Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diagnosis di Dalam Dinding Kaca
Pagi itu, Pengadilan Agama diselimuti suasana yang mencekam, jauh lebih tegang daripada sesi mediasi sebelumnya. Bima memasuki ruang sidang ditemani oleh Dani Wijaya, yang kini bertindak sebagai penasihat strateginya, bukan pengacara formal. Dani berbisik kepadanya: "Ingat, kita menang karena Kinanti diam. Jangan beri Anindita celah apa pun."
Bima mengangguk. Ia merasa lega karena telah lolos dari jebakan pidana, tetapi kecemasan yang ditimbulkan Anindita di Bab 13—ancaman menggunakan kesehatan mentalnya—membuatnya tidak tenang.
Anindita duduk anggun di seberang, didampingi Purbaya. Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi matanya menatap Bima dengan intensitas yang mengganggu.
Tuntutan yang Tak Terduga
Sidang dimulai dengan Purbaya yang langsung memimpin serangan, mengabaikan total isu perselingkuhan dan penggelapan.
"Yang Mulia Mediator, pihak penggugat telah memutuskan untuk tidak lagi membahas rincian pengalihan aset atau moralitas umum tergugat," kata Purbaya dengan nada yang sangat resmi. "Kami mengakui bahwa Tuan Bima telah mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah harta gono-gini secara sepihak, meski sebelumnya tidak transparan."
Bima dan Dani saling pandang, terkejut dengan putaran cepat ini. Anindita benar-benar membuang kartu Kinanti.
"Namun," lanjut Purbaya, suaranya naik, "Fokus utama kami kini adalah Hak Asuh Tunggal atas Rayhan. Kami mengajukan bukti baru yang menunjukkan bahwa Tuan Bima, berdasarkan perilaku dan kondisi yang kami yakini, tidak cakap secara mental dan emosional untuk memberikan lingkungan yang stabil bagi anak di bawah umur."
Bima melompat setengah berdiri. "Apa-apaan ini?! Anda menuduh saya gila?"
"Duduk, Tuan Bima!" Mediator menegur.
"Kami tidak menuduh Tuan Bima gila, Yang Mulia," sela Purbaya, nadanya persuasif. "Kami hanya merujuk pada riwayat kecemasan kronis Tuan Bima yang sudah berlangsung bertahun-tahun, yang diperburuk oleh kecanduan stimulan oral, yaitu sirih, yang digunakan Tuan Bima untuk menenangkan diri."
Purbaya menyerahkan sebuah amplop tebal. "Kami menyertakan hasil Medical Check-Up (MCU) Tuan Bima dari dua tahun lalu, yang diperoleh secara sah dari data asuransi kesehatan bersama, dan dikuatkan dengan surat keterangan dari psikolog anak yang merawat Rayhan. Surat tersebut menyatakan bahwa Rayhan sering menunjukkan gejala stres dan self-blame setelah menyaksikan ayahnya dalam kondisi cemas parah atau saat Bima berbohong secara kompulsif."
Bukti 'Sirih' dan Kecemasan
Dani Wijaya mengambil berkas itu dan membacanya cepat. Wajahnya mengeras. "Tuan Mediator, ini adalah pelanggaran privasi medis dan manipulasi data! Riwayat kecemasan ringan tidak bisa dijadikan dasar untuk tuntutan hak asuh!"
"Riwayat kecemasan ringan, Tuan Dani?" balas Anindita, berbicara langsung untuk pertama kalinya. Suaranya dingin dan menusuk. "Bima, apakah kau ingat kapan terakhir kali kau pergi tidur tanpa meminum obat penenang yang diresepkan untukmu? Atau kapan terakhir kali kau harus menjauh dari Rayhan karena tanganmu gemetar dan kau tidak bisa mengendalikan diri?"
Bima terdiam, wajahnya pucat. Anindita selalu tahu tentang kecemasannya, tetapi ia tidak pernah menyangka istrinya akan menggunakan kelemahan terbesarnya sebagai senjata.
"Dan mengenai sirih," Anindita melanjutkan, "Bima selalu menertawakan itu sebagai kebiasaan 'unik' ayahnya. Tetapi bagi saya, itu adalah indikator kompulsi yang sudah tidak sehat. Bima, apakah kau lupa saat kau panik di bandara karena kau lupa membawa wadah sirihmu, dan kau memarahi Rayhan habis-habisan di depan umum?"
Anindita menatap Rayhan, tatapannya kini memohon, namun sangat mematikan.
"Ini bukan tentang siapa yang lebih kaya, Pur. Ini tentang stabilitas emosional. Bima telah menciptakan lingkungan rumah yang penuh kebohongan dan ketidakstabilan. Kecemasannya, kebiasaan menipu digitalnya, dan kini deal-nya dengan Kinanti—semua adalah manifestasi dari ketidakmampuan mengontrol impuls yang serius. Jika ia tidak bisa mengontrol diri sendiri, bagaimana ia bisa mengontrol kehidupan mental anak kami?"
Jebakan Terakhir
Anindita kemudian memainkan kartu terakhirnya, membuat ruangan itu hening total.
"Yang Mulia Mediator," kata Anindita, suaranya bergetar dengan emosi yang tampak tulus. "Saya mengajukan tuntutan agar Tuan Bima menjalani tes psikologi komprehensif dan tes Narkotika dan Obat Berbahaya (Narkoba) mendadak, sebelum sidang penetapan hak asuh berikutnya. Ini bukan hukuman, melainkan bukti kepedulian kami pada kondisi Bima. Jika hasil tes menunjukkan Tuan Bima dalam kondisi stabil, kami akan mempertimbangkan kembali hak asuh bersama. Jika tidak... hak asuh tunggal adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Rayhan."
Bima menatap Anindita dengan rasa dikhianati yang mendalam. Ia tahu ia sering minum pil tidur dan ia juga sering merokok. Dan yang paling ia takutkan, Anindita tahu tentang kecanduannya pada rokok herbal yang terkadang ia gunakan untuk mengatasi kecemasannya.
Dani Wijaya membungkuk ke arah Bima. "Jangan terima, Bima! Tolak itu. Ini jebakan!"
Namun, Bima terperangkap. Menolak berarti secara tidak langsung mengakui ia punya sesuatu yang disembunyikan. Menerima berarti membiarkan Anindita masuk ke dalam kondisi mentalnya yang paling rapuh.
Bima mendongak, merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. "Saya... saya terima. Tapi saya minta tes itu dilakukan oleh ahli independen yang kami pilih bersama."
Anindita tersenyum tipis, senyum kemenangan yang tenang. "Tentu saja, Bima. Demi Rayhan."
Bima kini tahu. Anindita tidak butuh uangnya; ia butuh kontrol penuh atas putranya. Dan demi mendapatkan itu, ia siap membongkar setiap lapisan kebohongan dan kerapuhan dalam diri Bima.