Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BENCANA
Tidak ada suara azan berkumandang. Suasana pagi ini terasa berbeda. Suasana di desa berubah mencekam. Tepat saat semuanya masih terlelap dalam tidurnya, subuh tadi suara gemuruh tanah yang longsor dari bukit sekitar mengejutkan semua orang. Meski bencana tidak separah yang dikhawatirkan, dampaknya tetap terasa. Sebagian besar rumah, termasuk tempat Btari dan timnya menginap, mengalami kerusakan berat hingga memaksa mereka mengungsi bersama warga.
Di pengungsian yang didirikan darurat di lapangan desa, Btari tampak berusaha menyesuaikan diri. Kakinya yang masih terasa nyeri membuatnya sulit bergerak bebas, tetapi ia tetap berusaha membantu apa yang bisa ia lakukan. Alexa, dengan setia berada di sisinya, memastikan Btari tidak memaksakan diri.
"Kamu nggak usah terlalu memikirkan yang lain, Tar. Fokus aja sama kondisi kamu dulu," ujar Alexa, menyerahkan sebotol air kepada Btari.
Btari mengangguk pelan sambil menerima botol itu. "Aku nggak enak, Lex. Rasanya semua orang sibuk, dan aku malah nggak bisa banyak bantu."
Alexa tersenyum kecil, menepuk pelan bahu Btari. "Kamu nggak perlu merasa bersalah. Kehadiran kamu di sini aja udah cukup. Yang penting kamu istirahat, jangan sampai kondisimu makin buruk."
Btari hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan rasa nyeri di kakinya. Suasana pengungsian terasa penuh dengan aktivitas. Warga sibuk menyelamatkan barang-barang yang bisa diselamatkan, sementara tim relawan mulai mendistribusikan makanan dan kebutuhan darurat.
Meski situasi terasa berat, Btari tetap berusaha tegar. Dalam hati, ia berdoa agar kondisi segera membaik dan semua orang, termasuk dirinya dan tim, bisa kembali ke kehidupan normal. Ini kali pertama Btari mengalami hal ini. Rasa trauma masih begitu terasa.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Barra kemarin. Seharusnya ia lebih waspada. Kini selain ia menyesal dengan sikap acuhnya pada kecemasan Barra, ia juga sedikit kesal karena ia hanya bisa duduk di pengungsian. Seharusnya ia juga turut membantu warga desa. Namun jangankan membantu, berdiri saja rasanya ia tidak kuat. Kakinya terasa sangat nyeri. Tapi ia tidak mau membuat rekan timnya khawatir.
"Kakimu gimana, Tar?" Tanya Alvian menatap kakinya yang tertutup rok celana Btari.
"Aman, Mas. Kalian bisa bantu-bantu yang lain. Maaf ya, saya nggak bisa bantu."
"Udahlah, Tar. Kamu diam aja disini. Nggak usah banyak gerak dulu." Ariana ikut bersuara.
Alexa merangkulnya. menepuk-nepuk bahunya seolah ingin menenangkan Btari.
Sementara itu Raka baru tiba di pengungsian, pandangannya langsung mencari sosok Btari. Begitu melihat gadis itu terduduk lemah bersama Alexa, wajahnya langsung berubah cemas. Ia bergegas mendekat, membawa kotak pertolongan pertama yang selalu dibawanya.
"Btari," panggil Raka dengan nada yang terdengar tenang, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. "Bagaimana kondisi kakimu?"
Btari menoleh. Wajah pucatnya tersenyum tipis. "Aman, Dok. Saya baik-baik saja." Jawabnya.
Namun Raka melihat ada yang tidak biasa dari wajah Btari. Ia kemudian berjongkok. "Maaf, saya cek saja, ya." Belum sempat Btari mengiyakan, lelaki itu sedikit menyingkap celananya. Kakinya bengkak. "Kenapa kamu tidak bilang kalau nyerinya makin parah?" Suara Raka begitu cemas.
Alexa dan yang lainnya ikut melihat kondisi kaki Btari.
Btari tersenyum tipis. "Saya baik-baik saja. Nggak perlu khawatir."
Namun, Alexa dan beberapa anggota tim Btari yang berada di sana bisa melihat ekspresi Raka dengan jelas. Mata lelaki itu memancarkan kepanikan yang tidak ia ungkapkan lewat kata-kata. Bahkan tangannya sedikit gemetar saat ia mulai memeriksa perban di kaki Btari.
"Ini nggak bisa dibiarkan, Btari," ucap Raka dengan nada serius setelah melihat kondisi lukanya yang membengkak. "Kamu harus segera diobati lagi. Kalau nggak, bisa infeksi."
Btari mencoba menolak dengan sopan. "Dokter ini tidak apa-apa, saya juga nggak mau merepotkan. Banyak warga yang lebih butuh penanganan cepat daripada saya."
"Ini bukan soal siapa yang lebih butuh," potong Raka cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu nggak kenapa-kenapa."
Btari diam. Ia tidak nyaman diperlakukan berlebihan seperti ini.
Alexa yang sedari tadi memperhatikan tak bisa menahan diri untuk menimpali. "Mas Raka, kamu lebih kelihatan panik daripada Btari sendiri, loh."
Ucapan Alexa membuat Raka sedikit tersentak. Ia berdeham pelan, mencoba menenangkan diri. "Saya cuma menjalankan tugas, Alexa. Semua pasien sama pentingnya."
Namun, tatapan penuh perhatian yang ia berikan kepada Btari jelas berbeda, membuat anggota tim Btari saling bertukar pandang dengan senyum kecil yang tak terucapkan. Sementara itu, Btari sendiri tampak tidak menyadari bagaimana Raka sebenarnya begitu memikirkan dirinya.
"Baik, obati saja dia, Pak Dokter. Maafkan tim saya. Dia memang keras kepala." Ucap Alvian sembari tersenyum tipis. Mengabaikan tatapan tajam Btari padanya.
Akhirnya Btari pasrah. Kakinya memang terasa nyeri sedari tadi. Namun ia tidak ingin membuat rekan-rekannya khawatir.
"Lain kali kalau sakit, bilang. Jangan kebanyakan diam." Kata Alexa. Btari mengangguk sementara yang lainnya tersenyum tipis.
Sementara itu, Barra meletakkan ponselnya dengan kesal setelah beberapa kali mencoba menelepon Btari tanpa hasil. Wajahnya tampak tegang, dan pikirannya dipenuhi bayangan buruk tentang kondisi gadis itu.
“Kenapa dia nggak bisa dihubungi?” gumam Barra sambil meremas rambutnya. Kepalanya terasa berdenyut, memikirkan situasi yang terjadi.
Pernikahan mereka mungkin hanya sebatas kontrak, tetapi Barra tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Btari adalah tanggung jawabnya saat ini. Apalagi dengan berita bencana di lokasi tempat Btari tinggal, kekhawatirannya semakin memuncak.
"Gimana, Bar? Sudah ada kabar dari Btari?" Mamanya bahkan sudah berada di rumahnya sejak jam 7 pagi tadi.
"Telepon lagi, Kak. Mungkin kali ini bisa dihubungi." Azalea-adiknya ikut bersuara.
Barra mencoba lagi. Namun tetap nihil. Bayangan wajah Btari muncul. Ini hari keempat perempuan itu pergi. Bukannya mendapat kabar baik, Barra justru dihadapkan dengan kabar yang sangat buruk.
"Nggak bisa." Kata Barra. Wajahnya masih setegang tadi.
Ia lalu mengirimi pesan kepada Dika dan Ryan. Setelah memastikan urusan kantor baik-baik saja, ia langsung menatap dua perempuan beda generasi itu dengan serius.
"Barra akan kesana, Ma. Doain Barra terutama Tari, ya."
Indah mendekat. Ia memeluk Barra. Kekhawatiran anak lelaki itunya itu pasti sama besar khawatirnya dirinya terhadap kondisi Btari. Sebagai seorang ibu, ia hanya bisa mendoakan keselamatan anak-menantunya.
"Iya. Kamu hati-hati. Kabari Mama kalau nanti sudah sampai. Titip salam buat Btari, ya. Doa Mama selalu menyertai kalian."
Setelah itu, tanpa berpikir panjang, Barra mengemasi barang-barang penting dan memesan penerbangan tercepat ke wilayah tersebut. "Aku harus pastikan dia baik-baik saja," tekadnya dalam hati, meski ia tahu perjalanan ke daerah itu tidak akan mudah.
...****************...
Setelah berjam-jam perjalanan melelahkan, Barra akhirnya sampai di desa tempat Btari menginap. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat letih dan penuh kekhawatiran. Desa terpencil itu benar-benar sulit ditempuh. Jalanan rusak, ditambah sisa-sisa longsor yang menutupi sebagian akses, membuat perjalanannya terasa begitu panjang.
Saat turun dari kendaraan, Barra langsung mendekati salah satu warga yang ia lihat sedang membawa barang bantuan. "Maaf, Pak. Apa Anda tahu di mana pengungsian utama di desa ini?" tanyanya dengan nada sedikit mendesak.
Warga itu mengangguk, lalu menunjukkan arah ke sebuah lapangan yang tak jauh dari sana. Barra mengucapkan terima kasih sebelum melangkah cepat ke tempat yang ditunjukkan.
Sesampainya di pengungsian, Barra segera mencari info tentang Btari. Pandangannya menyapu kerumunan orang-orang yang tengah beristirahat. Hatinya semakin tak tenang ketika tidak menemukan Btari di antara mereka. Ia lalu bertanya kepada salah satu relawan.
“Maaf, apa Anda tahu seorang perempuan bernama Btari? Dia datang bersama tim fotografer dari kota.”
Relawan itu mengingat-ingat sebentar, lalu menunjuk ke arah tenda lain. “Oh, Mbak Btari ya? Sepertinya dia ada di sana bersama timnya. Tapi kondisinya agak kurang baik karena kakinya terluka.”
Mendengar itu, Barra merasakan dadanya semakin sesak. Ia langsung berjalan cepat menuju tenda yang dimaksud. Kekhawatirannya bertambah, membayangkan Btari yang terluka harus menghadapi situasi bencana seperti ini.
"Btari, kamu harus baik-baik saja," gumam Barra, mempercepat langkahnya menuju tenda tersebut.
Sulit rasanya Barra membayangkan gadis keras kepala itu merasa kesakitan. Kalau begini, terbersit di kepala Barra untuk tidak mengizinkan Btari pergi jauh lagi.
"Mbak Tari jatuh pingsan lagi. Ayo cepat!" Barra mendengar dua orang tim kesehatan berlari cepat menuju tenda pengungsian.
Dada Barra bergemuruh dengan begitu cepat. "Apalagi ini, Ya Allah?"
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri