"May, aku takut. Aku ingin mundur, aku ingin membatalkan semua ini." Ucap Rain dengan tubuh gemetaran.
Malam ini dia berada disebuah kamar hotel presiden suit. Ya, Rain terpaksa harus melelang keperawananannya demi uang. Dia butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit adiknya. Selain itu dia juga tutuh uang untuk biaya pengacara, ayahnya saat ini sedang meringkut ditahanan karena kasus pembunuhan.
"Jangan gila Rain. Kau harus membayar ganti rugi 2 kali lipat jika membatalkan. Masalahkan bukan selesai tapi akan makin banyak. Jangan takut, berdoalah, semoga semuanya berjalan lancar." Ucap Maya.
Berdoa? yang benar saja. Apakah seorang yang ingin berbuat maksiat pantas untuk berdoa minta dilancarkan, batin Rain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALILAH PADAKU
Hari ini Alan mendapatkan shift pagi. Dia baru sampai dirumah jam 4 sore. Seharian ini dia tak fokus kerja karena memikirkan kakaknya yang tak ada kabar seharian.
Tapi semua kekhawatirannya hilang saat dia melihat kakaknya sudah berada dirumah.
"Mbak udah pulang, Al khawatir banget." Al memeluk kakaknya yang sedang menyapu lantai.
"Ish kau ini Al, kenapa jadi lebay gini sih?" Rain heran dengan tingkah Al. Tak biasanya Al main peluk seperti ini. Bahkan dulu Al selalu menolak jika Rain ingin memeluknya.
"Al takut kehilangan Mbak. Al sudah kehilangan Bunda. Dan kita juga jauh dari ayah. Al cuma punya mbak sekarang."
"Maafkan Mbak, ponsel mbak rusak. Jadi mbak gak bisa ngabarin kamu."
"Tapi mbak gak papa kan?" Al memperhatikan Rain dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Mbak baik baik aja, gak usah khawatir. Nanti tolong anterin mbak ke tukang service ponsel ya."
"Siap mbak." Al kembali memeluk Rain.
"Alan.... Lepasin mbak, mbak mau nyapu nih." Protes Rain sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan Alan.
"Iya, iya." Alan menyeringai lebar lalu masuk ke kamarnya.
Malam ini Rain dan Alan pergi ke tempat service ponsel yang berada tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Rain terpaksa merelakan ponselnya menginap di tempat service karena menurut pegawainya butuh waktu 3 hari untuk memperbaikinya. Sebenarnya bukan selama itu waktu untuk memperbaiki, hanya saja mereka sedang ramai. Jadi harus antri sesuai giliran.
Alan mengajak Rain mampir ke cafenya sebentar karena ada barangnya yang ketinggalan.
Saat ingin masuk, tanpa sengaja Rain berpapasan dengan seseorang yang sangat dia kenal. Matanya membulat melihat sosok yang selama ini dia rindukan.
"Rain."
"Gaza."
Rain segera membalikkan badan dan pergi meninggalkan Gaza.
"Tunggu Rain" Teriak Gaza sambil berlari mengejar Rain hingga parkiran. "Tunggu." Gaza berhasil menahan pergelangan tangan Rain.
Alan yang bingung harus berbuat apa, memilih diam, dia tak ingin ikut campur. Kakaknya sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya.
"Aku ingin bicara sebentar denganmu Rain." Ujar Gaza tanpa melepaskan cekalan tangannya.
"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan Ga. Semuanya udah selesai. Tolong lepaskan aku."
"Udah selesai?" Gumam Gaza sambil tersenyum getir. Dua tahun mereka berpisah karena dia harus melanjutkan pendidikan. Dua tahun rasa rindu itu dia pendam dan rasanya hampir meledak.
"Tidak ada yang selesai diantara kita Rain. Kau tak bisa mengambil keputusan sepihak seperti ini."
Rain menatap sekitar. Dia dan Gaza yang tarik menarik mengundang perhatian orang. Seakan sadar dengan kondisi sekitar, Gaza membawa Rain masuk kedalam mobilnya.
"Ikut aku."
Tak ada pilihan lagi selain menurut. Rain tahu siapa Gaza. Gaza bukanlah orang yang mudah menyerah. Dia yakin Gaza tak akan melepaskannya begitu saja.
Mereka berdua terdiam beberapa saat setelah memasuki mobil. Sebenarnya pertemuan ini bukanlah kebetulan. Gaza yang kehilangan jejak Rain, berusaha mencarinya. Dan akhirnya, dia menemukan tempat Alan bekerja dari teman sepupunya.
"Aku sudah pulang sejak sebulan yang lalu Rain. Aku terus mencarimu, tapi kau seperti hilang ditelan bumi. Aku sempat mencari ke rumah sakit tempat Alan dirawat. Tapi ternyata Alan sudah sadar dan tidak dirawat disana lagi."
Sebenarnya Rain tak tega melihat Gaza seperti ini. Rain sadar jika keputusannya untuk mengakhiri pertunangan sepihak akan melukai hati Gaza. Tapi terus memperjuangkan cinta bersama Gaza juga bukan hal yang mudah.
Gaza memegang kedua pundak Rain dan memaksa wanita itu menatapnya.
"Apa salahku Rain, kenapa kau meninggalkanku? Kau hilang begitu saja. Kau meninggalkanku tanpa aku tahu apa salahku. Apa kau tahu Rain, aku sangat merindukanmu. Aku hampir gila karena merindukanmu."
Dada Rain terasa sesak mendenganya. Andaikan Gaza tahu, diapun merasakan hal yang sama. Tapi kembali lagi, situasi yang memaksanya melakukan ini.
"Maafkan aku Ga. Kita gak bisa bersama lagi." Rasanya berat sekali mengatakan hal itu secara langsung pada Gaza. Dulu Rain memutuskan pertunangan mereka hanya melalui pesan. Terkesan sangat kejam memang, tapi dia tak sanggup jika berkata langsung pada Gaza.
"Tapi kenapa Rain, apa alasannya? Apa karena orang tuaku yang tak merestui kita?"
Rain menghela nafas. Dia menatap nanar kearah depan. Memandang lalu lalang orang yang keluar masuk cafe.
"Mungkin itu salah satunya Ga. Tapi yang pasti, kita gak mungkin bersama lagi." Perlahan tapi pasti, air mata Rain mulai menetes. Percayalah, ini sangat berat baginya. Entah dulu atau sekarang, hanya Gaza yang ada dihati dan pikirannya.
Gaza kembali menarik bahu Rain, membuat wanita itu kembali menatapnya.
"Percaya padaku Rain. Aku bisa meyakinkan orang tua ku. Tapi aku mohon, jangan tinggalkan aku seperti ini. Aku tak bisa berpisah denganmu Rain, aku tak sanggup." Gaza menyeka air mata Rain lalu menariknya kedalam dekapan.
Rain hanya bisa pasrah. Dia tak lagi berontak seperti tadi. Sejujurnya, dia juga sangat merindukan Gaza. Seberapa keraspun usahanya untuk membuang Gaza dari hatinya, tetap saja Rain tak bisa. Gaza terlalu mengakar didalam hatinya.
"Aku tahu kau masih mencintaiku Rain. Aku juga sama, aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu. Dua tahun aku memendam kerinduan padamu Rain. Jadi saat ini, aku mohon jangan menghilang lagi dariku. Tetaplah bersamaku, berada disisiku. Kita akan berjuang sama sama untuk mendapatkan restu orang tuaku. Jika alasan orang tuaku adalah ayahmu yang seorang napi. Aku rela menunggu hingga ayahmu keluar dari penjara Rain."
Hati Rain bergetar mendengar kesungguha Gaza. Tapi sedetik kemudia, dia teringat akan pengkhianatan yang pernah dia lakukan.
"Aku bukan Rain yang dulu lagi Ga. Aku gak pantas buat kamu." Rain berudaha melepaskan diri dari dekapan Gaza tapi gagal, karena pria itu tak membiarkannya lepas sama sekali.
"Siapapun dirimu, hanya kamu yang aku inginkan Rain. Cuma kamu yang pantas menjadi pendamping hidupku. Aku tak peduli jika kau anak napi atau jika kau tak sekaya dulu. Bagiku, kau tetaplah Rainku yang dulu."
"Kau tidak tahu Ga, aku bahkan sudah tak suci lagi. Aku merasa tak pantas untukmu." Guman Rain dalam hati. Perasaan bersalahnya makin besar pada Gaza.
"Aku tak bisa memutuskan sekarang Ga. Tolong beri aku waktu untuk berfikir."
Gaza melepaskan pelukannya lalu menatap Rain lekat lekat.
"Tidak ada yang perlu difikirkan lagi Rain. Kau hanya perlu kembali padaku." Ucap Gaza penuh keyakinan.
"Masalahnya tak semudah itu Ga."
"Baiklah Rain, aku akan memberimu waktu. Aku harap jawabanmu adalah kembali bersamaku. Tapi, beri tahu aku alamatmu Rain. Jangan menghilang dariku."
Rain menggeleng pelan.
"Maaf Ga aku gak bisa. Aku akan menghubungimu saat aku siap memberi jawaban."
Gaza membuang nafas berat.
"Tapi sampai kapan aku menunggu Rain?"
"Beri aku waktu 1 bulan Ga."
Gaza menggeleng "Itu terlalu lama, aku akan memberimu waktu 1 minggu."
"Tolong jangan paksa aku Ga. Keputusan ini menyangkut masa depanku. Aku tak ingin sampai salah mengambil keputusan. Tolong pahami aku Ga."
"Baiklah Rain." Dengan berat hati akhirnya Gaza mengalah.
Bisanya Nambah kesalahan mulu kerjaan loe