Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Pagi itu, udara Jakarta masih lembab saat Devan dan Nina sudah tiba di bandara. Devan menarik koper besar berwarna hitam, sedangkan Nina dengan tas selempang kecil terus menggenggam tiket dan paspornya.
"Aku masih nggak percaya kamu pilih tempat ini buat bulan madu kita," gumam Nina, memandangi tiket di tangannya. "Ubud?"
Devan tersenyum sambil melirik ke arah Nina. "Kenapa? Kamu pikir aku bakal ngajak ke Paris?"
"Ya nggak, sih. Tapi... Setahuku kamu bukan tipikal cowok yang ngerti ambience dan ketenangan Ubud."
"Aku bukan cowok biasa, Nina. Aku suamimu sekarang," katanya dengan nada menggoda.
Nina mendelik. Tapi tak bisa menahan senyum kecil yang perlahan terbit di wajahnya. Dalam hati, ia merasa... nyaman.
"Dasar!!!"
Devan terkekeh geli.
Di dalam pesawat, mereka duduk bersebelahan di sisi jendela. Nina meletakkan kepalanya di sandaran kursi, berusaha memejamkan mata.
Namun ketika pesawat mulai lepas landas, tangannya spontan menggenggam tangan Devan dengan sangat kencang.
“Eh, kamu takut terbang?” bisik Devan sambil melirik ke arah istrinya yang tampak menegang.
“Dikit,” gumam Nina pelan.
Tanpa banyak bicara, Devan menarik tangan Nina ke pangkuannya dan menggenggamnya erat. Lalu, dengan lembut ia membisikkan, “Tarik napas pelan-pelan. Aku di sini.”
Nina mencuri pandang. Devan memang tak banyak bicara soal cinta, tapi caranya hadir... membuat jantung Nina berdetak sedikit lebih cepat.
Begitu tiba di Ubud, suasana langsung berubah. Udara sejuk. Pepohonan hijau membingkai jalanan kecil. Dan vila tempat mereka menginap berada di atas lembah kecil, dikelilingi hutan bambu dan gemericik sungai.
Nina berdiri terpana di teras vila kayu mereka.
"Ini... indah banget," bisiknya.
Devan tersenyum puas. "Kamu suka?"
“Banget! Ini bukan bulan madu... ini surga tersembunyi!”
Mereka masuk ke dalam. Interior vila penuh sentuhan kayu, ranjang king-size dihiasi kelambu putih, bathtub besar dengan taburan bunga kamboja, dan balkon yang menghadap ke lembah sunyi.
Nina membalik badan, menatap Devan. “Kamu serius waktu bilang kamu nggak ngerti ambience?”
“Aku riset seminggu buat nemuin tempat ini, Nin. Karena aku pengen kamu bahagia.”
Hening sejenak.
Lalu, pelan-pelan, tiba-tiba Nina memeluk Devan.
“Terima kasih… Aku nggak nyangka kamu perhatian sampai sedetail ini.”
“Karena kamu layak, Nin. Selalu layak.”
Malam menjelang. Udara Ubud semakin dingin, tapi suasananya tenang dan magis. Di teras vila, mereka duduk berdua, membungkus tubuh dengan selimut tebal dan menyesap teh jahe hangat.
“Vannnn,” panggil Nina.
“Hmm?”
“Kamu ingat waktu SMA dulu? Kamu pernah bilang kamu nggak akan nikah sebelum umur tiga puluh.”
Devan tertawa pelan. “Waktu itu aku belum sadar kalau sahabatku sendiri yang bakal jadi istri.”
“Apa kamu nyesel?”
“Menikah sama kamu?” Devan menatap mata Nina dalam-dalam. “Sama sekali nggak.”
Nina terdiam sesaat. Tapi di dalam dadanya, ada gejolak hangat yang tak bisa ia redam. Hati yang dulu takut untuk jatuh cinta... mulai percaya lagi.
"Terimakasih Devan..."
Devan tersenyum, tangannya terulur mengacak gemas rambut Nina.
Malam semakin larut. Mereka masuk ke dalam vila, berganti pakaian santai. Nina mengenakan kaus putih kebesaran milik Devan dan celana pendek. Devan hanya mengenakan kaus lengan panjang tipis dan celana kain.
Mereka duduk di ranjang, membaca buku dan bercanda ringan.
Tapi ketika saat Devan mematikan lampu dan menyisakan cahaya lilin aromaterapi, suasana menjadi... berbeda.
Nina berbaring, memunggungi Devan.
Beberapa menit hening. Lalu, pelan-pelan, Devan menyentuh pundak Nina dan bertanya, “Boleh aku peluk kamu malam ini?”
Nina menggigit bibirnya dan mengangguk pelan.
Devan langsung saja mendekap tubuh Nina dari belakang, hangat, pelan, tanpa memaksa.
“Van…”
“Ya?”
“Aku senang kamu nggak pernah buru-buru.”
“Aku senang kamu tetap mau dekat... meski pelan.”
Dan malam itu, mereka tertidur dalam pelukan paling damai. Tidak ada nafsu. Tidak ada paksaan. Hanya dua hati yang akhirnya mulai saling percaya dan membuka pintu yang selama ini tertutup rapat.
*
Hari kedua di Ubud dimulai dengan aroma kayu dan suara air mengalir dari sungai kecil di balik vila. Nina membuka mata pelan-pelan dan menemukan dirinya masih dalam pelukan Devan.
Ia bisa mendengar detak jantung Devan yang tenang di belakangnya, dan… pelukannya belum terlepas.
Nina menggigit bibir. Biasanya ia akan merasa canggung. Tapi pagi ini, ada kenyamanan yang sulit dijelaskan.
"Udah bangun?" tanya Devan dengan suara serak khas bangun tidur.
“Udah” jawab Nina sambil tertawa kecil.
Devan membuka mata, lalu duduk.
"Yaudah aku mandi dulu, habis itu kita jalan-jalan." Kata Devan.
Nina menganggukkan kepalanya, dan membiarkan Devan masuk ke dalam kamar mandi.
Hari itu, mereka berencana menyusuri sawah dengan sepeda yang disediakan vila. Nina mengenakan dress simpel warna mint, dan Devan memakai kemeja lengan pendek yang digulung hingga siku.
"Kamu yakin bisa naik sepeda?" tanya Nina.
Devan tertawa. "Kamu pikir aku cuma bisa ngantar kamu belanja dan masak indomie?"
Mereka berangkat. Jalan sempit di tengah sawah menyambut mereka dengan pemandangan hijau membentang sejauh mata memandang. Udara sejuk, angin pelan menerpa wajah.
Namun… baru 20 menit berjalan, sandal Nina yang digantung di belakang sepedanya terlepas dan nyangkut di rantai sepeda Devan.
“Kamu! Itu sandal kesayanganku!”
Devan buru-buru berhenti, tapi malah tergelincir sedikit dan nyemplung ke sawah.
BYUR!
Nina menjerit tertawa. “DEVAN! Ya ampun kamu kenapa?!”
Devan berdiri, bajunya basah dan penuh lumpur. Ia menatap Nina dengan ekspresi penuh dendam bercanda. “Kamu ketawa ya? Oke. Sekarang giliranku.”
“Eh jangan—AKH!!”
Nina ditarik ke pelukan Devan, lalu ikut dicemplungkan ke lumpur. Mereka tertawa, berteriak, dan terengah-engah dalam pelukan basah di tengah sawah.
“Habis ini kita pasti dikeluarin dari vila,” gumam Nina.
“Yang penting kita keluar dari masa lalu,” jawab Devan sambil menatapnya.
Nina menatap balik. Mata mereka saling terpaku.
Seketika, dunia seperti diam. Tidak ada suara selain desau angin dan tawa yang perlahan mereda.
Setelah membersihkan diri dan kembali ke vila, Nina mengenakan kaus putih milik Devan karena bajunya basah semua. Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, hanya mengenakan handuk di leher dan celana pendek.
“Kamu... kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Devan sambil tersenyum nakal.
Nina pura-pura mengalihkan pandangan. “Nggak kok. Cuma... ya... ternyata kamu cocok juga jadi model sabun mandi.”
Mereka tertawa bersama. Tapi suasana perlahan menjadi tenang. Hangat.
Devan duduk di sebelah Nina yang sedang menyisir rambutnya. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sisir dari tangan Nina dan melanjutkan menyisirkan rambut itu pelan-pelan.
“Kamu ingat nggak?” tanya Devan.
“Ingat apa?”
“Dulu waktu kita ke pantai pas SMA. Kamu juga kehilangan sandal. Tapi kamu nangis.”
Nina tertawa kecil. “Iya. Dan kamu gendong aku sampai ke mobil.”
“Dan sekarang? Kita ketawa bareng di tengah sawah, basah kuyup dan masih bisa pelukan.”
Nina menoleh.
Tatapan itu. Lembut. Dalam. Jujur.
Devan mendekat dan menyentuh pipinya. “Kamu tahu nggak, Nin… Aku nggak butuh bulan madu mewah. Aku cuma butuh kamu. Ketawa kamu. Marah kamu. Suara kamu. Semua tentang kamu.”
Nina menahan napas.
Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan…
Nina yang mencium Devan lebih dulu.
Bukan karena paksaan. Bukan karena tanggung jawab. Tapi karena cinta yang tumbuh di antara lumpur sawah, sandal putus, dan tawa yang tak pernah berhenti.
Malam itu mereka duduk di balkon vila, beralaskan selimut tebal, menatap bintang-bintang yang jarang terlihat di kota. Devan menyandarkan kepala Nina di bahunya.
“Kamu tahu? Kadang aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut semuanya ini terlalu indah buat jadi kenyataan.”
Devan menggenggam tangan Nina. “Kalau ini mimpi, biarin aku mimpi selamanya. Tapi aku yakin ini nyata. Karena kamu di sini.”
Nina menoleh, dan dengan suara yang hampir berbisik, ia berkata, “Aku juga yakin. Kalau dulu aku punya alasan untuk takut mencintai... sekarang aku punya kamu untuk percaya lagi.”