NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14

Perlahan, Alin membuka matanya. Cahaya pagi yang lembut menyelinap di antara celah gorden, menimpa wajahnya yang masih dibalut sisa kantuk. Di sampingnya, Jodi masih tertidur lelap, tengkurap, dengan wajah menghadap ke arah lain. Napasnya teratur,dan tenang.

Alin terdiam beberapa saat, memandangi punggung suaminya yang hangat tertimpa cahaya pagi. Ada rasa sayang yang pelan-pelan mengalir, membuat sudut bibirnya terangkat lembut. Ia mengulurkan tangan, jemarinya menyibak rambut Jodi yang sedikit berantakan, lalu mengusapnya perlahan.

“Mas Jodi…” bisiknya lembut di dekat telinga suaminya, suaranya nyaris seperti hembusan angin pagi. “Bangun, sayang… ini sudah siang loh.”

Jodi hanya bergumam pelan, belum juga membuka mata, sementara Alin menatapnya sambil tersenyum geli, separuh manja, separuh gemas.

Namun tak lama, Jodi perlahan berbalik. Begitu matanya terbuka setengah, pandangannya langsung jatuh pada wajah Alin yang tersenyum menatapnya. Tanpa sepatah kata pun, Jodi langsung menarik tubuh Alin ke dalam pelukannya.

“Hmm… enaknya baru bangun dan lihat kamu duluan,” bisik Jodi serak, suaranya masih berat karena baru bangun tidur. Ia mengeratkan pelukannya, dagunya bertumpu di bahu Alin.

Alin terkekeh kecil, pipinya memerah. “Mas Jodi ini… sekarang udah mulai manja, ya?” godanya pelan.

“Biarin,” jawab Jodi, matanya masih terpejam sambil mencium pelipis istrinya. “Bau kamu aja udah bikin mas betah di rumah.”

Alin tersenyum nakal di dalam pelukan suaminya. “Mas Jodi…” panggilnya lembut, jemarinya menggambar-gambar garis tak tentu di dada Jodi.

“Hm?” sahut Jodi tanpa membuka mata, masih setengah tertidur, separuh menikmati sentuhan lembut itu.

Alin mendekatkan wajahnya, berbisik di telinganya, “Mas masih ingat gak… semalam Mas bilang apa ke aku?”

Jodi membuka satu matanya pelan, menatap wajah istrinya yang kini berjarak hanya beberapa sentimeter. “Mas bilang apa emangnya?” tanyanya pura-pura lupa.

Alin meringis manja, ujung jarinya menyentuh ujung hidung suaminya. “Katanya… Mas gak bisa jauh dari aku.”

Jodi tertawa kecil, menarik dagu Alin agar menatapnya penuh. “Itu bukan cuma kata-kata, Lin. Mas beneran gak bisa jauh dari kamu.”

Alin memalingkan wajah, pura-pura malu tapi pipinya jelas memerah. “Hmm… dasar Mas Jodi gombal, bohong ah. Palingan juga nanti kamu langsung pergi ke RS lagi,” ujarnya sambil tersenyum kecil..

Jodi menatapnya lekat-lekat, lalu dengan lembut merengkuh wajah istrinya di kedua tangan. “Itu kan sudah jadi tugas mas, sayang. Suami mu ini kan dokter sp.Kj.”

Alin menatap mata Jodi dalam-dalam, lalu menyandarkan kepala di dada suaminya. “Iya deh, si paling suka ngurusin pasiennya dibanding istrinya sendiri ” suaranya pelan, tapi ada nada penuh makna di sana.

Jodi mengecup ubun-ubun Alin dengan lembut, napasnya hangat menyentuh kulit kepala istrinya. “Mas ngurus pasien itu kewajiban, Lin… tapi yang mas sayang cuma satu, yang sekarang lagi di pelukan mas ini.”

Alin tersenyum samar, tapi bibirnya merengut manja. “Hmm… enak aja. Kalau pasien mas cantik, jangan salah fokus ya.”

Jodi terkekeh pelan, jemarinya menyusuri rambut Alin yang berantakan di bahu. “Gak ada yang bisa ngalahin kamu, Lin. Bahkan kalau satu rumah sakit penuh perempuan cantik pun, mata mas cuma buat kamu.”

Alin mendongak sedikit, matanya menatap suaminya penuh rasa manja. “Mas yakin?” tanyanya, nada suaranya menggoda.

“Yakin,” jawab Jodi mantap, lalu mencubit ujung hidung istrinya pelan. “Karena cuma kamu yang bisa bikin mas puas sayang, temasuk urusan diatas ranjang”

Alin tertawa kecil, tapi tawa itu disertai lirikan genit yang penuh arti. “Kalau gitu jangan sering lupa pulang lagi, Mas… soalnya aku gak suka sendirian di rumah. Aku suka kalau Mas pulang cepat, biar bisa peluk kayak gini terus.”

Jodi menatap Alin lama, terlalu lama, sampai waktu seolah berhenti di antara jarak mereka yang nyaris tak bersisa. Lalu perlahan ia menunduk, mengecup bibir istrinya lembut.

“Mas janji,” bisiknya di sela napas. “Mas gak akan bikin kamu nunggu lama lagi.”

Alin tersenyum tipis, matanya berbinar. “Janji ya, Mas?”

Deg.

Dada Jodi seketika mengeras. Kata itu, janji, menampar hatinya tiba-tiba. Bayangan Miranda seolah muncul sekilas di kepalanya, dengan suara yang sama lembutnya.

"Mas Dokter janji ya gak akan pergi ninggalin Mira?"

“Mas?” Suara Alin memecah lamunannya. “Kok diem?”

Ia menatapnya bingung. “Janji dulu sama Alin.”

Jodi menelan ludah pelan, menahan napas yang tiba-tiba berat.

“Janji, Lin…” ucapnya akhirnya, meski hatinya tahu, satu janji bisa menagih lebih dari satu jiwa.

Alin tersenyum lebar, lalu perlahan melepas pelukan Jodi. Ujung jarinya masih sempat menyentuh dada suaminya sebelum ia beranjak bangun.

“Kalau gitu…” ujarnya sambil mengedip manja, “kita mandi dulu yuk, Mas. Hari ini aku mau kamu temenin ke butik.”

Jodi mengangkat alis, pura-pura heran. “Butik lagi? mau apa sayang?”

Alin tertawa kecil, menepuk bahunya pelan. “ Iya.. beli baju lah mas. Yang kemarin-kemarin kan buat pesta. Yang ini buat nyenengin kamu.” ucapnya sembari turun dari ranjang.

Senyum Jodi mengembang, matanya mengikuti langkah Alin yang sudah lebih dulu berjalan menuju kamar mandi.

“Oke… mas temenin, kalau itu buat nyenengin mas.” godanya pelan.

Alin menoleh sambil tertawa kecil, rambutnya bergoyang lembut. Membuat Jodi semakin tergoda. Lalu ia pun bangkit dari tempat tidur dan berjalan menyusul.

“Jangan salahkan mas ya.. Siapa suruh ngajak mandi bareng.”

Uap hangat mulai memenuhi kamar mandi. Cermin berembun, air pancuran jatuh berirama di atas kulit. Alin berdiri di bawah guyuran air, rambutnya yang basah menempel di bahunya, sementara tawa kecilnya memantul di antara dinding marmer.

“Mas, sabunin aku dong,” ucapnya setengah manja, menoleh ke arah Jodi yang baru saja membuka keran air di sisi lain.

Jodi mendekat, nampak ia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. Ia mengambil sabun cair, meneteskan di telapak tangan, lalu dengan lembut mengusap bahu Alin.

“Dingin?” tanyanya pelan.

Alin menggeleng, senyumnya tak lepas. “Enggak. Kan ada mas yang bikin Alin jadi hangat.”

Jodi tersenyum tipis, tapi matanya tak sepenuhnya tersenyum. Tangannya terus bergerak lembut, menyusuri bahu hingga punggung Alin, sementara pikirannya entah sudah ke mana.

“Mas kenapa?” tanya Alin pelan, menoleh setengah. “Kayak lagi kepikiran sesuatu.”

Jodi terdiam sejenak, menatap wajah istrinya di bawah guyuran air. Setiap tetes air yang jatuh di kulit Alin seolah menyingkap bayangan lain di dalam pikirannya, bayangan Miranda.

“Mas?” panggil Alin lagi, nada suaranya mulai khawatir.

Jodi tersentak kecil, mencoba tersenyum. “Enggak, Lin. Mas cuma lagi mikir... betapa beruntung nya mas punya kamu.”

Alin tersenyum malu, lalu memercikkan air ke arah suaminya. “Ih, bilang aja, Mas mau lagi,” godanya sambil terkekeh kecil.

Jodi ikut tertawa, meski suaranya terdengar berat. “Boleh,” balasnya ringan, mencoba menyembunyikan napas yang mulai sesak.

Alin menatapnya sambil tersenyum genit. “Kapan pun Mas mau, Alin selalu siap,” ujarnya lembut, lalu menunduk malu sambil tertawa kecil.

Untuk sesaat, dunia mereka seolah hanya berisi tawa dan uap hangat. Tapi di balik senyum itu, dada Jodi justru terasa semakin sempit. Ia menatap Alin, dan dalam pantulan matanya sendiri, ia tak lagi melihat dirinya.

Hanya ada bayangan samar yang memanggil dari dalam pikirannya…

Miranda.

Satu jam kemudian, Alin duduk di depan meja rias, handuk melingkar di bahunya. Rambutnya yang basah terurai hingga punggung, meneteskan sisa air ke lantai.

Jodi berdiri di belakangnya, menyalakan hairdryer. Suara anginnya lembut, mengisi keheningan kamar.

“Jangan gerak dulu,” ucapnya pelan. “Nanti malah kusut.”

Alin tersenyum di cermin, menatap wajah Jodi di pantulan kaca. “Mas baik banget hari ini. Ada maunya, ya?”

Jodi tersenyum kecil, meneruskan gerakannya. “Gak selalu, kok. Kadang Mas cuma pengin ngerawat kamu.”

Udara hangat dari hairdryer berbaur dengan keheningan yang terasa nyaman. Begitu rambut Alin mulai kering, Jodi mematikan alat itu, lalu dengan lembut menyibak beberapa helai yang masih menempel di leher istrinya.

“Udah kering,” bisiknya pelan. Dan tanpa sadar, ia menunduk, mengecup lembut leher Alin.

Alin tersenyum kecil, matanya terpejam sejenak. “Mas romantis banget hari ini. Alin suka..”

Tapi Jodi tak menjawab. Bibirnya masih menempel di kulit Alin, sementara pikirannya terpecah dua, antara rasa hangat yang nyata di hadapannya, dan bayangan dingin tentang Miranda..

......................

Jodi masih menunduk, bibirnya menyentuh lembut leher Alin yang hangat dan harum sabun.

Alin tersenyum kecil di depan cermin, tak sadar bahwa Jodi belum benar-benar kembali dari pikirannya sendiri.

Sesaat setelah kecupan itu, Jodi menatap pantulan mereka berdua di cermin, dua orang yang tampak bahagia, tapi hanya satu yang benar-benar merasa hidup di dalamnya.

Di titik ini, aku mulai tak tahu apa arti cinta yang sebenarnya.

Apakah karena aku menikahinya, lalu harus mencintainya?

Atau karena aku mencintai seseorang, lalu merasa wajib melindunginya?

Tangan ini menyentuh Alin karena ia istriku,

tapi hatiku… hatiku masih berhenti pada seseorang yang lain.

Miranda… setiap kali aku ingat senyummu, tatapanmu, tangisan pilu mu.. ada rasa ingin menjagamu, bukan karena janji, tapi karena takut kehilangan.

Sementara pada Alin, aku hanya takut melukai.

Jodi menunduk sedikit, menghela napas di bahu istrinya.

Senyumnya tampak tenang, tapi di baliknya, ada luka yang terus berdenyut pelan.

Aku tahu ini salah.

Salah karena Miranda bukan siapa-siapa bagiku.

Salah karena aku seharusnya hanya melihatnya sebagai pasien.

Tapi setiap kali ia duduk di depanku, dengan mata yang selalu tampak lelah menahan sesuatu, aku merasa ingin menenangkannya, bukan sebagai dokter, tapi sebagai seseorang yang takut ia hancur sendirian.

Miranda... perempuan itu begitu rapuh, tapi ada sesuatu dalam kerapuhannya yang justru membuatku tak bisa menjauh.

Setiap kali ia bicara tentang kesepian, aku merasa sedang mendengarkan suara dari dalam diriku sendiri.

Mungkin itu sebabnya aku jadi lemah.

Aku merasa… hanya dia yang benar-benar mengerti bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Dan di antara batas antara dokter dan pasien itu, aku tersesat, antara rasa ingin menyembuhkan dan keinginan untuk menjaga.

Aku tahu, cinta pada Alin adalah tanggung jawab.

Tapi Miranda... Miranda adalah luka yang kubiarkan tetap terbuka, karena di sanalah aku merasa hidup.

Mungkin aku memang egois.

Aku tahu, dua hati tak seharusnya dipegang oleh satu tangan.

Tapi bagaimana jika keduanya memberi arti yang berbeda?

Alin adalah rumah. Tempat aku kembali, tempat semua janji berakar.

Tapi Miranda… dia adalah cermin dari sisi yang tak pernah bisa kutunjukkan pada siapa pun.

Di hadapan Alin, aku belajar menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.

Namun bersama Miranda, aku merasa menjadi manusia, dengan semua kelemahannya.

Aku ingin mempertahankan keduanya.

Bukan karena tak bisa memilih, tapi karena kehilangan salah satunya berarti kehilangan bagian dari diriku sendiri.

Mungkin memang benar, cinta bisa membuat seseorang gila.

Dan ironinya, aku jatuh pada seorang yang sudah lebih dulu dianggap gila.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hmmm.... 😥😥

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!