follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
"Lo ada hubungan apa sama Gavin?"
Mikha melirik Gilang sekilas. "Bukan urusan Lo."
"Jelas urusan gue. Lo itu istri gue. Jaga nama baik gue. Jangan sampai ada gosip yang tersebar mengenai hubungan Lo sama kakak ipar Lo sendiri."
Mendengar ucapan Gilang, sontak Mikha tertawa keras. "Lo bicara nama baik? Gimana gue mau jaga nama baik Lo kalau Lo sendiri udah ngehancurin sendiri? Lo pikir kalau video itu gue sebar, apa kabar nama baik Lo, Gilang?"
Gilang mengepalkan kedua tangannya. Geram mendengar Mikha kembali menyinggung soal apa yang sudah dia lakukan di kantor kemarin dan terekam oleh handphone Mikha.
"Mikha!" panggil Gilang saat Mikha melangkahkan kakinya keluar rumah.
Mikha menghentikan langkahnya. Menatap Gilang tanpa banyak bertanya.
"Mari kita perbaiki pernikahan ini?"
Mikha sempat terperangah. Lalu dia tertawa sinis. Menertawakan ucapan Gilang yang dia anggap kekonyolan semata. "Nggak usah ngelawak, Gilang. Pernikahan ini udah rusak sejak awal. Apanya yang mau diperbaiki? Apalagi berumahtangga sama orang yang udah bawa perempuan lain ke ranjangnya macam Lo. Sorry, gue nggak minat," ucap Mikha dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Dan Lo juga nggak akan bisa bersatu dengan Gavin, Mikha. Lo ingat itu! Lo dan Gavin nggak akan bisa bersatu!"
Tanpa memperdulikan Gilang, Mikha masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintunya dengan kencang.
***
Kedatangan Mikha ke kantor membuat Gavin terkejut sekaligus merasa bahagia. Pasalnya, gadis itu tadi pagi masih mengeluh pusing dan ijin tidak masuk. Dan kedatangannya yang tiba-tiba mengejutkan Gavin yang tengah berkutat dengan pekerjaannya.
"Katanya masih pusing? Kenapa udah masuk?"
Gavin berdiri, menyambut pelukan Mikha yang begitu erat. Ucapan Gilang sebelum dia berangkat menganggu pikirannya. Tapi tak ingin mengatakannya pada Gavin. Hanya ingin memeluk Gavin saja. Sepertinya sudah bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
"Kangen sama Kak Gavin," ucap Mikha dengan manja. Hanya di depan Gavin saja Mikha bisa bermanja seperti ini. "Bosan juga di rumah."
"Tapi beneran udah sehat? Habis ini jadwal aku padat banget, loh. Beberapa hari ke depan sepetinya juga sama padatnya. Mending istirahat dulu, deh, daripada tambah sakit."
"Ya sudah. Hari ini nggak ada agenda keluar."
"Ada, kok." Mikha membaca jadwal Gavin di buku agenda. Hari ini ada dua meeting di luar.
"Cancel semua!"
"Kenapa?"
"Karena kamu masih sakit, Mikha. Aku nggak mau kamu tambah sakit."
Mikha memutar bola matanya. "Kakak bisa datang sendiri tanpa aku kalau hanya karena aku sakit. Biar aku ngerjain laporan yang kemarin belum sempat aku kerjain."
"Udah selesai semua," sahut Gavin dengan cepat. Gavin hanya ingin Mikha istirahat total tanpa memikirkan pekerjaan agar dia cepat sehat kembali.
"Oke, fine! Aku tiduran di sini aja kalau gitu. Tapi kakak jangan cancel itu jadwal. Ribet mesti mengatur lagi kalau hari ini dicancel."
"Oke." Gavin mengalah. Dia persilahkan Mikha untuk masuk ke dalam kamar pribadi yang ada di ruangan Gavin.
"Jangan kemana-mana. Istirahat," ucapnya dengan tegas, memastikan Mikha istirahat di kamar.
Mikha mengangguk pasrah. Niat hati ingin bekerja. Tapi siapa yang menolak kalau bosnya menginginkan dirinya untuk tiduran saja di kamarnya.
Pusing yang dia rasakan sudah berkurang. Bahkan hampir tak terasa. Badannya juga tak selemah kemarin.
***
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak pukul sebelas siang. Sempat reda, tapi kembali deras. Membuat Mikha napas untuk menyingkap selimutnya.
Dengan menyingkirkan rasa napas yang dia rasakan, Mikha keluar dari kamar Gavin, berharap Gavin sudah ada di ruangannya.
Tapi ternyata belum. Harusnya sudah kembali di jam makan siang. Dan saat ini sudah menunjukkan pukul satu siang.
Bosan sendiri di ruangan Gavin. Yang dia lakukan hanya tidur, bangun lalu scroll handphone sampai bosan. Begitu seterusnya selama lima jam di kamar Gavin.
"Main hujan-hujanan enak kali, ya. Mumpung kak Gavin belum balik."
Tanpa berpikir lagi, Mikha naik ke roof top untuk menikmati air langit yang turun dengan derasnya. Sudah lama sekali Mikha tidak bermain di bawah guyuran air hujan.
Mikha melompat-lompat bahagia, seperti anak kecil yang menemukan mainannya. Air yang menggenang di lantai roof top dia mainkan. Bahkan Mikha sampai tiduran di atas genangan air. Seolah-olah ia tengah berenang.
"Aaaaaaa...." teriak Mikha dengan lantang. Membuang semua kekesalan di hatinya. Membuang semua beban yang ada di pundaknya. Melepas segala penat yang ada di pikirannya.
Rasanya lega ketika dia bisa berteriak bebas tanpa takut di dengar orang. Suaranya teredam oleh air hujan. Juga keberadaannya yang berada di ketinggian dua puluh tiga lantai.
"Kok, tiba-tiba hujannya rada?" gumamnya penuh tanya, saat tak ada lagi setetes pun air hujan yang jatuh di tubuhnya.
Ketika Mikha mendongak, bukan langit dan air hujan yang dia lihat. Tapi payung berwana biru yang melindunginya dari derasnya air hujan.
"Kenapa malah hujan-hujanan? Aku suruh kamu istirahat, bukan cari penyakit!" Gavin berteriak lantang. Wajahnya menunjukkan amarah.
Seketika itu Mikha berdiri dan menundukkan kepalanya di hadapan Gavin.
"Kamu itu baru aja sembuh, Mikha. Kenapa malah hujan-hujanan begini?" Suara Gavin melunak. Tak sampai hati jika harus memarahi Mikha.
"Dari mana kakak tau kalau aku di sini?"
"Kamu pikir di kantor ini kekurangan cctv?"
Nyali Mikha menciut mendengar bentakan demi bentakan Gavin. Hingga tanpa sadar, Mikha meneteskan air matanya dan Mikha buru-buru mengusapnya.
Gavin menghela napas pelan. Melihat Mikha meneteskan air matanya karena mendengar ucapannya yang sedikit kasar, Gavin merasa bersalah.
Gavin mendekati Mikha. Meraih tubuh Mikha yang basah kuyup untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Maaf," ucap Gavin pelan. Semua dia lakukan semata-mata karena khawatir dengan keadaan Mikha. Dia tidak ingin Mikha kembali sakit karena bermain air hujan.
"Aku yang minta maaf, Kak. Aku cuma pengen bersenang-senang sebentar saja. Aku merasa bebas ketika aku berada di bawah guyuran air hujan ini, Kak. Aku merasa tenang."
Rasanya miris mendengar Mikha berucap seperti itu. Dia punya orangtua yang lengkap. Punya segalanya. Tapi hatinya tidak meras bahagia. Hidupnya tidak pernah merasa tenang.
Gavin ingin bisa terus melindungi Mikha, membahagiakan Mikha, selalu ada untuk Mikha. Tapi Gavin sadar jalannya tidak akan pernah mudah. Bahkan Gavin juga tidak tau apakah pada akhirnya nanti mereka bisa bersatu.
"Maaf. Aku minta maaf. Kamu boleh main hujan-hujanan lagi. Tapi sekali ini saja. Besok-besok nggak ada lagi main air hujan begini. Bahagia bisa dengan banyak cara, Sayang. Tidak harus bermandi air hujan yang membuat kesehatan kamu terganggu."
"Beneran boleh?" Tatap mata Mikha penuh dengan binar bahagia.
Gavin mengangguk mengiyakan. "Sepuluh menit lagi."
Mikha segera kembali berdiri di bawah air hujan yang entah kapan akan reda. Bulan ini, mendung dan hujan seolah tak mengijinkan matahari menampakkan sinarnya ke bumi.
🌹🌹🌹
Mikha memandangi foto seorang gadis cantik sepertinya. Foto itu diambil saat gadis tersebut berusia lima belas tahun. Gadis cantik, baik, periang. Siapapun akan merasa bahagia bila ada di dekatnya.
Sayang, gadis itu sudah lama tiada. Mikha merindukannya. Andaikan saat ini gadis itu berada di samping Mikha , mungkin Mikha akan memiliki tempat untuk bercerita.
Dia adalah Maulida Wiratmaja. Kakak satu-satunya yang dia miliki, tapi sudah lebih dulu menghadap ilahi sejak empat tahun yang lalu.
Mikha belum paham apa penyebabnya hingga gadis yang kerap disapa Uli itu ditemukan tewas di kamarnya. Pertama kali ditemukan oleh Mikha. Berniat untuk mengajak sarapan, justru yang dia temukan kakaknya yang terkapar tak bernyawa di samping ranjang tidurnya.
Sempat Mikha berandai-andai. Jika saja kakaknya masih ada, tentu bukan dirinya yang menjadi istri Gilang. Tidak mungkin papanya akan menikahkan Mikha terlebih dahulu jika Uli masih ada.
Tapi sekali lagi, ini sudah menjadi takdir Mikha. Saat itu, tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menerima.
Tapi setelah mengetahui bahwa pernikahannya tidak membuatnya bahagia, Mikha memutuskan untuk melawan takdir. Pernikahan yang tidak sehat yang dia jalani harus segera diakhiri.
"Kayaknya nggak perlu nunggu bukti lain, deh, Kak. Satu video kemarin aja udah cukup buat dibawa ke pengadilan."
Gavin menatap Mikha yang tengah menunduk lesu. Gavin tau Mikha sudah lelah dengan semua ini. "Kalau gitu, ya, terserah kamu. Tapi kamu harus tetap tahu akan satu hal."
"Apa lagi, sih, Kak? Beneran, deh. Aku tuh beneran udah capek. Nggak mood lagi buat nyari bukti lain. Aku rasa alasan perselingkuhan sudah cukup untuk menuntut cerai, kok." Mikha menghela napas lelah.
Gavin mengangguk paham. Kedua bola matanya sempat melirik foto yang masih dilihat oleh Mikha. "Foto siapa?" tanyanya penasaran.
"Kakakku," balas Mikha dengan sedih.
"Kakak?"
Mikha mengangguk membenarkan. "Aku belum berita, ya, kalau sebenarnya aku punya kakak. Cuma dia udah nggak ada. Udah meninggal empat tahun yang lalu."
"Aku turut bersedih."
Mikha tersenyum tipis. Menyamankan dirinya saat Gavin memeluknya dari samping. "Aku tuh sempat berpikir, kak. Seandainya Kak Uli masih hidup, pasti dia yang akan menikah dengan Gilang."
"Sudahlah. Tidak baik berandai-andai seperti itu. Semua sudah jalannya begini."
Gavin terdiam sejenak. Tanpa Mikha bercerita, dia tahu kalau Mikha memiliki seorang kakak. Dan Gavin pun mengenal dengan baik siapa Maulida Wiratmaja.
🌹🌹🌹
Minggu libur update yahhh... 🤗🤗