-apa dan berdiri, lalu berjalan menuju ruang kerja kecil di sebelah perpustakaan.
Ruangan itu hangat, dindingnya dipenuhi rak buku tua dan wewangian kayu cendana. Neneknya duduk di kursi tua berlapis beludru biru, dan Adrian mengambil kursi di seberangnya.
"Jadi?" tanya sang nenek, langsung pada intinya.
Adrian menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu Nenek tidak sepenuhnya menyukai kehadiran Elina. Tapi aku juga tahu... Nenek mencintai Claire lebih dari apa pun."
Elizabeth Leonhart diam.
"Anneliese bukan ibu yang Claire butuhkan," lanjut Adrian. "Dia bisa berpura-pura sebaik mungkin, tapi anak kecil tak pernah bisa dibohongi. Dan aku... aku tak bisa berpura-pura mencintai seseorang hanya karena sesuai selera keluarga."
"Jadi kau memilih wanita itu?" suara sang nenek terdengar datar.
"Aku memilih seseorang yang membuat Claire tertawa tanpa harus berpura-pura. Yang memeluknya seperti ibu, bahkan sebelum ada ikatan apa pun," jawab Adrian. "Aku tahu dia bukan dari keluarga besar. Aku tahu masa lalunya rumit. Tapi dia jujur, dan dia tulus. Itu lebih dari cukup."
Elizabeth Leonhart menatap cucunya lama, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela tempat bulan menggantung pucat di langit malam.
"Jika ini tentang Claire..." katanya akhirnya, pelan. "Aku mengerti. Tapi kau harus tahu, Adrian, hidup di keluarga ini tak pernah mudah. Dan mencintai seseorang... apalagi wanita sepertinya, akan membuat jalanmu tidak pernah tenang."
Adrian menatap lurus pada neneknya. "Aku tidak butuh jalan yang tenang, Nek. Aku hanya ingin rumah yang hangat."
Elizabeth Leonhart tidak menjawab. Tapi dalam keremangan lampu, sudut bibirnya tertarik sedikit, bukan senyum, tapi mungkin semacam pengakuan diam-diam bahwa cucunya sudah cukup dewasa untuk memilih jalannya sendiri.
Setelah hening panjang, ia hanya berkata, "Pastikan kau tidak membuat gadis itu menangis, Adrian."
Adrian tersenyum tipis. "Tidak akan."
Malam itu, tanpa tepuk tangan atau restu resmi, sesuatu telah berubah di antara mereka, sebuah kesepahaman yang tak diucapkan, namun terasa seperti awal dari restu yang pelan-pelan tumbuh.