NovelToon NovelToon
ROMANCE BOY

ROMANCE BOY

Status: tamat
Genre:Kisah cinta masa kecil / Tamat
Popularitas:435
Nilai: 5
Nama Author: tata

Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya. Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut. *** "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat. "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna. Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 34

Karin datang lebih dulu dan memesan minum. Matanya melirik jarum jam, sudah telat beberapa menit. Misel dan Ethan datang dengan senyuman ringan. Di susul dengan Arjuna dan Aruna datang terakhir, mereka mengantarkan Acha pulang lebih dulu. Lelaki itu seolah mengulur waktu pertemuan tersebut. Aruna tidak tahu pasti apa yang membuat Arjuna tidak boleh bertemu Sisil.

Cafe yang mereka singgahi, milik saudara sepupu Karin. Gadis itu melirik Aruna dan Misel dengan tatapan penuh arti.

"Oke, gue nggak akan ganggu. Pindah yuk, Jun!" Ajak Ethan melihat tatapan Karin, seolah mengusirnya.

"Duh, sorry Than! Nggak maksud ngusir," Ujar Karin meringis.

Ethan mengedikkan bahunya santai. "Santai Karin, lagian gue disini pun tetap nggak bakal dilirik sama Mimi. Di anggurin, iya banget. Jadi, mending duduk berdua sama Juna."

"Sana, yang jauh ya?" Perintah Aruna membuat Ethan mengangguk malas.

Ketika memesan makanan, tatapan Aruna jatuh pada Sisil. Gadis itu pun menoleh dan tersentak kaget melihat dirinya. Keduanya saling mengunci tatapan, Aruna tahu arti tatapan tersebut.

"Tuh kan, dia emang kerja disini." Bisik Karin ketika melihat Sisil.

Aruna menelisik sekitar, tidak melihat Arjuna dan Ethan. Mungkin keduanya duduk jauh. Dirinya lekas pamit untuk ke toilet sebentar. Misel dan Karin mengangguk dan akan memesankan makan untuk Aruna.

"Aruna! Boleh kita bicara?"

Benar sekali tebakan Aruna. Bahwa ada yang ingin Sisil katakan padanya. Gadis itu mengikuti dirinya menuju toilet. Aruna menatapnya remeh, memandang bajunya yang mahal dan membandingkan dengan seragam Sisil. Bukan maksud Aruna menatap remeh pekerjaan sebagai waiters atau kasir. Tapi, ini Sisil---gadis yang dulu selalu memiliki segalanya. Seolah dunia berpihak padanya. Kini, semua justru sebaliknya.

"Kenapa?"

"Kamu nggak mau ketemu Papa?"

"Papa siapa? Buat apa?!" Aruna mencuci tangan dan bertanya dengan tenang dan santai. Bukan lagi Aruna yang penuh emosi dan meluap-luap seperti dulu.

"Papa kita Aruna, dia sakit dan cariin kamu. Mama aku emang udah cerai sama Papa, tapi aku kasihan Runa. Nggak ada yang urus dan jagain Papa, selama aku kerja." Jelas Sisil dengan suara lembut.

Aruna mengeringkan tangannya dan menatap Sisil dengan sorot terluka. "Dia cari gue, karena dia butuh Sil. Dulu, kemana dia?! Lo juga sama aja! Maksud lo, ngomong begitu apa? Mau suruh gue jagain dia? No way." Jawabnya dengan realistis. Lagian siapa juga, yang sudah di sakiti kemudian mau membantunya? Aruna tidak sebaik itu.

Sisil memegang lengannya. "Tapi Run, gimana pun dia Papa kamu!"

"Bukan papa gue, tapi papa lo!" Tunjuknya melampiaskan amarah yang terpendam. "Giliran susah, datang ke gue? Waktu kalian bahagia, apa ingat sama gue?! Nggak usah munafik lo,"

Mata Aruna terpejam, mencoba menahan diri, meski air matanya tetap lolos.

Sisil terdiam sejenak, matanya menyorot dengan berani. Meski tahu, bahwa apa yang akan di ucapkan tidak bisa di percaya.

"Asal kamu tahu, pacar yang kamu idam- idamkan itu yang buat perusahaan Papa jadi bangkrut. Arjuna nggak sebaik itu, Runa." Tuturnya meyakinkan dan memegang lengan Aruna lembut.

Ada keterkejutan dari raut wajah Aruna. "Terus kenapa? Emangnya lo orang baik? Bukan kan? Ya udah sih, sama-sama penuh dosa juga. Gue juga bukan orang baik kok," Akunya dengan jujur, menatap Sisil.

"Tapi, kalau kamu nikah sama dia---"

"Udah deh Sil, selama ini gue benci banget sama lo dan Mama lo. Nggak tahu kan? Gue kuliah jauh dan datang ke psikolog kalau lo mau tahu, orang lain mungkin lihat gue waras? Nggak Sisil, gue hampir gila setelah banyak hal menyakitkan yang gue lewati sendiri." Padahal Aruna sudah menyiapkan diri, bahwa suatu saat dia akan bertemu dengan orang dari penyebab luka-nya.

"Kenapa sih, lo enteng banget minta sesuatu yang membawa trauma di hidup gue? Lo tahu nggak, kalau kalian jahat! Gue benci dan ngerasa puas, lihat keadaan lo sekarang?" Meski mengatakan begitu, ada sudut hatinya yang turut tidak tega. Aruna menepisnya segera.

Air matanya meluncur jatuh dengan deras. Begitu pun Sisil yang meremas seragam kerjanya dan turut menangis di tengah suasana cafe yang sepi pengunjung.

"Gue nggak pernah banyak cerita, bukan berarti gue nggak terluka. Hati gue, berulang kali kaya ditembak mati--- setiap lihat lo bahagia sama Papa. Gue iri dengan lo, yang bebas dekat sama Papa." Jujurnya dengan lirih, takut di dengar orang lain. Mungkin, setelah ini Aruna akan lega. Setelah semuanya dia ungkapkan dengan jelas.

"Tapi, kamu punya ketiga teman yang mau menemani kamu. Aku nggak punya, Runa. Kamu punya Arjuna juga! Kamu pikir, aku nggak iri sama hidup kamu?" Jujurnya menatap Aruna dengan serius.

Aruna tersenyum pahit, Sisil hanya melihat sebagian hidup Aruna yang di penuhi keberuntungan. Tanpa ingat, bahwa Aruna pernah terjatuh, terluka hingga berdarah-darah. Tanpa siapapun menemani.

"Sil, nggak semua hal gue cerita ke mereka. Mereka nggak harus selalu ada buat gue, kan? Mereka juga punya kehidupan. Arjuna, mungkin nggak pernah tahu kalau gue sering ketemu Psikolog. Gue nggak mau mereka dekat sama gue karena kasihan."

"Aruna, aku minta maaf--- aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu." Sisil berusaha meremas jemarinya lembut.

Aruna menarik tangannya dan mundur perlahan, menyandarkan tubuhnya ke tembok. Tubuhnya luruh ke bawah dengan tatapan kosong dan air mata menetes deras.

"Lo bermaksud, Sil. Sejak gue punya hubungan pun lo masih deketin Arjuna!" Jeritnya murka. "Lo masih punya orang tua lengkap, Sisil. Gue cuma mau Arjuna, kenapa lo mau ambil juga?" Suaranya melirih putus asa.

"Tapi aku yang suka dulu sama dia! Aku udah suka sama Arjuna sejak lama, aku cinta sama dia!"

"Berani lo bilang gitu, gue lempar tubuh lo ke jurang! Udah gue bilang, gue bukan orang baik." Sahutnya tenang dengan suara datar. Matanya menyorot penuh kebencian. Tidak ada yang boleh mengambil miliknya.

"Gue sengaja datang kesini, biar gue tahu--- apa kebencian gue udah surut, ternyata belum. Hati gue masih sakit dan susah sembuhnya. Cuma sama Arjuna, gue lupa sama semua masalah dan keinginan gue untuk menghancurkan kalian." Bibirnya menarik senyum sinis.

"Selamat ya, akhirnya kami sudah kamu hancurkan---lewat Arjuna." Sisil menatap Aruna dengan pandangan lurus. Lelaki sebaik Arjuna? Aruna lantas menggeleng tidak percaya mendengar penuturan Sisil.

"Hello Sisil! Hidup gue udah lebih dulu kalian hancurin, mikir nggak lo? Enggak kan? Karena lo, sama nyokap lo nggak punya otak!" Aruna tersenyum sinis, melihat Sisil yang mengepalkan jemarinya. Meski begitu, Aruna masih penasaran dengan apa yang Arjuna perbuat. "Emang apa yang Arjuna lakukan?"

"Dia memfitnah Papa korupsi dan merebut perusahaan Papa. Papa udah nggak punya apa-apa, semua diambil alih Arjuna!" Matanya menyorot kesal dan benci.

"Bagus, harusnya lo emang benci Arjuna. Karena dia, cuma milik gue." Jawabnya dengan senyuman sinis. Sisil pikir, dengan memberi tahu keburukan Arjuna--- membuat Aruna membenci lelaki itu? Tidak sama sekali. Aruna justru kaget, Arjuna bisa berbuat sejauh itu demi dirinya.

Sisil menatap tidak percaya dengan ucapan Aruna. "Run, sadar! Dia bukan laki-laki baik!" Katanya, berusaha menyadarkan Aruna.

"Terus, yang lo pikir laki-laki baik siapa? Himawan?" Aruna menatapnya tajam. "Halah, dia aja selingkuh sampai punya anak kaya lo!" Cibirnya menatap Sisil dengan tatapan jijik.

"Jangan bicara sembarangan, Aruna!" Marahnya tidak terima.

"Udah lah Sil, di dunia ini nggak ada yang benar-benar baik. Mau Arjuna jahat sama orang lain gue nggak peduli, selama dia selalu perlakukan gue dengan baik." Senyumnya mengembang penuh kemenangan.

"Gue malah lebih senang lagi, kalau dia berhasil habisin lo sekalian!"

"Aruna, kamu udah gila!" Makinya dengan tubuh gemetar. Sementara Aruna tertawa dengan air mata menetes.

Gadis itu mengangguk senang. "Lo sama keluarga lo yang bikin gue gila! Harusnya, kalian juga gila kan?kan?"

Aruna mengusap air matanya kasar. Menatap Sisil yang terlihat tertekan dengan kehidupannya yang sekarang. Bukankah semua memang ada masanya? Apa yang Sisil tabur akhirnya dia tuai.

"Kenapa lo nggak jadi selingkuhan kaya Mama lo? Biar nggak perlu susah cari duit!"

Plak!

Sisil menampar pipinya, membuat Aruna menoleh ke samping dengan pipinya yang perih. Jemarinya bergerak ingin membalas, namun tidak jadi. Hanya bibirnya tertarik membentuk senyuman.

Padahal gue cuma bercanda, yah dia nggak asik banget sih gue tipu! Mana berani gue suruh Juna musnahin dia. Kalau hantunya gentayangan? Ih serem deh. Jadi manusia aja udah nyeremin, kayak Mamanya. Batinnya menatap Sisil dengan lekat.

Aruna melenggang pergi setelah menepuk bahu Sisil dengan senyuman lebar. Hatinya lega, setelah semua yang dia pendam berhasil dia utarakan. Setelah ini, Aruna tidak ingin memiliki kebencian lagi. Hatinya sudah lapang memaafkan, meskipun enggan bersinggungan. Biar waktu, menghapus luka dan kebenciannya. Lebih baik, hatinya di isi oleh nama Arjuna saja.

"Loh, Runa--- lo baik-baik aja kan?" Misel menyerahkan selembar tisu.

Aruna mengangguk santai. "Balik aja yuk, gue capek!" Hembusan nafasnya, membuat Karin mengangguk.

Misel dan Karin menatap belakang tubuh Aruna. Sisil yang kembali setelah Aruna dengan matanya yang sembab. Pasti ada sesuatu di antara keduanya.

"Ya udah, kalian berdua masuk mobil aja. Biar gue yang bayar, sekalian deh di bungkus aja." Misel berdiri hendak menuju kasir.

Karin mengangguk dan membawa Aruna pergi. Beberapa menit kemudian, Misel datang membawa kantung kresek yang berisi makanan dan minuman.

"Lah, Ethan sama Juna mau ditinggal?" Karin bertanya heran.

Misel mengangguk polos. "Gue kabarin lewat chat aja deh,"

Aruna berdehem serak. "Iya, tinggal aja." Pintanya lirih.

Karin melajukan mobilnya menuju tempat terdekat dari cafe. Gadis itu menunjukkan kartu akses sebelum masuk. Sepertinya, hanya orang-orang khusus yang bisa masuk. Misel berdecak kagum menatap bangunan besar di depan matanya.

Karin menuntun masuk dan mengajak mereka ke balkon, disana ada karpet dan meja untuk duduk. Pemandangannya begitu cantik di sore hari. Matahari hampir tenggelam berwarna jingga.

"Bentar, gue buatin coklat hangat ya?"

Karin melenggang pergi sebelum menjelaskan. Misel mengeluarkan makanan yang sempat mereka beli. Untuk minumannya sudah mencair, jadi Misel biarkan saja.

"Nih," Gadis itu menyerahkan cup hangat kepada Misel dan Aruna.

"Ini apartemen lo?" Misel bertanya penasaran.

Karin langsung menggeleng dan tertawa. "Gue nggak sekaya itu kali, Sel. Punya Mas Mahen, gue cuma sesekali doang kesini kalau mau." Dirinya menyeruput minuman hangat yang membuat perasaan lega.

Karin menatap ke depan. "Dekat sama orang dewasa, you know lah gimana. Nggak selalu si, tapi kalau Mas Mahen ya sering ajak nginep." Ungkapnya dengan jujur. Misel dan Aruna menoleh dengan mata terbelalak kaget.

"Ya ampun otak Karin udah nggak suci!" Jerit Misel.

"Lo udah ngapain aja, Rin?" Aruna bertanya penasaran.

Karin tertawa geli menceritakan semuanya. "Ngaca Sel! Lo pacaran sama Ethan lagi, cowok mesum itu." Ledeknya melirik Misel yang cemberut.

"Nggak sejauh itu Run, masih aman kok gue. Agak ngeri juga sebenarnya, pacaran sama yang lebih dewasa."

Karin tersenyum mesam-mesem mengingat kelakuan Mahendra. Benar- benar definisi lelaki butuh belaian.

Aruna mengangguk, sebenarnya tidak selalu dengan yang dewasa juga--- seumuran pun bisa aneh-aneh. Contohnya ya, Aruna sendiri sih yang aneh-aneh.

"Heh Karin, emangnya lo udah jadian sama dia?! Jangan sampai lo udah iya-iya, tapi dia nggak kasih kejelasan?" Aruna menoleh dan memegang bahunya syok. Misel pun ikut mendekat, menyadarkan Karin.

Karin langsung menggeleng, tidak mungkin Mahen yang begitu tergila-gila padanya---tidak memberikan status pasti.

"Mas Mahen udah lamar gue, tapi belum gue jawab. Nih, cincinnya udah gue pakai. Sebenarnya, gue mau ketemu sekalian mau curhat itu." Akunya dengan jujur menunjukkan Jemarinya yang terdapat cincin berlian cantik.

Misel dan Aruna spontan mencubit pipinya gemas. Wajah keduanya tersirat kekesalan. Karin menatapnya heran, menjauhkan wajah dari keduanya. Pipinya sakit, dicubit keduanya.

"Lo udah aneh-aneh, tapi di lamar nggak jawab? Gue sama Misel yang wakilin jawaban lo!" Karin melotot dan berdiri, menatap keduanya berkacak pinggang. Enak saja Aruna, ingin mewakili dirinya. Tidak boleh, harus Karin sendiri yang menjawab.

"Aruna, Misel dengerin gue dulu--- jadi cewek tuh harus jual mahal dong. Gue lagi menerapkan teknik tarik ulur," Jelasnya menatap keduanya yang duduk di bawah. "Siapa tahu kan, Mas Mahen cuma penasaran doang. Jadi, begitu deh- --gue juga bingung!" Jeritnya pada diri sendiri.

"Bingung karena apa, Karina? Saya sudah memberikan kamu kepastian."

Suara tegas itu membuat Karin menoleh ke belakang dengan kaget. Gadis itu memegang dadanya, melirik lelaki itu yang masih terbalut kemeja kerja dan jas yang dipegang. Benar-benar tampan sekali, batin Karin takjub.

"Nah, tuh Om! Kurung aja Om si Karin," Aruna bangkit berdiri bersama Misel.

Mahendra menggelengkan kepalanya heran. "Benar, dia gadis nakal. Maaf menganggu waktu kalian, kalau begitu saya masuk dulu mau bersih-bersih." Pamitnya dengan sopan, membuat Aruna dan Misel mengangguk.

"Kok dia bisa kesini sih?!" Gumam Karin dengan frustasi.

"Halah, ini kan apartemen dia--- kenapa harus nggak bisa?" Misel bertanya heran. Gadis itu mengambil ponselnya dan lekas menghubungi Ethan untuk menjemput.

"Lo udah mau balik, Sel?" Karin menatapnya heran.

Misel mengangguk. "Gue tahu, lo mau berduaan kan sama Om Mahen? Ya udah yuk, gue sama Aruna duluan."

Aruna mengangguk menurut. Karin menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Lo udah baik-baik aja, Run?"

Aruna tertawa dan mengangguk. "Gue aman, Rin. Ya udah yuk, awas ya lo nyicil duluan!" Teriak Aruna ketika dirinya dan Misel sudah keluar.

Pipi Karin bersemu merah. Ketika berbalik menutup pintu, dirinya sudah di kurung oleh tubuh kekar Mahendra. Lelaki itu baru selesai mandi, tanpa menggunakan baju. Hanya menggunakan celana pendek selutut, matanya menatap sorot Karin dengan dalam.

"Awas Mas!" Karin mendorong dada Mahen dengan pelan.

Lelaki itu tersenyum dan mengecup bibir Karin lembut.

"Kamu keluar tanpa ijin dari saya? Sudah saya bilang kalau kemana-mana kabari saya dulu, Karin. Kamu harus di hukum!" +

Tubuh Karin merinding ketika dirinya di gendong oleh Mahen. Jemarinya menepuk dada Mahen dan kakinya bergerak-gerak minta di turunkan. Baiklah, Karin susah keluar jika begini. Tidak ada jalan keluar juga, jika sudah di genggam oleh Mahendra. Pesona pria matang dan dewasa yang sulit untuk Karin tolak.

1
SGhostter
Gak bosen
·Laius Wytte🔮·
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
Zhunia Angel
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!