Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 14. Teman Pertama
Pertandingan itu berakhir tanpa kejutan berarti. Lin Yan menang dengan teknik sederhana, namun lawannya, seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, justru terlihat sangat terpukul. Pedangnya terjatuh, dan wajahnya memerah, bukan karena luka, melainkan karena rasa malu yang membara.
“Hmph!” Gadis itu cemberut, mendengus keras, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Lin Yan hanya berdiri diam, menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh dari arena.
“Maaf, memang dari kecil dia tidak suka kalah,” ucap seorang pria paruh baya yang datang menghampiri Lin Yan. Pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang tokoh penting di Aula Es, kemungkinan besar gurunya.
“Walau terlihat seperti anak yang pemarah, sebenarnya dia berhati baik. Dia cuma… ya, terlalu lama hidup tanpa teman. Banyak yang mengira dia berbeda. Sejak kecil, tidak ada anak-anak yang mau mendekatinya.”
Lin Yan mengangguk kecil. Ia tidak berkata apa-apa, tapi hatinya sedikit terusik. Entah karena iba atau sekadar penasaran, ia memutuskan untuk mengejar gadis itu.
Orang-orang yang masih berada di sekitar arena hanya tersenyum melihat pemandangan itu. Beberapa bahkan saling melirik, seolah menyaksikan awal dari sesuatu yang hangat.
Di tengah rimbunnya hutan bambu merah, Lin Yan akhirnya menemukannya. Gadis kecil itu duduk di atas batu besar, memeluk lutut, menatap kosong ke arah dedaunan bambu yang bergoyang ditiup angin sore.
“Kenapa kau mengejarku? Mau mengejek aku karena kalah?” tanya gadis itu tanpa menoleh.
Lin Yan diam sesaat, lalu menjawab dengan tenang, “Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu kembali. Gurumu menyuruhku mencarimu.”
“Aku tidak mau kembali. Di sana membosankan,” balasnya cepat, suara ketus namun terdengar getir.
Lin Yan menghela napas. Ia tidak pandai membujuk, apalagi menghadapi anak kecil yang keras kepala. Tapi dia teringat perkataan dari guru gadis itu. Cobalah berteman dengannya. Maka tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah pelan dan duduk di sebelah gadis itu.
“Apa yang kau lakukan?! Kenapa duduk di sebelahku?” Gadis itu menatapnya dengan alis berkerut.
“Aku juga bosan di sana,” jawab Lin Yan santai.
Hening sejenak. Angin berdesir lembut di antara batang bambu yang tinggi menjulang. Cahaya matahari sore menerobos sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah.
“Namaku Lin Yan. Umurku baru sepuluh tahun,” ujar Lin Yan tiba-tiba.
Gadis kecil itu menoleh pelan, alisnya masih mengernyit. “Kenapa tiba-tiba memperkenalkan diri?”
“Bukankah kau bilang tidak punya teman?” kata Lin Yan dengan nada ringan. “Kalau mau berteman, harus kenal nama, kan?”
Gadis itu terdiam beberapa saat, lalu dengan suara pelan ia menjawab, “Namaku Ling Xue. Umurku sembilan tahun.”
Sebuah senyum kecil muncul di wajah Lin Yan. “Ling Xue. Nama yang bagus.”
“...Terima kasih.”
“Kau tahu kenapa kau kalah dariku tadi?” tanya Lin Yan, kali ini lebih serius.
“Karena kau lebih kuat dariku?” jawab Ling Xue tanpa ragu.
Lin Yan menggeleng. Ia berdiri, lalu melangkah ke tengah jalan setapak di antara bambu. “Salah. Kau kalah karena kau terlalu dikuasai oleh emosi.”
Ling Xue menatapnya dengan tatapan bingung.
“Seorang pendekar pedang harus tenang. Sekalipun hatimu seperti badai, gerakanmu harus tetap sehalus aliran air.” Lin Yan mengangkat pedangnya, lalu memperagakan teknik Pedang Air yang dia pelajari. Gerakannya lembut namun presisi. Setiap ayunan seolah mengikuti irama alam, tanpa tekanan, tanpa paksaan, namun mengandung kekuatan tersembunyi yang berbahaya.
Ling Xue terpaku menontonnya. Matanya membelalak. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa ada sesuatu yang hilang dari teknik Pedang Dewi Es-nya. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan, namun kini perlahan ia mengerti.
Setelah menyelesaikan demonstrasinya, Lin Yan memandang Ling Xue dan mengangguk, menyuruhnya mencoba.
Ling Xue menghela napas, lalu berdiri dan mengangkat pedangnya. Ia mulai memperagakan jurusnya kembali, tapi kali ini dengan pemahaman baru. Gerakannya menjadi lebih halus, lebih terkontrol. Emosinya tidak lagi meledak-ledak.
Lin Yan mengangguk puas. Tapi belum sempat Ling Xue menyelesaikan satu rangkaian penuh, Lin Yan tiba-tiba menyerangnya.
Refleks, Ling Xue menangkis serangan itu. Mereka pun terlibat dalam pertarungan kecil. Serangan demi serangan, mereka saling melatih, saling memahami gerakan satu sama lain. Lin Yan perlahan memberi arahan di sela pertarungan, sementara Ling Xue mengikuti dengan cepat.
Matahari bergerak perlahan ke barat. Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Hutan bambu itu menjadi saksi dari lahirnya sebuah hubungan yang baru—bukan sekadar teman seperguruan, tapi teman dalam makna yang lebih dalam.
Menjelang malam, mereka menghentikan latihan. Ling Xue tampak kelelahan tapi puas.
“Ayo, kembali ke tempat gurumu,” ucap Lin Yan.
Ling Xue sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk dan berjalan pulang. Lin Yan menatap punggung gadis itu hingga lenyap di balik rimbun bambu, lalu kembali ke Vila Bambu Merah untuk beristirahat.
Keesokan paginya, saat Lin Yan sedang menyapu halaman vila, suara langkah kecil terdengar di belakangnya.
“Lin Yan!” panggil Ling Xue ceria.
“Eh? Kau kembali?”
“Aku mau berlatih lagi!” jawabnya sambil mengacungkan pedang.
Sejak hari itu, latihan bersama menjadi rutinitas mereka. Pagi, siang, sore—mereka menghabiskan waktu di bawah hutan bambu merah, berlatih, berbicara, dan saling mengenal. Dalam sepekan, ikatan mereka menjadi erat. Ling Xue tidak lagi cemberut seperti dulu. Ia lebih ceria, dan bahkan mulai tersenyum.
Namun waktu mereka terbatas. Tujuh hari berlalu, dan tiba waktunya Ling Xue kembali ke Aula Es.
Pagi itu, Lin Yan sedang membersihkan halaman vila saat gadis kecil itu mendatanginya.
“Lin Yan… aku akan kembali ke Aula Es hari ini,” katanya, suaranya pelan.
Lin Yan berhenti menyapu dan menatapnya.
“Kali ini, kamu yang harus datang mengunjungiku ya,” ucap Ling Xue, menatap mata Lin Yan tanpa ragu.
Lin Yan hanya mengangguk pelan. “Baik.”
Tak lama setelah itu, rombongan dari Aula Es berangkat meninggalkan Sekte Pedang Suci.
Ketua Zhong dan Guru Bai datang menghampiri Lin Yan yang berdiri sendiri di depan vila.
“Gimana, Lin Yan? Cocok nggak gadis itu denganmu?” canda Ketua Zhong.
Lin Yan hanya mendesah pelan. “Umur saya baru sepuluh tahun, Ketua. Saya belum memikirkan hal seperti itu.”
Padahal, dalam hati, Lin Yan tahu: jiwanya sudah jauh lebih tua bahkan dari Ketua Zhong sendiri. Ia bukan anak kecil biasa.
Ketua Zhong hanya tertawa, lalu pergi bersama Guru Bai.
Enam bulan pun berlalu sejak kedatangan rombongan Aula Es. Dalam kurun waktu itu, Lin Yan mengalami peningkatan besar. Lingkaran tenaga dalamnya kini mencapai 190, dan ia telah menembus tingkat Pendekar Bergelar Menengah. Setiap hari dia terus melatih teknik pedang dan memperkuat tubuhnya dengan latihan keras.
Namun dunia luar mulai berubah. Konflik antara sekte-sekte hitam dan putih memanas. Sekte aliran hitam mulai berani menampakkan diri secara terbuka di tempat umum, mengincar harta-harta suci yang konon akan bangkit dalam waktu dekat.
Guru Bai kini lebih sering meninggalkan sekte untuk menjalankan misi rahasia dari Ketua Zhong. Lin Yan banyak berlatih sendiri.
“Sekarang jauh lebih sulit untuk meningkatkan kualitas tulangku,” gumam Lin Yan sambil duduk di bawah pohon tua di halaman vila. Ia menatap langit, lalu menggenggam gagang pedangnya.
Meski begitu, dia tidak menyerah. Untuk mempercepat peningkatan, kadang-kadang ia keluar dari sekte tanpa diketahui siapa pun. Ia melawan binatang iblis di hutan liar, melatih teknik baru dan mengasah insting bertarungnya.