NovelToon NovelToon
Biarkan Aku Jatuh Cinta

Biarkan Aku Jatuh Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:11.8M
Nilai: 5
Nama Author: Me Nia

BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia

Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Malam Mingguan

Akbar baru pulang ke rumah menjelang senja. Akhir pekan kali ini penuh keseruan karena usai mengikuti turnamen mini soccer yang diinisiasi Tim Kreatif perusahaannya. Setiap tim yang terdiri dari lima orang pemain adalah perwakilan dari tiap divisi. Ia sendiri bergabung dengan tim dari Divisi Sales Tour and Travel. Sementara Leo masuk ke tim dari Divisi HRD. Mulai babak penyisihan sampai final dilaksanakan sekaligus dari pagi hingga berakhir jam tiga sore. Meski timnya hanya berhasil masuk sampai semi final, ia cukup puas. Karena yang terpenting baginya adalah kebersamaan dan kekompakan seluruh karyawan. Biarkan mereka bahagia menikmati hadiah darinya.

"Mas, liat siapa nih. Masih kenal nggak?" Iko menyambut antusias kedatangan Akbar yang baru muncul di ruang tengah sambil menenteng tas ransel berisi pakaian seragam tim mini soccer.

Akbar menatap wanita berambut hitam panjang tergerai yang duduk di samping Iko. Dahi mengernyit dengan mata menyipit. Berpikir keras mengingat-ngingat wajah cantik yang sedang tersenyum padanya itu.

"Ck. Mas Akbar loadingnya lama banget sih. Iko kasih clue deh. Dia best friend Iko waktu SMA. Sering nginep di sini juga." Jelas Iko dengan mata berbinar.

"Oh Diva, ya?!" Akbar mulai mengingat teman adiknya itu. Pantas saja merasa familiar melihat tahi lalat di atas bibir.

"Iya, Mas. Mas Akbar apa kabarnya?" sapa Diva yang berdiri dan mengulurkan tangan diiringi senyum manis.

"Alhamdulillah, baik." Akbar menyambut jabat tangan. Ia pun duduk di sofa berhadapan dengan sang tamu. "Sorry Diva, berapa tahun ya nggak ketemu. Lima apa enam tahun ya. Jadinya lupa-lupa ingat," sambungnya dengan jujur.

"Manglingi. Makin cantik ya, Mas." Ucap Iko sambil menaik turunkan alisnya. Tersenyum tipis.

"He em." Sahut Akbar singkat. "Silakan lanjutin ngobrolnya. Aku tinggal dulu, mau mandi," sambungnya usai melihat jam. Setengah jam lagi waktu magrib.

Wajah Diva yang sudah merona karena pujian, berubah sedikit kecewa melihat Akbar berlalu menuju tangga. Berharap bisa berbincang lama, namun kakaknya Iko itu masih sama seperti dulu. Tidak mudah didekati. Selalu seperlunya.

Pintu kamar diketuk Iko saat Akbar sedang melipat sajadah. Istiqomahnya menjalankan kewajiban sebagai muslim baru berjalan dua tahun ini. Ia yang tinggal di Singapura saat sedang memulihkan perusahaan orang tuanya, diajak teman untuk bergabung dengan komunitas pengusaha muslim Singapura dimana anggotanya lintas etnis. Sharing and Caring di setiap pertemuan membuatnya semakin naik level iman.

"Ada apa?" Tanya Akbar begitu sang adik disuruh masuk. Sudah berdandan cantik seperti mau pergi. Iya baru ingat kalau ini malam minggu.

"Ada Galih pengen ketemu Mas Akbar." Iko mengajak Akbar turun sekarang juga. Galih adalah tunangannya Iko. Tiga bulan lagi mereka akan menikah.

Akbar menemui Galih di ruang tamu. Adu tos dan berpelukan menjadi sapaan awal. "Kalian mau pergi kemana?" Introgasinya sebagai bentuk rasa sayang terhadap adik satu-satunya itu.

"Aku mau ngajak Iko dinner. Mas ikut kami yuk!" Sahut Galih.

Akbar menggeleng. "Aku juga mau pergi ada acara. Jangan pulang malam ya!" Sampai menjelang pernikahan, Iko kembali tinggal di rumah itu. Biar lebih mudah mempersiapkan pernikahan yang akan digelar di Jakarta. Mama Mila sudah menitipkan si bungsu padanya.

"Siap, Mas." Galih paham kekhawatiran calon kakak iparnya itu. "Oh ya Mas, keluargaku masih memegang tradisi Langkahan. Selain minta izin, minimal memberi hadiah barang untuk kakak yang dilangkahi menikah. Aku tau Mas Akbar mampu membeli apapun, tapi izinkan aku membelikan sesuatu barang sebagai bentuk penghormatan padamu, Mas. Karena aku mau menikahi adik Mas Akbar," sambungnya dengan wajah serius.

Akbar mengulas senyum. Memasang wajah bijak. Ia sudah mencari tahu latar belakang calon suami Iko. Di samping merupakan teman kuliah sang adik di kampus Singapura, keluarga Galih juga memiliki darah keturunan Jawa meski tinggalnya di Jakarta. "Iko udah minta izin mau langkahin nikah. Dan aku ikhlas mengizinkannya. Aku gak akan minta hadiah. Cuma minta kamu harus janji tidak akan sakiti Aiko, baik fisik maupun psikisnya. Karena kalau sampe terjadi, aku akan buat perhitungan!" Ucapannya tegas dan lugas.

"Aku janji, Mas. Aku sangat sayang sama Aiko. Nggak akan pernah menyakitinya." Sahut Galih dengan kepala tegak menatap sungguh-sungguh sang calon kakak ipar.

Iko tersenyum simpul. Ia tahu betul jika Akbar adalah sosok kakak yang perhatian dan menyayanginya. Tak ada lagi yang harus dibahas karena sang kakak bergeming menolak hadiah barang. Ia dan Galih pamit pergi keluar untuk dinner malam minggu.

Akbar makan malam dengan cepat. Malam ini ada temannya yang merayakan ulang tahun. Mengadakan privat party di salah satu hotel bintang lima. Sebetulnya malas untuk hadir di pesta kelas atas itu. Apalagi dresscode pria harus mengenakan jas hitam. Malasnya, sudah tampil keren tapi tanpa gandengan. "Ami," gumamnya spontan. Mendadak ia teringat sumber mood booster yang seharian ini belum ada kabarnya. Ia tuntaskan makan dan beranjak menuju kamarnya.

***

Ami menjawab panggilan telepon dari Akbar dengan ucap salam ketika sudah sampai di puncak tangga. Sudah berada di jarak aman, tidak akan ada yang nguping. Lalu masuk ke dalam kamar. Sempatkan berkaca untuk memastikan penampakan wajahnya begitu Akbar menjawab salamnya.

"Lagi apa, Ami Selimut?" Suara Akbar di sebrang sana terdengar renyah.

"Lagi santai aja, Kak. Ada tamu Kak Panji sama Padma. Sini deh ikutan ngumpul, malam mingguan santai bareng." Ami masih berdiri di depan meja rias. Menyapukan sedikit bedak ke permukaan wajahnya.

"Wah jadi pengen gabung. Sayangnya Kak Akbar lagi di Jakarta." Terdengar suara Akbar bernada kecewa.

Ami terkekeh.

"Mi, VC ya!" Ucap Akbar meminta izin lebih dulu.

"Oke, Kak." Ami menyimpan ponselnya di meja. Bergegas mengoleskan dulu lip serum di bibirnya biar terlihat segar dan pink merona. Barulah percaya diri menerima panggilan video dari Akbar.

"Wow, Kak Akbar keren. Mau kemana, Kak?" Ami terpana melihat visual Akbar dalam balutan jas hitam dengan wajah segar. Tulus dan polos memuji.

"Mau ke birthday party teman. Beneran udah keren nih? Nggak bohong?" Akbar bersikap tenang padahal hidungnya mengembang. Pura-pura meluruskan dasi kupu-kupunya.

"Cius handsome, Kak. Pasti ciwik-ciwik pada lirik deh." Ami duduk sila di sofa sambil memangku bantal. Ponsel tersimpan di tripod sehingga leluasa berekspresi.

Akbar terkekeh. "Kalau Ami ada di Jakarta, mau Kak Akbar ajak buat jadi gandengan. Biar aman dari lirikan ciwik-ciwik," ujarnya sengaja memancing reaksi anak baru gede itu. Entahlah apa yang terjadi dengan hatinya. Belum bisa menyimpulkan rasa suka dan perhatiannya nya terhadap Ami sebagai apa. Adikkah? atau perasaan suka terhadap lawan jenis? Sementara biarkan mengalir seperti air.

"Hihihi, Kak Akbar bisa aja. Sayangnya aku gak punya pintu Doraemon. Biar atuh Kak dilirik ciwik-ciwik. Biar gak jomblo terus." Ami sebenarnya merasa tersanjung.

"Aku tuh Jomat. Jomblo terhormat gelar dari Neng Ami dulu. Masih ingat nggak?" Akbar menaikkan satu alisnya.

"Hehe, iya." Ami berubah tersipu malu dipanggil 'Neng'. Mendadak kalimat panjang yang siap meluncur, tersendat di tenggorokan.

"Mi, apa Panji udah jadian sama Aul?" Akbar teringat ucapan Ami awal tadi. Menjadi penasaran.

Ami mengangguk. "Iya, Kak. Udah siap mau lamaran. Tapi nunggu Ibu pulang dari Jakarta."

Akbar manggut-manggut. Ia sudah lama tidak bermain ke rumah Rama. Hanya mengucapkan selamat atas kelahiran anak kedua via chat. Belum ada waktu senggang untuk berkunjung.

"Udah lama jadiannya?" Rasa penasaran Akbar belum tuntas mengingat waktu itu melihat Aul malam mingguan dengan pria lain.

"Hm, belum lama sih. Kurang lebih dua mingguan deh. Terus aku dengar dari Padma, Kak Panji udah discuss sama keluarga mau segera lamar Teh Aul, gitu." Jelas Ami.

"Bagus. Gercep." Akbar mengacungkan jempolnya.

"Eh Kak, itu seperti banyak semut di bibir." Ami dengan serius mencontohkan dengan menunjuk bibirnya.

Akbar sontak mengusap bibirnya. "Nggak ada kok, Mi," Ia mengusap ulang untuk kedua kalinya.

"Oh, aku salah liat. Efek bibirnya keliatan manis sih." Ami memeletkan lidahnya. Berhasil nge prank Akbar yang kini tertawa.

"Ciee Kak Akbar baper. Muka sama telinganya merah gitu." Ami semakin menjadi menggoda Akbar.

"Haha...kamu ya. Kalau deket pengen uyel-uyel deh." Ucap Akbar dengan gemas. "Mi, tau nggak," sambungnya sengaja menggantung ucapan.

"Enggak." Ami menggelengkan kepala sambil menahan senyum.

"Berarti kita jodoh."

"Lah kok gitu?" Ami terkikik.

"Kan jodoh nggak ada yang tau." Kali ini Akbar yang memeletkan lidah. Akhirnya bisa juga ilham gombalan datang tiba-tiba.

"Aw aw gubrak." Ami berakting lemas. Membuat wajah tampan berjambang yang memenuhi layar ponselnya, tertawa lepas.

"Kak Akbar hebat udah jago gombal." Ami menyambung lagi percakapan sambil memperbaiki duduknya.

"Kena virus Ami nih. Menyerangnya udah sampe ke otak. Jadi tiba-tiba dapat inspirasi deh." Akbar terkekeh

Ami nyengir kuda. "Eh, Kak Akbar kan mau pergi. Kita udahan dulu deh."

"Jadi males pergi. Betah ngobrol sama Ami." Akbar terlihat menatap jam tangannya.

"Eits, nggak boleh gitu. Menghadiri undangan itu wajib. Kecuali ada halangan." Ucap Ami mengingatkan.

Bibir Akbar melengkungkan senyum manis. "Oke deh. Mi, tolong cek. Penampilanku udah rapih belum?" Ia sengaja berdiri dan berputar memperlihatkan bagian belakang.

"Udah perfect, Kak. Kayak Sheila on 7." Puji Ami.

"Maksud Ami, kayak vokalisnya?" Akbar kembali duduk dan menunggu jawaban Ami.

"Bukan. Kau anugerah terindah yang pernah kumiliki." Sahut Ami sambil dinyanyikan.

Akbar tersenyum meringis sambil memegang dada. "Ami...oh Ami. Lama-lama kena serangan jantung nih. Mana tadi katanya bibir udah dikerubutin semut. Fixed, diabetes," ujarnya memasang wajah putus asa.

Giliran Ami yang mentertawakan ekspresi Akbar. Kemudian beralih memasang wajah serius. "Ya udah, ya udah. Kak Akbar berangkat gih! Have fun and enjoy the party. Tapi ingat, jangan minum alkohol ya, Kak!"

Akbar tersenyum dan mengangguk. "Baik, Nona Ami yang cantik dan imut. Happy saturday night at home. Bye!" Sebuah kedipan mata dan senyum manis menutup tatap muka jarak jauh itu.

Layar sudah hitam. Tapi Ami masih terdiam memeluk bantal dan menenggelamkan wajahnya yang matang. Pujian Akbar mendebarkan jantungnya dalam ritme cepat. Menghangatkan dadanya serta melambungkan perasaannya.

"Amiiiii!"

Suara panggilan Padma mengagetkan Ami yang sedang senyum-senyum sendiri. Bergegas turun dari ranjang dan membuka pintu.

"Lama amat yang teleponan. Kirain terus ketiduran." Ucap Padma di ambang pintu.

Ami tersenyum miring. "Sorry bestie, baru beres teleponannya. Itu si Panda ngajak ngobrol terus. Kalo nggak aku stop, bisa-bisa terus aja sampe subuh."

"Namanya lucu. Panda. Itu cewek apa cowok sih?" tanya Padma penasaran.

Ami menggaruk kepala yang terbalut jilbab biru. "Hm, cowok. Sodara jauh."

"Ciee...Sodara apa sodara?" Padma memicingkan mata menggoda Ami.

"Hais, jangan mikir macem-macem ya! Beneran sodara jauh." Ami memiting leher Padma. Membawa masuk ke dalam kamarnya.

Padma terkikik karena bukannya tercekik, tapi merasa geli. "Mi, turun lagi yuk ah," ujarnya setelah sama-sama menjatuhkan punggung di kasur. Telentang.

"Kita di sini aja lah menyantai rebahan." Sahut Ami yang giliran malam ini Padma menginap di rumahnya.

"Jangan ninggalin Kak Panji dan Teh Aul berduaan saja. Nanti yang ketiganya setan." Padma mengingatkan.

"Ho oh, lupa. Yuk, turun. Kita cie ciein lagi kalo denger Kak Panji nyebut ayang." Ami terbangun lebih dulu. Menarik tangan Padma untuk bangun.

Ami dan Padma kembali duduk bergabung di karpet. Ada cemilan yang belum disentuh. Donat madu. Secara bersamaan duo rusuh itu mengambil toping yang sama. Coklat tabur kacang almond.

"Ini Padma. Ami yang coklat kacang aja." Padma mempertahankan pegangannya sambil cekikikan.

"Ah nggak mau. Ini ada almondnya. Jadi ingat sama temen sekolah, namanya sama." Ami sama-sama bertahan sampai donat pun terbelah dua. Adil. Sama-sama mendapat setengahnya. Bahkan balapan memakannya dengan cepat.

Aul dan Panji hanya geleng-geleng kepala. Obrolan tentang rencana opening cafe mendadak terhenti karena situasi kembali rame.

"Kak, tebak ya. Apa bedanya gubuk sama Teh Aul?" Ami menatap Panji dengan mulut menggembung karena sedang mengunyah.

Padma langsung saja terkikik. Kemudian mendorong bahu Panji dengan semangat. "Kak, harus bisa jawab! Jangan malu-maluin Padma."

Panji terkekeh. "Bentar mikir dulu!" ujarnya mulai mengerutkan kening. Hingga dua menit kemudian...

"Ah, lama mikirnya. Munaroh, kasih bisikan! Kamu kan muridku yang pintar." Ucap Ami.

"Oke, Suhu Marimar!" Padma pun berbisik di telinga kakaknya.

Aul sudah pasrah menjadi bulan-bulanan lagi. Ia mendekap bantal sofa di dadanya melihat Panji mulai senyum-senyum saat dibisikkan Padma.

"Apa jawabannya, Kak?" Tanya Ami.

Panji menatap Aul dengan lembut sambi mengulum senyum. "Kalau gubuk jelek. Kalau Aul cantik."

"Ecieee." Kompak Ami dan Padma menggoda Aul yang wajahnya merona.

"Sekarang dari Padma ya. Marimar harus bantu kalau Teh Aul nggak bisa jawab. Apa bedanya nyamuk sama Kak Panji."

"Teh, jawab, Teh. Jangan jatuhkan wibawa adikmu yang imut ini. Teteh pasti bisa! Kita tiap hari hidup satu atap. Virus udah meresap." Ami menyenggol lengan Aul.

Aul menoyor bahu adiknya yang menyebalkan itu. Sementara Panji dan Padma mentertawakan.

"Kalau nyamuk ngeselin. Kalau Kak Panji....ngangenin." Jawab Aul dengan wajah merona dan senyum dikulum.

"Kamu juga ngangenin, Yang." Balas Panji diiringi senyuman.

"ECIEEE, AYANG." Kompak Ami dan Padma menggoda.

Malam mingguan yang malah mengocok perut penuh hiburan. Meski berat, Panji terpaksa harus pulang saat jam menunjukkan angka sembilan. Karena diusir tegas oleh tiga orang gadis sekaligus. Tak mengapa, besok pagi akan datang lagi. Karena sama-sama akan joging di Car Free Day.

1
Aira Azzahra Humaira
ahhaayyy aku yang kelonjotan serrr
Aira Azzahra Humaira
ah dasaaar cewek gatel
Pudji Widy
ami kan di tinggal ayah nya dr kecil,jadi di suka dan nyaman dg pria dewasa' Krn merindukan kasih sayang bapak nya
Pudji Widy
kenapa yg berasa dag Dig dug aku juga ya? hiss apa aku jatuh cinta sama Akbar?? amii..Akbar ku tikung yaaaa!!!!😀😀
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
3tahun bisa sabar, ehhh 1hari aja gak sanggup sih...
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
ehhh kode tuh...
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
🤣🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
ah camer perhatian amat
Aira Azzahra Humaira
MasyaAllah cutie 🥰🥰
Aira Azzahra Humaira
pokoknya mah ter Ami amii 🥰🥰
Aira Azzahra Humaira
Amiin
Aira Azzahra Humaira
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
hahhhh bukan matre tapi kebutuhan 🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
selamat ya iko 😘
Aira Azzahra Humaira
hahhhh salam paham kira Anu ehm ehmmm ya sya 😂😂
Aira Azzahra Humaira
percintaan manis penuh dengan senyuman
Aira Azzahra Humaira
bukan mimpi itu Amii emang ayang lg nonton
Aira Azzahra Humaira
akbar jadi SUPORTERNYA Amii
Aira Azzahra Humaira
tuh akbar bijak orangnya suka deh
Aira Azzahra Humaira
akhirnya Ami restui juga ibunya nikah lg
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!