"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Malam di Menara Shard
Malam ini Mark mengajak Jessy makan malam di sebuah tempat yang sangat mewah dan romantis di Kota London. The Shard Tower, bangunan tertinggi di kota itu. Tempat yang seharusnya ia datangi dengan Fika akhirnya bisa ia masuki bersama Mark.
Jessy mengenakan gaun berwarna merah selutut dengan sepatu berwarna senada. Rambut serta riasannya dilakukan oleh penata rias yang Mark panggil ke mansion. Seakan malam ini ia ingin memberikan pengalaman istimewa kepada Jessy menikmati makan malam di tempat yang indah.
"Apa kamu menyukai tempat ini?" tanya Mark yang sedari tadi tak mau melepaskan tangannya dari pinggang Jessy.
Jessy tampak terkagum-kagum dengan pemandangan yang disuguhkan. Seluruh sisi bangunan dipasangi kaca-kaca tebal berukuran besar yang tembus pandang. Dari sana, ia bisa menyaksikan pemandangan seluruh kota London dari ketinggian.
"Gedung ini dibangun atas kerjasama Inggris dan Qatar. Perancang bangunan ini juga sama dengan yang merancang bangunan-bangunan pencakar langit di Qatar. Apa kamu mau jalan-jalan ke Qatar denganku?"
"Tentu," jawab Jessy sembari mengulaskan senyum. Ia menyandarkan kepalanya pada Mark sembari melihat pemandangan malam Kota London.
Seminggu bersama Mark terasa seperti mimpi. Apapun yang tak pernah Jessy bayangkan dengan mudahnya diwujudkan oleh Mark.
Kalung berlian berharga ratusan juta kini melingkar indah menghiasi lehernya. Juga pakaian dan tas bermerk yang sudah Mark belikan. Apa yang telah Mark berikan sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup sepuluh tahun ke depan.
Mark yang penyayang dan perhatian membuatnya lupa siapa sebenarnya lelaki itu. Yang ia tahu, Mark sosok lelaki yang diimpikannya. Lelaki yang mampu memberikan rasa aman serta kenyamanan untuknya.
"Bagaimana kalau kita duduk sekarang dan menikmati makanannya?" ajak Mark.
Keduanya beralih ke meja makan yang telah dipesan. Tampak beberapa pelayan datang sembari membawa menu makanan yang mereka pesan.
Menu-menu menggugah selera datang silih berganti. Meski dalam porsi yang kecil sudah mampu mengenyangkan perut.
"Aku ada kejutan untukmu," kata Mark.
"Apa?" tanya Jessy penasaran.
Mark mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kotak perhiasan. Ia buka di hadapan Jessy. Sebuah cincin bertahtakan berlian tampak berkilau terkena cahaya lampu.
"Untukku?" Jessy kaget saking senangnya.
"Tentu saja, Sayang." Mark memakaikan cincin tersebut di jari manis Jessy. "Ini sangat cocok untukmu," pujinya.
Jessy memandangi cincin yang ada di jarinya. Dirinya kini telah berbeda dari sebelumnya. Uang bukan lagi hal menakutkan bagi dirinya. Berkat Mark, ia tak lagi perlu kesulitan karena uang.
"Kita ke kamar sekarang, ya!" ajak Mark.
Jessy mengangguk. Ia bangkit dari duduknya mengikuti langkah kaki Mark. Mereka akan menginap di kamar hotel yang telah dipesan.
Baru saja mereka masuk, Mark sudah tidak sabaran untuk merengkuh tubuh Jessy. Dengan sigapnya ia memeluk serta memagut bibir wanitanya. Jessy sampai sedikit syok dan merasa tak siap.
"Ehm, Daddy, aku tidak bisa bernapas!" rengek Jessy ketika Mark menciuminya dengan begitu agresif.
Mark melembutkan ciumannya kala mendengar protes dari sugar baby-nya. Keduanya saling memagut bibir satu sama lain dengan mesra.
Tanpa terasa baju yang mereka kenakan telah terlepas satu demi satu. Kulit yang saling bersentuhan membuat mereka semakin sensitif dan bergairah untuk melanjutkan ke sesi percintaan yang lebih mendalam.
"Kita lanjutkan di ranjang, Baby!" kata Mark setelah melihat Jessy yang begitu memerah karena ulahnya.
Mark menggendong tubuh Jessy bak seorang putri. Tubuh wanita yang kecil itu tak membuat Mark kesulitan mengangkatnya. Perlahan ia rebahkan kembali di atas ranjang empuk dan nyaman.
Rasa canggung di antara keduanya telah hilang. Setiap malam Mark tak pernah melewatkan untuk meminta Jessy bercinta dengannya. Seolah ia tengah meluapkan hasratnya yang telah lama terpendam. Mark selalu ketagihan dengan kehangatan tubuh Jessy.
"Baby, bagaimana ini? Aku semakin tak ingin melepaskanmu untuk pulang?"
Mark mengerang merasakan nikmatnya penyatuan mereka. Ia tidak rela kehilangan momen indah ini ketika Jessy harus pulang.
Jessy tak kuasa berkata-kata. Tangannya sibuk mencengkeram sprei sembari mengerang setiap kali Mark memberinya kenikmatan. Ia selalu dibuat menggila setiap kali bercinta. Mark sangat lihai memancing hasratnya.
"Baby, bagaimana kalau kamu tetap tinggal di sini? Kamu bisa melanjutkan kuliahmu di sini agar selalu bisa dekat denganku," kata Mark.
Jessy yang tengah diliputi hasrat tak bisa berpikir maupun menjawab setiap perkataan dari Mark. Apa yang ada dalam pikirannya hanya ingin menuntaskan hasratnya.
Drrtt .... Drrtt ....
Ponsel Jessy berbunyi sesaat setelah Jessy mengalami pelepasan. Tubuhnya masih lemas dan napasnya tersengal-sengal.
"Baby, ada telepon untukmu," kata Mark seraya melihat layar ponsel Jessy.
Padahal Jessy tak berharap mengangkatnya di sela-sela aktivitas mereka yang belum selesai.
Jessy mengerutkan dahi melihat nomor tak dikenal di ponselnya.
"Angkat saja, Baby. Siapa tahu penting. Aku akan diam sebentar," kata Mark. Mereka masih belum melepaskan penyatuan mereka.
Dengan ragu Jessy mengangkat telepon itu.
"Halo, Jessy?"
Mendengar suara yang keluar dari ponselnya membuat Jessy membeku sesaat. Perasaan bahagia yang seharian menyelimutinya berubah menjadi perasaan cemas. Tubuhnya sampai bergetar mengenali suara Justin yang sedang meneleponnya.
"Halo, Jessy? Kenapa diam saja? Ini nomor kamu kan? Jessy ... Jawab teleponku."
"Jessy? Jessy ...."
Semakin mendengar suara Justin semakin membuatnya merasa takut. Ia memutuskan untuk langsung mematikan sambungan telepon dan menonaktifkan ponselnya.
Jessy menutup wajahnya sembari terisak. Mark turut terkejut melihat wanitanya menangis. Telepon itu benar-benar merusak mood mereka.
Mark mencoba memberi pelukan untuk menenangkan Jessy. "Baby, jangan menangis." ia mengusap lembut puncak kepala Jessy.
"Daddy, tadi pacarku yang telepon. Aku takut. Huhuhu ...."
Jessy tidak menyangka akan mendapatkan telepon dari Justin. Bahkan disaat ia sedang bercinta dengan lelaki lain. Jessy merasa sangat bersalah sedang berselingkuh di belakang Justin.
Mark tak bisa berkata-kata mengetahui telepon yang mengganggu percintaan mereka ternyata dari pacar Jessy. Ada rasa kesal berbalut cemburu mengetahui wanitanya menangis karena lelaki lain.
"Baby, It's okay. Tidak akan ada yang tahu tentang hubungan kita. Aku janji akan merahasiakannya dengan baik. Kamu tidak perlu khawatir," kata Mark.
"Aku sudah berselingkuh darinya. Huhuhu ...."
"Sttt ... Kalian baru pacaran, tidak ada yang namanya selingkuh. Satu-satunya orang yang selingkuh di sini adalah aku. Orang boleh menyalahkan aku, tapi tidak ada yang boleh menyalahkanmu, Baby."
Jessy semakin bingung memikirkan nasibnya nanti setelah kembali ke tanah air. Bagaimana ia akan bercerita kepada Justin dan apa yang akan ia lakukan dengan hubungan mereka ke depannya.
"Daddy ... Kita berdua orang yang jahat!"
"Baby, kamu orang yang baik. Kamu melakukan ini untuk dirimu sendiri, untuk mempertahankan hidupmu. Kamu juga peduli dengan orang yang kamu sayangi. Tidak perlu memikirkan penilaian orang lain. Kamu hidup untuk dirimu sendiri."
Jessy masih termenung memikirkan antara salah dan benar. Ia tahu dirinya telah terlanjut terjerumus dalam perbuatan yang salah namun seakan tak bisa lagi menemukan jalan kembali.
realistis dunk