“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertanggung jawaban Andi?
Maya berdiri terpaku di depan jendela apartemen, memandangi langit malam yang kelam. Andi masih terduduk di lantai, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Dadanya sesak, pikirannya berputar tak karuan.
Hening cukup lama. Lalu, dengan suara bergetar, Andi akhirnya membuka mulutnya.
“Maya… aku mohon… kamu pikirkan lagi soal ini,” ucapnya pelan tapi tegang.
Maya menoleh pelan, alisnya berkerut. “Maksud kamu apa?”
Andi menatap Maya, mata laki-laki itu dipenuhi tekanan.
“Kita… kita belum siap. Ekonomi aku berantakan, Maya. Aku nggak punya apa-apa sekarang. Aku… aku nggak bisa punya anak dalam kondisi kayak gini.”
Ia menelan ludah, lalu kalimat yang lebih berat pun keluar.
“Gimana kalau… kamu gugurin aja kandungannya?”
Suasana kamar mendadak membeku. Maya terdiam beberapa detik—seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Lalu perlahan, matanya membulat, bibirnya bergetar.
“Apa barusan kamu bilang… gugurin?” suaranya meninggi, penuh amarah yang ditahan.
Andi berdiri dan mencoba mendekat. “Maya, denger dulu. Aku bukannya nggak mau tanggung jawab. Tapi ini… ini semua terlalu berat. Rani nuntut uang ratusan juta, aku nggak punya kerjaan tetap, dan—”
“Cukup, Andi!” Maya memotong tajam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mundur beberapa langkah, memeluk perutnya yang baru saja ia ketahui sedang mengandung. “Ini anak kamu! Anak kita! Kamu sadar nggak sih apa yang kamu ucapin barusan?! Aku bukan cewek murahan yang bisa kamu bujuk buat buang anak seenaknya!”
Andi mengangkat tangannya, berusaha menenangkan. “Maya, aku cuma… bingung. Aku sayang kamu, tapi aku belum siap—”
“Sayang? Kalau kamu sayang aku, kamu nggak akan minta aku ngelakuin hal sekeji itu!” seru Maya dengan nada gemetar. Air matanya menetes deras, bukan hanya karena sedih, tapi juga karena kecewa.
“Andi, aku kasih tahu kamu sekarang.” Maya menatapnya dengan sorot mata tajam, penuh luka. “Kalau kamu nggak mau tanggung jawab atas aku dan anak ini… aku akan pergi. Aku akan hilang dari hidup kamu, dan kamu nggak akan pernah bisa nemuin aku lagi.”
Andi tertegun. Dadanya mencelos mendengar ancaman itu. Ia tahu Maya bukan tipe perempuan yang sekadar menggertak. Kalau dia bilang pergi, dia benar-benar akan menghilang dari hidupnya.
“Jangan, Maya…” suara Andi lirih. Ia menggeleng cepat dan melangkah mendekat, matanya mulai panik. “Jangan ngomong gitu. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Maya tetap berdiri tegak meski air matanya masih mengalir. “Kalau kamu beneran nggak mau kehilangan aku, buktikan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan sikap kamu. Aku nggak mau punya anak dari laki-laki yang penakut dan pengecut.”
Andi terdiam. Tak ada kata-kata yang bisa keluar. Yang tersisa hanya suara detak jam di dinding dan napas berat dari keduanya.
Malam itu terasa tenang, tapi dalam ketenangan itu banyak hati yang sedang bergejolak.
Andi duduk di sofa apartemen Maya, menatap lantai dengan wajah lelah. Di hadapannya, Maya masih terisak kecil, tangannya memegangi perutnya seolah melindungi sesuatu yang sangat berharga.
Setelah beberapa saat hening, Andi menarik napas panjang.
“Baiklah, Maya…” suaranya lirih tapi tegas. “Aku akan tanggung jawab. Aku akan nikahin kamu.”
Maya menatap Andi dengan mata yang membesar. Air matanya masih menetes, tapi kini berganti menjadi senyum haru.
“Kamu… serius?” tanyanya, nyaris tak percaya.
Andi mengangguk pelan. “Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah. Aku juga nggak mau kamu terus mikir aku pengecut. Aku akan nikahin kamu, secepatnya.”
Maya menatap Andi beberapa detik, sebelum akhirnya wajahnya berubah sumringah. Ia memeluk Andi erat, menangis bahagia di dadanya.
“Akhirnya kamu sadar juga, Ndii… aku janji, aku bakal jadi istri yang baik buat kamu,” ucapnya dengan suara bergetar.
Andi menatap kosong ke depan. Ia tahu langkah ini bukan karena cinta sejati, tapi karena keterpaksaan. Namun, melihat Maya tersenyum, ia memilih bungkam dan memeluk balas gadis itu.
Tak lama kemudian, Maya mulai bicara dengan semangat.
“Kalau gitu… aku mau pesta yang bagus ya, Andi. Aku nggak mau sederhana. Aku pengin semua orang tahu kalau kamu beneran nikahin aku dengan layak.”
Andi menoleh cepat, menatap Maya dengan sedikit kaget.
“Pesta? Sekarang?”
“Iya dong!” jawab Maya tanpa ragu. “Aku pengin gaun putih, pengin dekorasi bunga, pengin foto prewedding yang bagus. Aku udah cukup lama nunggu momen ini, Andi.”
Andi menelan ludah. Gajinya bahkan belum tetap, utang dengan Rani belum selesai, tapi Maya sudah menuntut pesta mewah.
Namun, demi menenangkan suasana, ia hanya bisa mengangguk pelan.
“Iya, Maya… nanti aku usahain.”
Senyum lebar kembali muncul di wajah Maya. “Aku tahu kamu pasti bisa.”
Sementara itu, di sisi lain kota—
Rani sedang bersandar di kursi café kecil langganannya. Kopi di depan sudah dingin, tapi ia tak peduli. Di tangannya, ponsel menyala dengan panggilan video dari Nadia.
“Ran, besok kabarnya pemilik baru pabrik mau datang,” kata Nadia dengan nada penasaran.
Rani mengangkat alis malas. “Oh gitu, yaudah. Aku sih nggak terlalu peduli. Yang penting gajian lancar aja.”
Nadia tertawa kecil. “Kamu bener-bener udah santai banget sekarang, Ran.”
“Ya, harus dong,” jawab Rani tersenyum tipis. “Aku udah terlalu capek mikirin orang-orang yang cuma ngisep hidupku.”
Mereka sama-sama terdiam sejenak sebelum Rani kembali bicara.
“Nad, tolong beliin aku perhiasan emas, ya. Cuma jangan kamu kasih aku dulu, simpen aja di kamu dulu.”
Nadia mengernyit heran. “Hah? Buat apa, Ran?”
Rani tersenyum kecil tapi matanya berkilat tajam.
“Anggep aja ini bagian dari rencanaku yang berikutnya. Aku cuma nggak mau siapa pun tau kalau aku mulai bangkit… sebelum waktunya.”
Nadia terdiam, lalu tersenyum samar. “Kamu makin nggak bisa ditebak, Ran.”
“Justru itu yang aku mau,” balas Rani, menatap jauh ke luar jendela café.
Langit malam menggantung tenang, tapi di balik ketenangan itu… badai sedang disiapkan oleh tangan yang pernah terluka.
Pelayan datang membawa menu, dan Rani tersenyum kecil.
“Saya pesan chicken steak sama jus alpukat, ya. Oh, tambah dessert-nya juga… yang cheesecake itu,” ucapnya lembut.
Pelayan itu mengangguk dan berlalu, sementara Rani menatap ke luar jendela—dimana banyak bintang yang bertaburan di langit-langit malam, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Namun Rani tak perduli setidaknya ia ingin menikmati waktunya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rani merasa bebas. Tak ada omelan, tak ada tuntutan, tak ada wajah-wajah yang memanfaatkan dirinya.
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Akhirnya aku bisa makan tenang tanpa harus mikirin siapa yang belum bayar listrik,” gumamnya pelan, disusul tawa kecil.
Tak lama kemudian, suara riuh kecil terdengar dari meja sebelah. Rani menoleh—dan di sanalah Bu Lastri, tetangganya yang terkenal suka bergosip, sedang memesan makanan juga.
Begitu pandangan mereka bertemu, Bu Lastri langsung melotot kecil, lalu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
“Lho, ini Rani, toh! Astaga, saya hampir nggak kenal kamu! Cantik banget sekarang, kayak bukan Rani yang dulu.”
Rani terkekeh pelan. “Hehe, iya Bu Lastri, kebetulan lagi pengin ngerawat diri aja.”
Bu Lastri mendekat, menarik kursi tanpa diminta. “Duh, saya salut, Ran. Lihat kamu sekarang tuh, beda banget. Dulu kamu pucat, kayak orang kelelahan. Sekarang… aura kamu tuh hidup!”
Rani tersenyum, menyandarkan tubuhnya santai di kursi. “Ya, mungkin karena sekarang saya udah belajar buat mikirin diri sendiri, bukan cuma orang lain.”
Bu Lastri mengangguk-angguk cepat. “Dan kamu tuh bener loh, Ran. Semua tetangga ngomongin kamu, tapi bukan yang jelek ya—mereka pada bilang kamu hebat. Soalnya akhirnya kamu berani lawan keluarga Andi yang... ya, kamu tahulah.”
Rani tersenyum lebar, tapi senyum itu menyimpan ketegasan. “Iya, Bu. Saya cuma nggak mau terus dijadiin korban. Kadang diam itu bikin orang lupa kalau kita juga bisa menggigit.”
Bu Lastri menepuk tangan Rani dengan semangat. “Aduh, ngomongannya kamu sekarang tuh berkelas banget. Saya dukung kamu, Ran! Kamu pantas bahagia.”
Pelayan datang membawa makanan, piring berisi chicken steak panas dengan saus yang menggoda, segelas jus alpukat kental, dan sepotong cheesecake lembut di atas piring kecil.
Rani menatapnya dengan senyum penuh kepuasan.
“Akhirnya aku bisa makan enak dari hasil keringatku sendiri, tanpa ada yang nuntut atau ngatur.”
Bu Lastri menatapnya kagum. “Semoga keberanian kamu nular ke ibu-ibu lain di kompleks, ya.”
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .