Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 33
Bima membeku, tatapannya menyiratkan perpaduan antara kedinginan Arta dan ketakutan manusiawi Bima. Lahan gubuk, tempatnya dulu pertama kali menghitung kayu bakar, tempat ia memeluk Dinda dan menemukan kembali martabatnya, kini berada di bawah ancaman. Telepon dari manajer lapas yang berisi pesan kemenangan dari Tante Elina terasa seperti pukulan strategis yang sempurna.
{Dia tidak menyerang PT Yura. Dia menyerang Fondasi Emosional Bima. Dia tahu Titik Nol itu adalah jaminan terakhir bahwa aku tidak akan kembali menjadi Arta yang dingin. Jika lahan itu hilang, Dinda dan aku akan kehilangan jangkar ingatan kami.}
Risa segera berdiri, matanya memancarkan kemarahan murni. "Dia sudah tahu dia kalah secara legal, Bima. Jadi dia menjual saham itu kepada pihak ketiga yang membencimu, hanya untuk menyulitkan Warisan Dinda."
"Tepat," jawab Bima, suaranya tenang tapi berbahaya. "Ini bukan lagi pertarungan aset, Risa. Ini adalah pertarungan moral yang dikemas dalam bentuk legalitas korporat. Elina menjual saham itu kepada pembeli yang pasti mengerti Nilai Taktis lahan itu. Dia ingin kita panik dan merespons dengan emosi, bukan dengan sistem."
Bima segera menarik Risa. "Kita kembali ke markas. Rio dan Tuan Banu harus segera mengalihkan fokus dari logistik ke Due Diligence. Aku butuh nama pembeli saham PT Wira Karya sekarang juga. Aku butut kerentanan likuiditas mereka."
Beberapa menit kemudian, di ruang rapat markas Yura, suasana terasa dingin dan genting. Rio dan Tuan Banu sudah berdiri di depan papan tulis, siap menerima instruksi.
"Tuan Banu, Rio," Bima memulai, menunjuk ke papan tulis yang kini kosong. "Lahan Titik Nol kita, yang menjadi bagian dari Warisan Dinda, kini dikuasai oleh pembeli saham mayoritas PT Wira Karya, perusahaan konstruksi yang memiliki hak penuh atas properti itu. Ini adalah manuver Asset Freezing yang halus, memaksa kita mengikat Warisan Dinda di pengadilan untuk jangka waktu yang lama."
"Kita tidak akan membuang waktu di pengadilan," tegas Risa, mengambil alih meja, menegaskan posisinya sebagai Direktur Utama yang baru. "Pak Wira akan menyusun Legal Counter-Claim yang mengacu pada klausa Warisan Dinda. Tuan Banu, Warisan Dinda memiliki klausa khusus yang membuat lahan Titik Nol itu sangat berharga, bukan?"
Tuan Banu mengangguk, membuka laptopnya. "Benar, Bu Direktur. Warisan Dinda mencantumkan klausa bahwa lahan tersebut harus didedikasikan untuk 'Pembangunan Fasilitas Nirlaba Yayasan Dinda' dalam waktu dua belas bulan. Jika klausa itu dilanggar, hak Warisan Dinda akan menjadi Kreditur Utama, yang memungkinkan kita menyita properti tersebut."
"Tingkat risiko terlalu tinggi," potong Bima. "Dua belas bulan terlalu lama. Elina akan memastikan pembeli itu segera meruntuhkan gubuk kita dan memulai pembangunan komersial di sana, membuktikan pelanggaran klausa Warisan Dinda. Kita tidak bisa menunda. Kita harus melakukan Akuisisi Agresif."
"Akuisisi?" Rio mengerutkan kening. "Maksud Bos, kita beli perusahaan itu?"
"Tepat," jawab Bima, matanya memancarkan perhitungan dingin. "Rio, aku butuh Due Diligence Cepat. Siapa yang membeli saham mayoritas PT Wira Karya itu? Cari tahu seluruh kerentanan finansial, riwayat utang, dan proyek over-leveraged mereka. Aku ingin tahu segala sesuatu tentang pembeli itu dalam waktu sepuluh menit."
Rio segera mengetik dengan kecepatan gila. Tuan Banu, menggunakan jaringan lamanya, menghubungi broker properti di pasar sekunder.
Lima menit berlalu, Rio mendongak. "Pembeli saham mayoritas PT Wira Karya adalah PT Adhi Jaya Properti. Pemilik tunggalnya adalah seorang spekulan properti bernama Kama. Dia terkenal kejam, membeli aset bermasalah dengan harga premium, tapi semua proyeknya dibiayai utang besar. Saat ini, dia sedang berjuang menyelesaikan proyek properti mewah yang over-leveraged di utara kota."
{Kama. Spekulan properti yang haus uang tunai. Ini adalah titik lemah yang sempurna. Aku tidak akan membuang waktu menuntut. Aku akan menuntut harga.}
"Baik," Bima memutuskan, mengambil alih kendali penuh. "Risa, kita akan menggunakan Modal Agresif Warisan Dinda. Hubungi Pak Wira. Kita akan meluncurkan Penawaran Tender Agresif untuk membeli saham PT Wira Karya. Kita tidak akan membeli sahamnya dari Kama. Kita akan membelinya dari pemegang saham minoritas di pasar terbuka, sampai kita mencapai ambang batas mayoritas. Ini akan menjadi Hostile Takeover."
"Tapi harga di pasar sekunder akan melonjak gila-gilaan, Bima!" seru Risa, menyadari risiko modal.
"Biarkan melonjak," jawab Bima, senyum dingin terukir di wajahnya. "Kita akan menggunakan Warisan Dinda untuk membayar harga martabat. Kama hanya mengerti bahasa Kerugian Finansial yang Cepat. Kita akan membuatnya panik dan menjual sahamnya kembali kepada kita dengan harga diskon, agar dia bisa menyelamatkan proyek over-leveraged-nya di utara kota. Tuan Banu, alihkan semua kontakmu di pasar saham. Rio, siapkan dana Modal Agresif Warisan Dinda. Kita luncurkan penawaran dalam satu jam ke depan."
Risa menatap Bima. Ia melihat Arta, sang Dewa Kekayaan, yang kini memegang kendali penuh, siap menggunakan Warisan Dinda, modal paling bersih, untuk memenangkan perang lahan yang paling emosional.
"Ini adalah Hostile Takeover yang paling pribadi yang pernah ada," bisik Risa, tangannya menggenggam tangan Bima.
"Tepat," jawab Bima. "Titik Nol adalah fondasi Bima. Dan tidak ada orang yang bisa merebut fondasi Bima."
Bima menatap timnya. "Akuisisi ini adalah Pertarungan Sistem melawan Keserakahan. Kita luncurkan serangan sekarang!"
//////////////////////////////
Di pusat keuangan kota, Roni Sanjaya sedang minum kopi di lobi mewah, masih meratapi kekalahannya. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu dari seorang broker properti kenalannya.
"Roni! Ada apa ini? PT Wira Karya sedang di Hostile Takeover! Ada entitas misterius meluncurkan penawaran tender agresif di pasar saham. Harganya melompat tiga ratus persen! Investor Kama sedang panik!"
Roni tertegun. PT Wira Karya? Bukankah itu perusahaan yang dibeli Kama dari Elina?
"Siapa pelakunya?" tanya Roni, suaranya tercekat.
"Namanya PT Yura Restorasi Aset, Roni! Mereka menggunakan Modal Agresif yang sangat besar! Mereka membeli saham dengan kecepatan yang gila! Mereka menyerang Kama di titik terlemahnya!"
Roni menjatuhkan cangkir kopinya. PT Yura. Bima.
{Anak itu... dia tidak hanya menuntut martabat. Dia menuntut lahan Titik Nol. Dia gila! Dia menggunakan seluruh Warisan Dinda untuk Hostile Takeover sebidang tanah kecil!}
Roni segera berlari keluar lobi, wajahnya pucat karena menyadari, Bima tidak pernah berhenti. Bima tidak pernah puas. Bima tidak hanya ingin menang; Bima ingin menghancurkan setiap Proksi Kebencian Sosial yang mengancam fondasinya.
Kekalahan terbesar Roni bukan kekalahan Elina di pengadilan, tapi Hostile Takeover agresif Bima di pasar saham, hanya untuk sebuah lahan yang menurut Roni tidak bernilai.
//////////////////////////////
Kama, sang spekulan properti yang kejam, kini terperangkap dalam jaring laba-laba yang ia sendiri ciptakan. Ia duduk di ruang kerjanya yang elegan, kemejanya basah oleh keringat dingin. Meja kerjanya dipenuhi gema jeritan dari ponsel dan broker yang menuntut kepastian. Penawaran Hostile Takeover PT Yura terhadap saham PT Wira Karya berjalan dengan kecepatan brutal.
{Ini bukan Hostile Takeover biasa. Ini pembantaian finansial! Mereka tidak membeli untuk keuntungan, mereka membeli untuk menghancurkan! Siapa Bima ini? Dia gila!}
Kama mencoba memahami. Mengapa entitas restorasi aset kecil, yang didanai oleh Warisan, bersedia mengeluarkan modal yang begitu agresif hanya untuk sebuah perusahaan konstruksi yang aset utamanya adalah lahan bermasalah? Jawabannya hanya satu: Bima tidak menginginkan uang. Bima menginginkan fondasi.
Tepat pada pukul tiga sore, Rio mengirimkan laporan kemenangan ke ruang rapat. "Bos! Total saham PT Wira Karya yang dikuasai Yura kini mencapai 55 persen! Kita sudah mencapai ambang batas mayoritas! Secara hukum, PT Wira Karya adalah milik kita!"
Risa menghela napas lega, memeluk Bima dengan erat. Bima, yang kembali tenang setelah kemenangan itu, merasakan kehangatan Risa yang menghapus semua ketegangan.
"Kerja bagus, Rio," kata Bima, suaranya dipenuhi otoritas baru. "Sekarang, segera kirim Press Release. PT Yura Restorasi Aset mengumumkan Akuisisi Mayoritas PT Wira Karya. Warisan Dinda telah mengklaim kembali lahan Titik Nol."
Risa menambahkan, "Dan kirimkan juga pesan resmi kepada Kama: Kita akan mencabut semua tuntutan hukum dan tuntutan percepatan pinjaman proyek utaranya, jika dia menyerahkan semua sisa sahamnya kepada kita dengan harga diskon. Dia harus memilih antara kehancuran total atau kerugian kecil."
Satu jam kemudian, telepon Bima berdering. Itu Kama. Suaranya terdengar pecah, kekejaman spekulan properti itu kini berubah menjadi keputusasaan murni.
"Tuan Bima! Hentikan ini! Anda menang! Saya akan menjual sisa saham itu dengan harga diskon. Saya hanya butuh likuiditas cepat untuk menyelamatkan proyek saya di utara. Ambil kembali perusahaan sialan itu!"
Bima tersenyum tipis. "Keputusan yang tepat, Tuan Kama. Anda memilih kerugian kecil. Kami akan mengirim notaris kami dalam sepuluh menit. Selamat tinggal."
Hostile Takeover selesai. Lahan Titik Nol kembali ke tangan Warisan Dinda.
//////////////////////////////
Kini, Warisan Dinda telah sepenuhnya diamankan dan beregenerasi. PT Yura Restorasi Aset kini adalah pemilik sah PT Wira Karya. Perusahaan yang didirikan oleh Bima, sang Dewa Kekayaan yang memilih menjadi manusia, telah menguasai Warisan yang dicuri darinya.
Bima dan Risa berdiri di depan gubuk tua. Gulma telah dibersihkan, tapi gubuk itu masih berdiri. Di sampingnya, Dinda, yang baru pulang sekolah, memeluk Bima dan Risa dengan riang.
"Kak Bima, Kak Risa, kenapa kita ke sini lagi?" tanya Dinda, matanya berbinar.
Bima berjongkok, memeluk adiknya. "Dinda, mulai sekarang, tempat ini milik kita. Kita akan membangun 'Yayasan Dinda' di sini. Tempat ini akan menjadi rumah bagi anak-anak yang kehilangan segalanya, seperti yang pernah kita alami."
Air mata Risa menetes, haru. Bima tidak hanya mendapatkan kembali lahan itu, ia mengubah lahan yang menjadi sumber penderitaan masa lalunya menjadi sumber harapan bagi masa depan orang lain.
Bima menatap Risa. "Semuanya sudah selesai, Risa. Aku sudah menemukan Warisan sejatiku."
Risa tersenyum, menyeka air matanya. "Dan aku sudah menemukan CEO yang tidak akan pernah bisa diakuisisi."
Bima tertawa, tawa yang kini lepas dan murni. Ia menoleh ke gubuk tua itu, titik nol-nya. Ia memejamkan mata, membiarkan energi ilahi yang perlahan kembali mengalir ke dalam dirinya.
{Aku Dewa Kekayaan. Aku telah mendapatkan Warisan sejatiku: Kasih Sayang yang tidak bisa dihitung. Aku tidak akan kembali ke Alam Dewa. Aku akan tetap menjadi Bima. Aku akan membangun kerajaan dari nol ini, bersama Dinda dan Risa. Inilah kebahagiaan sejati.}
Kilatan emas yang kuat, lebih terang dari sebelumnya, melintas cepat di mata Bima. Energi itu kini bukan lagi energi perhitungan, tapi energi cinta. Bima membukanya, kini matanya menatap Dinda dan Risa dengan kehangatan yang tak terbatas.
Risa menatap Bima. "Apa yang Kakak Bima lihat?"
Bima tersenyum. "Aku melihat Warisan. Warisan yang akan kita jaga selamanya."
Mereka bertiga berdiri, memeluk satu sama lain, di Titik Nol, fondasi dari Kekayaan Fungsional dan Emosional yang tak terhingga.
— Selesai —