"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Yang Kita Lakukan Sekarang?
Hanya asap, darah, dan bau mesiu. Jeritan Rinka perlahan tenggelam dalam kebisingan internal yang dibuat oleh alarm darurat yang kini hanya berdengung lemah. Dia merangkak kembali ke sisi Rendi. Cahaya merah yang remang-remang membuat darah di wajah Rendi tampak seperti cat basah yang mengkilap. Rinka meletakkan telapak tangannya di dada suaminya. Tidak ada gerakan. Hanya kehangatan yang perlahan hilang.
“Rendi! Hei! Kamu tidak bisa pergi seperti ini!” Rinka menepuk pipinya, mengabaikan rasa sakit yang menyayat di tubuhnya sendiri. “Kita belum menyelesaikan ini! Katakan padaku kamu baik-baik saja, katakan ini hanya salah satu leluconmu yang brengsek!”
Rendi tidak merespons. Pandangan Rinka teralihkan ke lorong ventilasi darurat yang menganga hitam. Ledakan itu begitu kuat sehingga melubangi baja tebal, tapi ia tidak berani mendekat. Ia hanya bisa berdoa agar Ardi dan Icha tidak mengalami hal yang paling buruk, meskipun intuisi berteriak bahwa harapan itu sia-sia.
Tiba-tiba, getaran kuat dirasakan Rinka melalui lantai baja. Itu bukan ledakan, tapi suara yang jauh lebih berat, suara gerbang baja yang bergeser dan terbuka paksa. Suara itu begitu nyaring dan kuat, membuktikan bahwa pintu ini benar-benar didesain untuk tidak bisa dibuka oleh kekuatan biasa.
Rinka merasakan campuran ketakutan dan harapan. Siapa yang datang? Tim keamanan inti yang Rendi panggil? Atau musuh yang menemukan jalan masuk melalui ledakan Icha?
Seberkas cahaya putih terang tiba-tiba membelah kegelapan merah. Sosok-sosok berpakaian hitam tebal, bersenjata lengkap, dan menggunakan penutup wajah menyerbu masuk. Mereka bergerak dengan efisiensi militer, mengabaikan Rinka dan langsung menuju Rendi.
Seorang pria tinggi besar yang mengenakan penutup mata dan helm khusus segera berlutut di sebelah Rendi, mengeluarkan alat diagnostik darurat. Dia adalah Kalingga, kepala unit keamanan rahasia yang Rendi sebutkan.
“Status Tuan Rendi?” perintah Kalingga melalui alat komunikasi internalnya, suaranya terdengar mekanis namun tegas.
“Nadi sangat lemah, tekanan darah menurun drastis. Ada pendarahan internal serius dan luka ledakan superfisial. Kita harus segera stabilkan dia,” jawab petugas medis tim dengan tergesa-gesa.
Rinka menyingkir dengan enggan, merasa tak berguna di tengah profesionalisme mereka. Ia menatap Kalingga.
“Tolong… tolong selamatkan dia,” bisik Rinka, suaranya serak.
Kalingga melirik Rinka dengan cepat, matanya tajam dan tanpa emosi. “Nyonya. Kami akan melakukan yang terbaik. Tapi sebelum itu, Anda harus memberi tahu kami apa yang terjadi di sini.”
Rinka terbatuk, asap masih menyesakkan dadanya. “Ada granat. Ada Icha, sekretaris di kantor… dia menjebak kami. Dan Ardi… kakaknya Rendi…” Rinka menunjuk ke lubang ventilasi. “Mereka ada di sana. Mereka meledak.”
Kalingga segera mengisyaratkan dua anggota timnya untuk memeriksa lubang itu.
“Lapor. Apakah ada jenazah yang bisa diidentifikasi di dalam poros?” tanya Kalingga.
Anggota tim itu menggelengkan kepala. “Terlalu panas dan lubangnya terlalu dalam. Tidak ada jejak yang tersisa. Kekuatan ledakan tampaknya menyerap semua yang ada di poros ventilasi.”
Kalingga menghela napas. “Tutup pintu ventilasi. Segel lokasi. Nyonya Rinka,” ia menoleh kembali padanya. “Tuan Rendi dalam bahaya kritis. Kami akan membawanya ke fasilitas medis rahasia, bukan rumah sakit umum. Jika berita ini bocor, hidup Anda juga terancam.”
Rinka mengangguk. Dia menyentuh wajah Rendi sekali lagi saat mereka memindahkannya ke tandu baja. “Aku ikut,” katanya, berdiri tegak meskipun kakinya gemetar. “Aku harus menemaninya.”
“Tentu saja, Nyonya,” jawab Kalingga. “Kami tahu persis siapa Anda. Tuan Rendi selalu memberikan perintah yang jelas mengenai keamanan Nyonya, terlepas dari status rahasia Anda.”
Dalam waktu lima menit, mereka sudah keluar dari bunker. Rinka terkejut melihat bunker itu ternyata tersembunyi di bawah rumah peristirahatan yang mewah dan terpencil. Di luar, ada konvoi tiga SUV lapis baja yang siap menunggu. Mereka segera membawa Rendi pergi. Rinka naik ke salah satu mobil, pikirannya berkecamuk.
“Apakah… apakah ini akan berakhir, Kalingga?” tanya Rinka saat mobil melaju kencang dalam keheningan malam.
Kalingga, yang duduk di samping pengemudi, berbalik sedikit. “Saya harap begitu, Nyonya. Kehancuran Ardi dan Icha akan memberikan kejelasan tentang banyak hal. Tuan Rendi telah menghabiskan dua tahun terakhir mempersiapkan diri untuk skenario ini, skenario di mana semua rahasianya terungkap melalui kekerasan. Dia tidak ingin Anda terus berada dalam bayang-bayang.”
“Tapi kenapa dia harus mengorbankan dirinya sendiri?” Rinka bertanya, air mata menggenang. “Kenapa dia melakukan itu untuk Ardi, saudaranya yang membencinya?”
“Tuan Rendi adalah pria yang sangat kompleks. Cinta dan kebenciannya sama kuatnya,” Kalingga hanya menjawab diplomatis.
Saat mereka tiba di rumah sakit rahasia, sebuah gedung yang tampak seperti pusat data biasa, Rendi segera dilarikan ke ruang operasi. Rinka menunggu di ruang tunggu yang dingin, dikelilingi oleh para penjaga bertopeng. Rasa kesepian itu kembali, namun kali ini bercampur dengan kelegaan yang mengerikan, dia tidak perlu berbohong tentang siapa suaminya lagi.
Setelah empat jam berlalu, seorang dokter keluar dengan wajah lelah.
“Bagaimana suamiku?” Rinka langsung berdiri.
“Operasinya sukses, Nyonya. Tapi dia kehilangan banyak darah. Dan ada kerusakan signifikan pada tulang rusuknya. Dia selamat, untuk saat ini, tapi kondisinya masih sangat kritis dan kita belum bisa menjamin apa-apa,” jelas sang dokter.
Rinka terduduk lemas. Selamat. Itu sudah cukup.
“Kalingga,” panggil Rinka, menahan air matanya. “Apa yang kita lakukan sekarang? Icha sudah mati, Ardi juga. Apakah musuh-musuh Rendi akan berhenti?”
Kalingga berjalan mendekat. “Musuh yang satu sudah lenyap, tapi kami belum tahu siapa dalang utama di balik Icha. Kami sedang mencari jejak di bunker. Kami menduga, Icha adalah pion terakhir dari pemain yang lebih besar.”
Tiba-tiba, seorang petugas komunikasi di sebelah Kalingga mengangkat tangannya. “Tuan Kalingga, kami menemukan ini. Terselip di jaket dalam Tuan Rendi, dekat tempat dia menekan tombol itu.”
Kalingga mengambil objek yang diserahkan. Itu adalah sebuah kunci perunggu kuno, terukir dengan simbol yang sangat familiar bagi Rinka. Itu adalah kunci gudang lama milik almarhum ayah Rendi, tempat yang Rendi larang untuk dimasuki Rinka karena dianggap 'penuh bahaya.'
Kalingga menyerahkan kunci itu kepada Rinka. “Tuan Rendi mungkin ingin Anda pergi ke sana, Nyonya. Tapi Anda harus tahu, tempat itu adalah pusat dari semua rahasia dan masa lalu kelam Tuan Rendi.”
Rinka memegang kunci itu, terasa dingin dan berat di tangannya. Kenapa Rendi menyembunyikannya sedekat itu? Apakah Rendi berencana mati, setelah mengungkapkan segalanya melalui kunci ini?
Rinka menatap kunci perunggu itu, menyadari bahwa perjalanan rahasianya belum berakhir. Kebenaran yang Rendi korbankan segalanya untuk disembunyikan, kini menunggu untuk diungkap di balik gudang lama itu. Namun, sebelum Rinka sempat mengambil keputusan, suara yang mempesona dan sinis tiba-tiba terdengar dari ujung koridor rumah sakit rahasia.
“Astaga. Setelah semua kekacauan ini, ternyata sekretaris murahan itu berhasil juga menjadi permaisuri. Aku sangat kecewa pada Rendi, dia benar-benar memilih akhir yang begitu melodramatis.”
Rinka menoleh. Lusi berdiri di sana, dikelilingi oleh pengawal berpakaian formal yang anehnya tidak dihentikan oleh penjaga Rendi. Lusi tersenyum lebar, senyum seorang predator yang akhirnya melihat mangsanya di dalam sangkar.
“Ternyata kau juga ikut ke pesta kehancuran, Rinka. Tepat pada waktunya,” kata Lusi, melangkah maju. “Rendi mungkin hampir mati, tapi dia belum berhasil lolos dari janji lama kami.”
Lusi menyentuh bahu Rinka dengan ujung jari yang dingin, menundukkan wajahnya, dan berbisik.
“Kau memang berhasil mengambil hatinya, Sayang. Tapi sekarang aku datang untuk mengambil perusahaan itu. Dan juga nyawamu. Selamat datang di babak berikutnya dari neraka Rendi.”