Erina (29th) dipaksa Ayahnya bercerai dari suaminya. Erina dipaksa menikah lagi untuk menebus kesalahan Ayahnya yang terbukti telah menggelapkan uang perusahaan.
Agar terbebas dari hukuman penjara, Erina dipaksa menikah dengan Berry, seorang CEO dari perusahaan ternama tempat Ayahnya bekerja.
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya,
"Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku! Aku akan memberimu keturunan dan kebahagiaan yang tidak kau peroleh dari suamimu." pinta Berry tanpa peduli dengan perasaan Erina saat itu.
Bagaimana Erina menghadapi polemik ini? Bagaimana pula reaksi suami Erina ketika dipaksa bercerai oleh mertuanya sebagai syarat agar Erina bisa menikah lagi?
Yuk baca kisah selengkapnya, seru dan menegangkan! Happy reading!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 Keberanian Erina
Sementara di tempat lain, Razan mengantar Erina sampai rumah.
"Maafkan Ibu, Raz. Kamu pulang sampai selarut ini," Erina merasa tidak enak hati.
"Biasa saja Bu. Tidak apa-apa. Lagi pula tidak akan ada orang yang akan mengkhawatirkan Razan. Termasuk Papa. Dia terlalu sibuk. Kadang Papa ga pulang ke rumah. Razan merasa sendiri selama ini. Tapi sekarang engga lagi. Razan sudah punya Bu Erin yang mau jadi teman Razan. Bu... seandainya Bu Erin belum menikah, Razan mau jadi anak Ibu saja. Bagi Razan, Bu Erin adalah sosok Ibu yang baik buat masa depan Razan,"
Erina menatap Razan dengan sendu. Matanya mengembun. Ada rasa kasihan pada anak didiknya itu, yang tidak memperoleh kasih sayang dari orang tuanya sehingga anak tersebut mencari kesenangan dan perhatian dari orang lain.
"Tapi itu tidak mungkin ya Bu? Razan hanya bisa jadi anak didik Ibu tidak bisa jadi anak sambung Ibu..." sambungnya lagi.
Kini Razan menatap depan lalu menunduk pasrah. Kedua tangannya masih berada di atas stir mobil.
Erina hanya bergeming. Dia merasakan sesuatu yang sangat rapuh. Dia pernah ada di posisi ini saat ditinggalkan ibunya beberapa tahun yang lalu. Ibunya meninggal karena kecelakaan tunggal.
"Razan maafkan Ibu jika hanya bisa menjadi Ibu guru saja. Ibu punya suami yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Lagi pula Ibu tidak tahu siapa papamu. Ibu bisa jadi teman kapan pun Razan mau. Tapi kalau untuk jadi Ibu sambung, Ibu tidak bisa. Ibu sangat mencintai suami Ibu."
Razan menatap gurunya dengan sendu lalu tersenyum getir.
"Iya Razan paham Bu. Makasih ya Bu sudah mau hadir di kehidupan Razan dan mau jadi guru Razan,"
Erina tersenyum bangga karena Razan mau mendengar dan menerima ucapannya.
"Sekarang pulanglah ke rumahmu. Walaupun Papamu belum pulang, seorang anak harus berada di rumah jika sudah malam. Tidak boleh keluyuran lagi!" ucap Erina lembut.
"Baik Bu. Terima kasih sudah mau menemani Razan. Hari ini Razan sangat bahagia jalan bersama Ibu,"
Erina tersenyum lagi, "Harusnya Ibu yang berterima kasih karena Razan mau direpotin mencari suami Ibu sampai malam begini. Ya sudah Ibu turun ya!"
Razan mengangguk lalu meraih tangan Erina, mencium tangannya dengan takzim.
Erina tergugu melihat perilaku anak didiknya yang dianggap oleh guru lain sebagai beban, pada kenyataannya anak tersebut memperlihatkan kebaikan yang tak terkira.
Memang menilai seseorang itu tidak hanya dilihat dari satu sisi saja. Ternyata jika seorang guru bisa mengenal anak didiknya dengan baik, mengobrol dan berusaha menjadi teman sampai bisa menyentuh pribadinya, mereka bisa kembali pada fitrahnya sebagai manusia.
Mereka hanya korban dari keegoisan orang tua yang seolah tidak peduli pada anaknya, sehingga mereka harus kehilangan momen penting dalam hidupnya.
Erina berdiri melambaikan tangannya saat mobil itu bergerak meninggalkannya. Seraya menuju rumahnya yang masih terlihat sepi sejak ditinggalkan tadi siang.
"Ternyata kamu belum pulang, Bang," gumam Erina membatin.
Erina menghela nafasnya dengan pelan. Sepi, tidak ada suami yang biasa menyambut dengan senyuman dan tidak ada celotehan anak kecil yang selalu menyambutnya dengan pelukan saat pulang sekolah.
"Ya ampun, sampai lupa jemput Alana. Pasti Alana sudah tidur sekarang."
Erina baru menyadari saat dia tidak menemukan siapa pun di rumahnya termasuk Alana, anak angkatnya. Dia langsung menghubungi pengasuh Alana.
"Teh, Alana sudah tidur ya?"
"Iya Bu. Biarin tidur sini aja ya Bu! Kasihan sudah malam. Tidak baik kena angin malam," jawab pengasuh pengertian.
"Ya sudah Ibu titip Alana dulu ya!"
"Iya Bu,"
Ponsel pun dimatikan setelah keduanya mengucap salam.
Erina bersandar di sofa. Hari yang melelahkan baginya. Matanya dipejamkan sesaat saja karena malam itu ada seseorang yang masuk rumahnya tanpa memberi salam.
"Mana suami kamu?" tanya seorang wanita setengah baya dengan berpakaian daster namun wajahnya bermike up tebal.
"Ya Allah Bu, tidak bisakah memberi salam terlebih dahulu sebelum masuk rumah? bikin kaget saja," protes Erina kesal.
Kedatangan ibu sambungnya malam itu membuatnya merasa terganggu.
"Halaaah kan masuk rumah anak sendiri. Ya anggap saja rumah sendiri."
Erina menarik nafas dalam-dalam. Jadi percuma berdebat dengan ibu sambungnya, pasti akan sia-sia.
"Mana suami kamu?" tanya Surmi lagi.
"Belum pulang Bu,"
"Ya ampun jam segini belum pulang? Suami macam apa dia, jam segini belum pulang? Apa kamu tidak curiga?"
"Curiga apa sih Bu? Dia pergi mencari nafkah halal kok,"
"Kamu tuh polos banget jadi orang. Cerdas tapi bodoh. Pikir pake otak, suami kalau pulang larut bahkan ga pulang, dia pasti punya selingkuhan,"
"Maaf ya Bu. Sebenarnya tujuan Ibu ke sini itu mau apa? Kalau mau menghujat suamiku lebih baik ibu pulang saja."
"Kamu ngusir Ibu?"
"Bukan ngusir tapi mengingatkan saja khawatir ucapan Ibu yang tadi benar kalau pasangan pulang larut malam punya indikasi selingkuh. Makanya Bu mending pulang saja dari pada dituduh selingkuh akan repot nantinya," ujar Erina cukup menohok.
Erina masih berbicara dengan suara rendah sambil memijat pelipisnya yang terasa pening. Ia terlalu lelah malam ini, butuh istirahat apalagi besok harus bekerja kembali.
"Itu tidak berlaku padaku!" ujarnya menampik perkataan Erina.
"Ya sudah kalau gitu tujuan Ibu ke sini mau apa?" tanya Erina yang sebenarnya sudah jengah dengan keberadaan ibu sambung,nya saat ini.
"Apalagi kalau mau memaksamu untuk bercerai dengan suamimu yang ga berguna itu! Dasar benalu! Nyusahin bikin repot saja, huh!"
Erina sudah cukup menekan sabar, karena suaminya sering diremehkan. Seraya membuka pintu depan.
"Silakan Ibu keluar sekarang! Jangan pernah datang lagi kalau Ibu masih meremehkan suamiku!" titah Erina cukup berani.
Sebelumnya Erina lebih menghargai ibu sambungnya, namun hal itu perlahan mengikis karena ibu sambungnya benar-benar sudah memperdaya ayahnya untuk melakukan korupsi di perusahaan.
"Kamu berani sama Ibu? Akan Ibu adukan hal ini pada bapakmu. Dasar anak ga tahu diuntung. Dikasih Sultan malah nolak. Bodoh...bodoh... Kamu pengennya hidup miskin mulu?"
"Keluar!" Titah Erina setengah berteriak.
Surmi masih saja tidak bisa diam, dia masih berbicara yang tidak penting. Dia masih berusaha mempengaruhi anak sambungnya.
"Jadi orang miskin itu capek Rin, makanya kamu harus tahu diri, terima Tuan Berry jadi suamimu, maka kehidupanmu akan berubah 99 derajat. Kita bakalan tajir melintir.....eeeh ibu belum selesai ngomong!"
Lengan Ibu sambungnya dipaksa keluar oleh Erina. Dia sudah tidak peduli Bu Surmi mengadu pada ayahnya. Hatinya sudah terlanjur sakit karena orang tuanya lebih memihak pada istrinya dari pada anak sendiri.
Erina menahan tangis di balik pintu depan. Dia merasa ujiannya begitu berat. Haruskah ia pasrah dengan keadaan untuk membuat suaminya terbebas dari ancaman dan ejekan keluarganya?
Bahkan suaminya sampai malam ini pun belum pulang. Dia khawatir orang -orang terdekat yang membuat suaminya celaka. Ia merasa tidak sanggup jika harus kehilangan suaminya.
"Tidak...tidak...aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu Bang. Kamu harus pulang dengan selamat. Tapi kamu sekarang ada di mana?" monolognya dalam hati sambil tergugu sedih karena sampai saat ini belum tahu keberadaan suaminya.
nahh lohh Bu Emmi ... bersiap lahh
Tenang Bu gurumu ngk kan biarkan mu pergii
gimana dia bisa di atur kalau papanya aja ngk ngertii
Byk yg gk suka ma razan apalg guru” pdhl mereka bs aja dipecat dan dikluarkan sm papa razan