Seruni adalah seorang gadis tuna wicara yang harus menghadapi kerasnya hidup. Sejak lahir, keberadaannya sudah ditolak kedua orang tuanya. Ia dibuang ke panti asuhan sederhana. Tak ada yang mau mengadopsinya.
Seruni tumbuh menjadi gadis cantik namun akibat kelalaiannya, panti asuhan tempatnya tinggal terbakar. Seruni harus berjuang hidup meski hidup terus mengujinya. Akankah ada yang sungguh mencintai Seruni?
"Aku memang tak bisa bersuara, namun aku bisa membuat dunia bersuara untukku." - Seruni.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertolongan Di Waktu Yang Tepat
Seruni
Dua bulan sudah berlalu dan aku masih belum memiliki pekerjaan. Bagaimana aku bisa bertahan hidup kalau aku tak bisa menghasilkan uang? Uang tabunganku pasti akan habis dipakai untuk biaya sehari-hari tanpa ada pemasukan sama sekali (Aku punya tabungan, Nyonya Anita yang membuatkan untukku. Cek pemberian Nyonya Anita juga sudah aku cairkan dan kupakai untuk biaya hidup sehari-hari selama di kota J).
Tidak, aku tak boleh menyerah. Aku harus semangat mencari kerja. Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri. Aku tak boleh lemah. Runi kuat!
Setiap pagi aku selalu berkeliling dari satu toko ke toko yang lain. Aku bertanya apakah mereka membuka lowongan pekerjaan untukku? Sayangnya, tak ada yang mau menerima karyawan tuna wicara sepertiku, apalagi aku putus sekolah dan hanya punya ijazah SMP.
Siang ini matahari sangat terik, membuat tenggorokanku kering. Kepalaku juga terasa berdenyut namun aku acuhkan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupku. Saat kurasa tanah yang kupijak bergoyang, aku putuskan untuk duduk sejenak di depan ruko. Pandanganku semakin gelap lalu aku tak sadarkan diri.
"Mbak sudah sadar?" Seorang perempuan muda yang berusia lebih tua dariku menatapku dengan tatapan cemas.
Aku mencoba duduk tegak. Aku kini berada di sebuah klinik. Ternyata benar, aku pingsan.
"Mbak tadi pingsan di depan tokoku. Mbak, kalau sedang hamil muda sebaiknya di rumah saja. Mbak harus jaga kehamilan. Jangan terlalu capek." Nasehat perempuan muda tersebut.
Apa? Hamil muda? Siapa? Aku?
"Mbak kenapa? Mau minum?" Perempuan muda tersebut memberikan segelas air dan langsung kuteguk banyak-banyak. Apa yang baru saja dia katakan? Aku hamil? Tak mungkin! Tak mungkin aku hamil. Pasti aku salah dengar.
Aku menunjuk diriku lalu tanganku memperagakan perutku yang buncit. Perempuan muda itu mengernyitkan keningnya. "Mbak ... tak bisa bicara?"
Aku mengangguk. Kurogoh saku celanaku dan mengambil kertas dan pulpen yang selalu tersedia. "Aku tuna wicara. Maaf, Mbak tadi bilang apa? Aku hamil?"
Setelah membaca kertas dariku, perempuan muda itu menganggukkan kepalanya. "Iya. Dokter bilang kalau Mbak sedang hamil. Memangnya Mbak tidak tahu kalau Mbak hamil?"
Dokter bilang kalau Mbak sedang hamil
Dokter bilang kalau Mbak sedang hamil
Kata-kata perempuan muda itu seakan terus terngiang di telingaku. Hamil? Aku hamil? Tak mungkin! Bagaimana mungkin aku bisa hamil?
Ingatanku pun kembali pada malam terkutuk itu. Bagaimana Mas Avian sudah mengambil kesucianku. Kalau aku hamil berarti ... Mas Avian adalah ayah dari anakku?
Tidak, aku tak boleh hamil. Tidak.
Bagaimana aku akan menghidupi anak ini? Aku saja tak punya pekerjaan. Pasti semua ini tak benar. Aku akan tanya sendiri pada dokter. Aku tak mungkin hamil!
Tak lama dokter datang untuk memeriksaku. Kutulis pertanyaanku di atas kertas lalu memberikan pada dokter. "Dok, apa benar aku hamil?"
Dokter tersebut mengernyitkan keningnya, sama seperti perempuan tadi. Pasti mereka baru menyadari kalau aku tuna wicara. "I-iya, benar. Mbak sedang hamil. Usia kehamilan Mbak saat ini sekitar 11 minggu."
Hah? 11 minggu? Hampir 3 bulan maksudnya? Kenapa aku tak menyadarinya?
"Usia kehamilan dihitung dari terakhir kali menstruasi ya, Mbak. Tadi katanya Mbak pingsan di depan toko ya? Tolong jangan terlalu kelelahan ya, Mbak. Jaga kesehatan. Makan makanan yang bergizi dan minum vitamin. Saya akan resepkan vitamin untuk Mbak minum." Dokter tersebut pergi meninggalkanku dan perempuan muda tadi.
"Mbak, boleh saya minta nomor telepon suami Mbak? Saya akan minta Mbak dijemput pulang," kata perempuan muda tersebut.
Aku menggelengkan kepalaku lalu menangis. Aku tak punya suami, aku tak punya pekerjaan dan sekarang aku hamil. Bagaimana nasibku kelak huaaaaa ....
"Mbak, tenang dulu." Perempuan muda itu menenangkanku. Ia menanyaiku beberapa hal dan menyimpulkan sendiri keadaanku. "Jadi suami Mbak sudah meninggal ya? Kasihan. Oh iya, kenalkan, namaku Rose. Biar aku yang antar Mbak pulang ya?"
Rose sangat baik padaku. Hari ini dia rela menutup tokonya demi mengurusku. Dia mengantarku pulang dan membelikanku makanan. Melihatku yang terus menangis membuat Rose makin tak tega padaku.
"Runi, bagaimana kalau ... kamu bekerja di rumahku? Kamu bisa mencuci dan menyetrika bajuku dan keluargaku? Kalau kamu mau aku-"
Aku langsung menganggukkan kepalaku dengan cepat. Rose tersenyum melihatku. "Baiklah. Besok kamu datang ke ruko ya. Aku tinggal di atas ruko. Kamu jangan sedih terus. Kasihan anakmu. Kamu harus semangat bekerja agar bisa menghidupi anakmu kelak. Semangat!"
Air mata haru tak kuasa aku tahan. Aku sangat berterima kasih pada Rose. Kalau bukan karena Rose, bagaimana aku bisa menghidupi anakku kelak? Pertolongan Allah memang selalu tepat waktu.
Sebagai anak yang dibuang oleh kedua orang tua, aku tak mau anakku kelak mengalami hal yang sama. Aku mau membesarkan anakku. Anak dari laki-laki yang pernah membuat jantungku berdegup kencang. Laki-laki yang sampai saat ini tak pernah mencariku.
Ya, tak pernah mencariku.
Setelah mendapat tempat tinggal di Jakarta, aku mengirimkan surat pada Avian. Kuberitahu dimana alamat tempat tinggalku yang baru. Sampai sekarang, jangankan Avian datang mengunjungiku, surat balasan darinya pun tak pernah aku terima. Kalau Avian tahu aku sedang mengandung anaknya, bagaimana perasaannya? Apakah bahagia? Apakah ia akan menikahiku?
Tidak, aku tak boleh berharap lagi. Harapan hanya membuatku lemah. Harapan hanya membuatku terus bermimpi. Aku tak boleh lemah. Aku harus kuat demi anak yang ada dalam kandunganku.
****
"Runi, kalau sudah selesai mencuci baju, kamu boleh pergi ke tempat lain. Nanti aku yang angkat kalau hujan." Betapa baiknya Rose padaku. Di sela kesibukannya mengurus toko, ia masih mau membantuku.
Bekerja di rumah Rose membuka pintu rejeki lain untukku. Tetangga Rose juga ingin menggunakan jasa cuci setrika denganku. Akhirnya aku punya pekerjaan juga. Aku butuh uang untuk biaya melahirkan dan membesarkan anakku. Selama aku kuat, aku akan kerjakan.
Beruntung meski hamil, anak dalam kandunganku tak rewel, seakan mengerti kalau Mama-nya harus bekerja keras. Aku bisa bekerja mengumpulkan pundi-pundi uang tanpa pernah merasa ngidam.
"Runi, kita jajan yuk!" Rose yang kini sudah seperti temanku, suka mengajakku jajan makanan. Tentu saja ia yang membayari jajananku.
Kami memesan dua es dawet dan menikmati es segar di bawah pohon. "Runi, masih belum ada kabar dari ayah anakmu?"
Aku menggelengkan kepalaku dengan lemah. Belum ada kabar sama sekali. Apa mungkin Mas Avian tak diijinkan pergi? Ataukah Mas Avian masih menjadi pengecut dan terus menuruti setiap keinginan orang tuanya?
"Dia ... tahu kalau kamu hamil?" tanya Rose lagi.
Aku kembali menggelengkan kepalaku. Tak ada gunanya memberitahu Mas Avian. Siapa aku? Aku tak pernah ia cintai. Kalau ia mencintaiku, malam itu ia tak akan menjahatiku. Ia akan memperjuangkanku di depan orang tuanya. Mencariku saja tidak, jangan harap dia mencintaiku deh.
"Kamu ... akan tetap merahasiakan darinya sampai kapan? Bukankah dia berhak tahu?" tanya Rose lagi.
Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Rose. Berhak tahu? Andai Rose tahu kalau anak ini adalah hasil perkosaan, apa ia masih menyuruhku memberitahu ayahnya?
***