Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
Viola sampai di rumah selepas seharian bekerja. Tubuhnya lelah, namun tatapannya jatuh pada cincin impian yang kini melingkar di jari manisnya. Senyum samar nyaris terukir, tapi langkahnya terhenti. Di depan rumah, ia mendapati buku-buku sekolah penerbangannya tersusun rapi dalam kardus, seakan siap dibuang.
Hatinya tercekat. Ia segera masuk ke dalam rumah.
“Ayah… Ibu…!” panggilnya sambil mencari.
Dari ruang tamu, suara adiknya terdengar.
“Ayah sama ibu di atas, kak, di kamar kakak,” ucap Vanilla Devanka, adik Viola, dengan nada seolah tanpa peduli.
Viola menatap adiknya, lalu melangkah tergesa naik ke atas. Namun sebelum sempat membuka pintu kamar, ayah dan ibunya justru turun menemuinya.
“Sudah pulang, Vio? Ayah dengar dari Om Bram, kamu sudah menerima lamaran Rafa.”
Viola menggertakkan gigi, matanya bergetar menahan amarah.
“Ayah… bukan itu yang seharusnya Ayah katakan padaku. Kenapa buku-buku penerbangku ada di luar?!”
“Itu harus dibuang, sayang,” ucap ibunya ringan, seolah kata-katanya tidak bermakna apa-apa. “Kamu sekarang calon istri CEO kaya raya di kota ini. Untuk apa sekolah-sekolah lagi? Tidak perlu.”
Deg…
Seakan ada palu menghantam dadanya.
“Lagipula, Kak,” sela Vanilla, dengan senyum tipis penuh kemenangan, “buku kakak itu sudah jadul. Ini loh yang versi barunya.” Ia memperlihatkan buku pramugari miliknya.
Barulah Viola menyadari selama ini, orang tuanya tidak pernah benar-benar mendukung mimpinya. Mereka sengaja mematikan jalannya agar sang adik bisa melangkah lebih lebar. Vanilla yang cemburu, Vanilla yang tidak mau kalah, Vanilla yang selalu dipilih.
" aku sudah terlalu jauh masuk kedalam aksara yang ku buat sendiri, menciptakan Harsa yang Amerta, seolah-olah itu nyata padahal hanya ilusi semata " ucap viola dengan nada bicara pelan, penuh dengan emosi yang ditahan,
" Ya kurang jelas apa lagi kak? Kerjaan kakak emang halusinasi menjadi pramugari terus " ketus vanila,
Dengan tangan bergetar, Viola meraih buku itu, lalu merobek halamannya satu per satu hingga serpihan kertas jatuh berhamburan.“Apa-apaan ini?! Aku diminta menikah, dipaksa meninggalkan semua mimpiku… sementara dia—” suaranya tercekat, matanya menatap adiknya penuh luka, “kalian justru mati-matian membuatnya jadi pramugari. HA!”
“Buuu! Buku aku baru, udah dirobek sama kakak!” rengek Vanilla, manja, sembari berlindung di pelukan ayah-ibunya.
“Hah…” Viola menarik napas panjang, suaranya parau. Kedua tangannya mengacak rambutnya sendiri.
Ibunya buru-buru mengelus Vanilla, lalu merapikan sobekan buku itu di meja makan. “Nanti Ibu belikan lagi, jangan nangis ya, Nak. Ayah juga akan bantu carikan bimbingan terbaik.”
" buana sungguh kejam salah jika berharap tenang didalam buana ini, buana hanyalah tempat keji, tak ada ruang yang tenang di buana untuk ku " ucap viola getar
" jaga ucapan mu viola, jangan membawa-bawa buana kedalam pertengkaran ini " ucap Burhan dengan nada suara tinggi, seolah siap menghantam viola,
Viola terdiam. Perannya di rumah ini seperti angin. Ada, namun tak terlihat. Kehadirannya tidak lebih dari bayangan yang bisa diabaikan kapan saja. Seakan keluarga ini hanya akan benar-benar damai jika ia menghilang.
Tanpa berkata lagi, Viola naik ke kamar. Ia mengeluarkan koper, memasukkan pakaian seadanya, meraih dompet, mengenakan jaket, lalu turun kembali dengan langkah gemetar.
“Aku akan pergi dari rumah ini! Dan tidak ada satupun dari kalian yang bisa menghentikan ku!” air mata terus mengalir di wajah nya, seakan ada palu yang terus-menerus memukul dada dan kepala nya,
“Viola! Kau mau ke mana? Di luar hujan deras, angin kencang. Tidak bisakah kau mengalah sekali saja?” teriak ayahnya, wajah penuh lelah.
Viola berhenti sejenak, menoleh. Wajahnya banjir air mata. “Sekali, Ayah?! Sekali?! Berkali-kali aku mengalah! Tapi apa balasannya? Impianku? Universitas ku? Pekerjaanku? Kamarku? Bahkan kasih sayang yang seharusnya kalian berikan dengan adil saja tidak pernah ku alami!” viola membentak burhan, emosi yang ada pada dirinya seperti larva yang baru keluar dari gunung,
" pergilah jika memang itu yang kau mau, jangan anggap kami keluarga mu, jika langkah kaki mu keluar dari rumah ini, maka tidak akan aku biarkan kau masuk kembali! " bentak Burhan, berpacu dengan deras nya hujan,
Bentakan itu bukan kemarahan semata melainkan jeritan jiwa. Namun suaranya tenggelam di antara dentum hujan yang kian menggila. Viola tetap melangkah keluar rumah dengan perasaan hancur. Ia tak punya tujuan, tak punya tempat singgah, bahkan tak tahu harus berteduh di mana.
Di halte bus yang dingin, Viola duduk, menggigil. Tatapannya jatuh pada cincin di jarinya. Cincin yang seharusnya simbol kebahagiaan kini terasa seperti belenggu. Namun, hanya satu jalan yang tersisa Rafa.
Dengan tangan gemetar, ia menelpon Rafa.
Beberapa menit kemudian, payung hitam terbuka di atas kepalanya. Rafa berdiri di sana, matanya penuh cemas." sedang hujan. Kenapa kau tidak berada di rumah?” ucapnya lembut, lalu mengusap rambut dan wajah Viola yang basah kuyup.
Sentuhan tangannya hangat, namun hati Viola sudah membeku. Ia menatap Rafa dengan mata sembab, lalu berbisik lirih, nyaris seperti rintihan terakhir “Rafa… nikahi aku besok.”
Deg.
Rafa tertegun. Kalimat itu terdengar lebih seperti permintaan seorang tawanan yang ingin bebas, bukan seorang wanita yang merajut mimpi pernikahan indah.
" kau sedang dalam masalah? " Rafa tidak bisa percaya begitu saja karena baginya ini begitu terburu-buru, ia tahu saat ini keadaan viola tidak stabil,
Viola menunduk, suaranya pecah.“Aku sudah kehilangan segalanya… Mimpiku, rumahku, bahkan diriku sendiri… Aku hanya punya kau. Aku tidak peduli lagi dengan pesta indah, gaun putih, atau mimpi yang dulu kubayangkan. Nikahi aku, Rafa… sebelum aku benar-benar hilang.”
Air matanya jatuh bertubi-tubi.
" Kenapa kau diam saja Rafa? apakah kau tidak mencintai ku lagi? "
" Viola, aku akan tetap mencintai mu sama seperti pertama kalinya saat aku mengatakan, aku mencintai mu "
' Ini adalah usaha terakhir ku, harapan terakhir ku, orang kepercayaan terakhir ku, dan mungkin akan menjadi cinta terakhir ku juga, semoga kali ini takdir bersedia memberikan sedikit saja Harsa kepada ku ' batin viola menatap Rafa yang sangat tulus kepada nya,
Rafa meraih tangannya, menggenggam erat seolah tak akan pernah melepas. “Iya. Kita akan menikah besok. Sekarang… ayo pulang bersamaku.”
“Aku tidak punya rumah…” isaknya, suara nyaris habis.
Rafa meletakkan telunjuknya di bibir Viola, menutup ucapan itu. “Kau punya rumah. Aku rumahmu.”
Dan di tengah hujan deras, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, Viola akhirnya menemukan kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya kasih sayang dari seorang asing, yang justru mencintainya dengan cara paling gila sekaligus paling tulus.
Jangan lupa beri bintang lima dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih.......
btw aku mampir Thor /Smile/