Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Keesokan harinya, Eleanor terbangun dengan kepala yang sangat pening. Ia memijit pelipisnya pelan, helaan napas panjang terdengar beberapa kali dari bibirnya.
"Sial, kenapa ingatan Eleanor harus muncul doi saat aku mabuk sih." Protesnya.
Ia kembali ingat saat kemarin minum bersama Sergey, di saat itu juga ia mendapat memori baru dari Eleanor hingga akhirnya ia pun mengungkapkan perasaan yang selama ini Eleanor asli pendam.
Eleanor memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi sisa-sisa mabuk semalam.
Ia mengingat semuanya dengan jelas, bagaimana memori Eleanor yang asli kembali muncul, bagaimana rasa sakit dan penyesalan dari kehidupan masa lalunya begitu nyata seolah-olah ia benar-benar mengalaminya sendiri.
Dan yang lebih parah, ia ingat bagaimana ia mengungkapkan perasaan yang seharusnya tetap terkubur dalam-dalam.
"Ck, terserah deh. Lagi pula semua sudah terjadi." Gumamnya dan memilih beranjak ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandinya.
***
Satu jam kemudian, Eleanor sudah berada di kantor ayahnya. Setelah rapat panjang yang dipenuhi diskusi sengit kemarin, kini ia melihat ayahnya sedang mengeluarkan dua proposal yang telah pria itu siapkan.
Ia meletakkan dua map tebal di atas meja, satu di depan Eleanor dan satu lagi di depan Noah.
"Seperti yang kalian tahu," Edmund memulai, "perusahaan kita memiliki beberapa hotel di berbagai lokasi. Namun, ada dua properti yang tertinggal jauh dibandingkan dengan yang lain. Keduanya memiliki tingkat okupansi paling rendah dan hampir tidak memberikan keuntungan. Aku ingin melihat siapa di antara kalian yang bisa membalikkan keadaan."
Eleanor membuka mapnya dan mulai membaca dengan seksama. Hotel yang diberikan padanya adalah Hotel Amethyst, sebuah properti bintang lima yang terletak di pinggiran pantai.
Hotel itu dulunya cukup bergengsi, tetapi sekarang mulai kehilangan daya tariknya karena munculnya pesaing baru dengan konsep yang lebih modern.
Sementara itu, Noah mendapat tugas mengembangkan Hotel Azure, sebuah resor di daerah pinggiran kota yang kurang dikenal.
Hotel ini memiliki lokasi strategis tetapi fasilitasnya tertinggal jauh dibandingkan dengan hotel-hotel resor lainnya di wilayah tersebut.
"Tugas kalian sederhana," lanjut Edmund, "dalam waktu enam bulan, aku ingin melihat perubahan nyata. Siapa yang bisa meningkatkan profit dan okupansi hotel mereka lebih tinggi akan mendapatkan wewenang lebih besar dalam perusahaan ini. Tapi ingat, kalian akan menghadapi tantangan besar. Ini bukan hanya soal renovasi atau promosi, tapi bagaimana kalian bisa membuat hotel-hotel ini relevan kembali di pasar yang kompetitif."
Eleanor dan Noah saling berpandangan sejenak, menyadari bahwa ini bukan sekadar proyek biasa, ini adalah ujian dari Edmund untuk melihat siapa yang lebih kompeten dalam bisnis.
"Kalian siap?" Edmund menatap mereka tajam.
"Tentu," jawab Eleanor mantap.
"Aku tidak akan kalah," Noah menyeringai.
Edmund mengangguk puas, "Bagus, aku harap kalian tidak mengecewakanku."
Eleanor melihat mapnya, ia membaca semua isinya dengan seksama. Sedangkan Noah, ia langsung beranjak pergi setelah pembicaraan mereka usai.
Saat itulah suara Edmund kembali terdengar, ia meminta Asher datang ke ruangannya dan mengunci pintu ruangan tersebut.
"Lea, ada yang ingin Ayah bicarakan berdua denganmu." Ujar Edmund tak terbantahkan.
Eleanor yang sedang membaca langsung mendongak. "Apa yang ingin Ayah bicarakan?"
Edmund menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi serius. Tatapannya tajam, penuh makna yang sulit ditebak.
"Ada sesuatu yang harus kamu lakukan untukku, Lea," katanya, suaranya dalam dan penuh tekanan.
Eleanor meletakkan mapnya di atas meja. "Sesuatu seperti apa?"
Edmund mengetuk meja dengan jarinya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku ingin kamu mengawasi Noah."
Dahi Eleanor berkerut. "Mengawasi Noah? maksud Ayah?"
"Aku ingin tahu setiap gerak-geriknya, dengan siapa dia bertemu, dan apa yang dia rencanakan."
Eleanor menghela napas. "Ayah, aku bukan mata-mata. Lagipula, Noah selalu bekerja dengan baik. Kenapa tiba-tiba Ayah meragukannya?"
Edmund menatapnya tajam. "Karena aku tidak suka kejutan, dan Noah akhir-akhir ini terlalu banyak bergerak sendiri. Aku ingin memastikan dia tetap dalam kendaliku."
Eleanor terdiam. Ia mengenal Noah cukup baik untuk tahu bahwa pria itu bukan tipe yang suka bermain di belakang. Tapi ia juga tahu, membantah Edmund bukanlah pilihan bijak.
"Baik," jawabnya akhirnya. "Aku akan melihat apa yang bisa kulakukan."
Edmund tersenyum tipis. "Bagus. Jangan sampai dia tahu kamu mengawasinya."
Eleanor hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu, ayahnya tidak mungkin memberikan tugas seperti ini jika ia belum menemukan bukti kuat tentang asumsinya.
***
Aria berdiri di tengah set pemotretan, kilatan lampu kamera berkedip-kedip, menerangi wajahnya yang dipulas sempurna oleh riasan.
Gaun merah yang membalut tubuhnya bergerak lembut saat ia sedikit mengubah pose. Tatapannya tajam, penuh percaya diri, seperti seorang ratu yang menguasai panggungnya.
Namun, di tengah instruksi fotografer dan suara asisten yang sibuk mengatur properti, pikirannya melayang. Sosok itu muncul di benaknya, seperti bayangan yang menolak lenyap. Sergey.
Sekian lama ia mencoba mengabaikan nama itu, menguburnya di sudut terdalam ingatannya. Tapi kini, di saat ia berdiri di bawah sorotan lampu, wajah pria itu hadir kembali dengan jelas tatapan dinginnya.
Jantung Aria berdegup sedikit lebih cepat. Jemarinya yang sedari tadi anggun menyentuh lehernya kini mengepal di sisi tubuh.
Ia ingat alasan mengapa ia meninggalkan Sergey, namun lebih dari itu, ia ingat alasan mengapa pria itu kini harus kembali mengusiknya.
Sebuah kilatan kamera membawanya kembali ke realitas. Ia menghela napas, menenangkan ekspresinya. Saat fotografer memintanya tersenyum, Aria memberikannya senyum yang memesona, sekaligus berbahaya.
Sesi pemotretan akhirnya selesai. Begitu fotografer mengucapkan kata "cukup", Aria menghela napas pelan.
Ia berjalan ke belakang panggung, melepas sepatu hak tingginya dengan satu gerakan cepat. Asistennya langsung sigap menawarkan minuman dingin, tapi Aria hanya mengambil rokok dari tasnya.
Ia melangkah keluar studio, mencari udara segar. Begitu ujung rokok menyala, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan asapnya mengisi paru-parunya sebelum perlahan diembuskan.
Pandangannya kosong, pikirannya masih berkutat pada satu nama yakni Sergey.
Dari balik pintu, suara langkah mendekat. Marcus, manajernya, menyusul keluar sambil melirik rokok di tangannya.
"Aku pikir kamu sudah berhenti," ujarnya santai.
Aria mendengus kecil. "Kukira juga begitu."
Marcus menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Ada yang mengganggumu?"
Aria tidak langsung menjawab. Ia hanya menghisap rokoknya lagi sebelum menoleh ke arah Marcus. "Aku butuh informasi tentang seseorang."
Marcus mengangkat alisnya. "Siapa?"
"Eleanor."
Marcus terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Sudah lama aku tidak mendengar nama itu dari mulutmu. Jadi, kamu akhirnya memutuskan untuk mencari tahu tentang istri dari mantanmu?"
Aria tersenyum miring, tapi ada kegelapan di balik matanya. "Sudah waktunya, bukan?"
Marcus menatapnya dengan ekspresi berpikir. "Kamu tahu ini tidak akan mudah, kan? Eleanor bukan orang sembarangan."
"Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang mudah, Marcus." Aria menjentikkan abu rokoknya, matanya menatap jauh ke arah depan. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu dari wanita itu."
Marcus menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. "Baiklah, aku akan lihat apa yang bisa kudapatkan. Tapi Aria... pastikan kamu benar-benar siap untuk mengambil konsekuensinya."
Aria hanya tersenyum kecil sebelum kembali mengisap rokoknya. "Aku sudah berjalan cukup jauh, Marcus. Aku akan menghancurkan wanita itu di depan mata Sergey agar dia kembali mau padaku."
thor 😄😄😄😄😄😄