Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Our Life
Mentari menyingsing, cahayanya kembali menyinari bumi serta seisinya.
Pagi ini, ketika seluruh penghuni sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, maka Tyas pula sibuk dengan urusannya yang begitu penting. Sebab Hera anaknya telah semalaman penuh tak pulang ke rumahnya, jadi mau tak mau ia kembali menginjakkan kaki di halaman luas sebuah sekolah swasta.
Cahya Pelita, Tyas sadar anaknya kini tengah menjadi bulan-bulanan massa di sekolah ini. Namun ia tak berniat untuk memindahkan sang putri ke sekolah lain.
Masalah dana? Tentu tidak, Tyas bukanlah seorang wanita yang akan sepenuhnya bergantung pada keuangan laki-laki.
"Haah"
...•••...
Lepaskanlah masalah Tyas dengan anak semata wayangnya itu. Karena kini, di bawah sinar sang surya. Seorang pria paruh baya berdiri di atas podium, pria itu menggunakan jas mahalnya. Meski begitu wajahnya tetap nampak ramah, tidak ada raut arogan di sana, jauh berbeda dengan Hera yang dahulu sempat menjadi anak orang terkaya di negaranya.
Kepala sekolah memperkenalkan pria itu. Namanya Bapak Husein Hamzah Nugroho, yang katanya akan menjadi donatur sekolah Cahya Pelita menggantikan posisi Jayandika Company.
Renata menyipitkan matanya, zamrud hijau serupa dengannya tak sengaja beradu pandang. Sekilas, namun terdapat rasa keterkejutan dalam tatapannya.
Entahlah, Renata tak mengerti mengenai kode-kode semacam itu. Toh, lagipula apa urusannya dengannya?
...•••...
Upacara telah usai beberapa jam lalu, dan sekarang hal yang ditunggu-tunggu telah tiba. Yakni masa istirahat. Renata hampir saja terbuai akan celoteh Pak Rahmat selaku guru pelajaran sejarah.
Untung saja Ashel berbaik hati dengan repot-repot pergi ke kelasnya, kemudian membangunkan Renata yang terlelap.
Kali ini keduanya sedang berjalan menuju kantin. Sepanjang perjalanan Renata merasa Ashel bersikap aneh.
Contohnya kini, ketika Maleo ingin berbicara barang sebentar bersamanya. Gadis itu justru semakin tertantang untuk melarangnya menemui Maleo.
"Lo kenapa sih, Shel?" Ujar Maleo frustasi, kantung mata pemuda itu nampak lebih tebal dibanding terakhir kali ia melihatnya.
Ashel segera memasang kuda-kuda, ia menutupi tubuh kecil sahabatnya.
"Gak papa, cuma gue ga bakal biarin bedebah kayak lo berakhir romantis sama sahabat gue." Sahut Ashel penuh penekanan.
Membuat muka Maleo semakin terlihat menyedihkan, terlebih mata sayu nya.
"Shel," Renata memanggil sang sahabat.
"Gue ga bakal biarin, Nat,"
"Engga kali ini." Sambungnya menyiratkan sebuah rahasia yang mendalam.
Meskipun hatinya tergerak untuk menanyakan, ia tetap bungkam seakan sama sekali tidak mempunyai hasrat penasaran.
"Maleo, kamu mending pergi, kita omongin nanti." Tukas Renata, yang langsung ditanggapi anggukan kepala dari sang empu.
Merasa perlu bertanya lebih lanjut, ketika Maleo telah sepenuhnya pergi, Renata memutuskan untuk bertanya namun Ashel hanya menjawabnya dengan gelengan kepala seolah menghindar darinya.
"Shel,"
Belum sempat si empu membalas, seseorang terlebih dahulu memanggilnya nama Renata. Membuat keduanya berbalik.
"Siapa dia?" Tanya Ashel penasaran.
Renata sedikit gugup. Sebab yang tengah berjalan kini adalah Tyas, mantan majikanya dahulu sekaligus ibu Hera. Dan Renata yakin sekali bahwa ia akan bertanya sesuatu mengenai Hera.
Ashel yang merasa harus pergi, ia hanya menepuk bahu Renata kemudian berlalu membiarkan dua perempuan berbeda usia berbicara sejenak.
...•••...
Tyas tersenyum lebar-lebar, secercah harapan menenangkan kembali menangkupi hati. Saking senangnya menemuka Renata, hingga ia ingin sekali membagikan lipstik Dior kepada gelandangan secara gratis.
"Renata," panggilnya pelan tapi pasti.
Renata tersentak, ia menoleh ke kanan pula kiri. Terlihat kelimpungan sebab baru menyadari Ashel telah meninggalkannya.
Renata tertunduk gugup. Ia memainkan jari-jarinya, lorong-lorong terasa begitu sepi seakan tiada murid yang berada di sini. Mungkin juga akibat lorong ini mempunyai gosip angker? Entahlah.
"Saya cariin kamu daritadi." Ucap Tyas antusias. Wanita berumur akhir empat puluh itu memandang penuh harapan remaja putri dihadapannya.
Merasakan hawa aneh, Tyas kembali membuka suara.
"Oh ya, kamu tau keberadaan Hera?"
Deg.
Satu kata yang membuat Renata enggan mengenakan alat bantu dengar, atau berpura-pura meninggalkan alat bantu dengarnya.
Sejujurnya, ia tahu keberadaan Hera. Meski sahabatnya itu berada di apartemen-nya, Hera menitipkan amanah agar jangan mengatakan keberadaannya pada sang ibu.
Sedangkan Renata tidak bisa berbohong. Tapi apa boleh buat? Mau tak mau ia harus mengarang alasan.
"Saya...E-engak tahu tante." Suaranya bergetar, segera Tyas menaruh curiga.
"Saya tahu kamu bohong."
Sebuah kalimat yang membuat kepanikan kembali merajai Renata.
Harus bagaimana ia? Bagaimana kalau ia membocorkan rahasia ini Hera akan marah padanya dan kembali memusuhinya?
"Renata, angkat kepalamu, tegakkan badanmu, tatap mata saya ketika berbicara." Sebuah perintah yang terdengar dingin di telinga Renata.
Namun remaja itu melaksanakan apa yang Tyas titahkan.
"Sekarang saya tanya kepadamu," ia berkata dengan senyum manis yang mengembang. "Di mana anak saya, Hera?"
Lagi, dan lagi. Lidahnya kelu untuk hanya sekedar menyuarakan sepatah kata.
Namun apapun itu. Renata harus menghadapi, bukan malah justru menghindari.
"Tante, saya tahu di mana Hera," setelah pergulatan panjang dalam benaknya, sebuah kalimat bisa terucap.
"Tapi saya tidak mau membocorkan nya kepada tante, Hera sendiri yang meminta." Tukasnya penuh keyakinan.
Ah... Rasanya lega. Dan entah mengapa ia merasa yang tadi itu bukanlah dirinya.
Atau... memang ia telah berkembang? Entahlah.
Renata menunggu tanggapan dengan harap-harap cemas. Ia menunduk kembali seraya memejamkan mata. Namun ketika ia mengintip sedikit, lengkungan dibibir bergincu tipis itu menyambutnya hangat.
Seketika tubuh Renata menjadi rileks kembali.
"Bagaimana keadaannya? Apakah makanannya tercukupi?" Tanya Tyas bertubi-tubi.
Yang mana, Renata sama sekali tak dapat membayangkan mengenai jawaban penuh perhatian Tyas secara tiba-tiba. Namun hatinya ikut menghangat.
"Iya, Tante. Anak tante aman." Balas Renata.
Ibu satu anak itu menghela lega. Ia kemudian memandang Renata penuh kasih-- Pandangan yang selama ini jarang Tyas tunjukkan.
"Terima kasih. Kalau begitu saya pergi dulu, kamu baik-baik di sini." Tyas menepuk pundak Renata, seakan menyalurkan kekuatan.
Renata mengangguk.
"Saya juga berterimakasih," Renata membuka suara.
"Untuk?" Tyas merasakan hal janggal.
"Karena apartemen yang saya dapatkan dari tante, juga uang bulanannya."
Tyas mengedipkan matanya. Ia termangu sejenak, merasa terlalu bodoh dengan menganggap anak seusia Renata tak akan mengerti apa-apa.
"Sama-sama, Renata," ucapnya tulus, setulus senyuman manis Dewi Fortuna.
"Kalau begitu saya pergi dulu."
Renata mengangguk, lantas mempersilahkan Tyas berlalu meninggalkannya.
"Hati-hati di jalan, Tante!"
Tyas mengangguk, ia tersenyum dalam diam. Ia telah lega mengenai anaknya, dan saat untuk kembali kehidupan yang sesungguhnya.
Hiraukan kepergian Tyas, Renata kembali tersadar bahwa perutnya juga perlu diisi. Maka kini ia merasa harus mencari Ashel, sebab kemarin ia menitipkan dua puluh ribu kepadanya. Agar dirinya sendiri tidak mengambil uang yang seharusnya ia pergunakan untuk makan di kantin esok hari.
Belum sempat melangkah, suara bariton seseorang menyapa pendengarannya. Memaksanya untuk berbalik.
"Renata, ya?"
"Iya."
...•••...
5 eps lagi tamat, 1 epilog. Terima kasih yang telah membaca hingga hari ini, terima kasih yang belum bertahan. Seluruh pekerjaan duniawi semoga berjalan lancar.
Saya pergi ❤️
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...