bagaimana jadinya jika seorang gadis desa yang sering dirundung oleh teman sekolahnya memilih untuk mengakhiri hidup? Namun, siapa sangka dari kejadian itu hidupnya berubah drastis hingga bisa membalaskan sakit hatinya kepada semua orang yang dulu melukainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mas Bri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Setelah membaik, dia diantar pulang oleh beberapa warga yang menolongnya. Namun Ayu tidak mau karena takut ibunya khawatir, dia sampai memohon-mohon. Ayu ingin pulang sendiri, tetapi warga tidak mau kejadian seperti tadi terulang lagi. Mereka akhirnya sepakat mengantar Ayu hanya sampai di depan rumah saja dan dia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
“Sudah pulang?” tanya Lina begitu anaknya memasuki rumah.
Ayu terlihat terkejut mendengar suara ibunya. “I-iya, Bu.”
Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya agar ibunya tidak tahu. Setelah selesai Ayu langsung menuju dapur yang hanya dibatasi selembar papan untuk memisahkan ruang tamu dan dapur.
“Ibu sudah masak, cepat makan.” Lina masih fokus dengan kayu bakarnya. Dia sedang memasak air untuk mereka minum.
“Ibu sudah makan?” kini gadis itu tanya balik ke ibunya.
“Kamu makan saja, ibu sudah kenyang. Tadi di ladang sudah makan dengan yang lain.”
Ayu sudah curiga dengan ibunya. Rasanya tidak mungkin kalau ibunya kenyang, sedangkan di ladang mereka hanya dapat makan satu kali dan ini sudah sore hari.
Dia buka tudung saji di atas meja kayu yang sudah reyot. Hanya ada sepiring nasi dan lauk tempe. Ayu tahu jika ibunya juga belum makan.
Diambilnya satu piring nasi dan lauknya, lalu dia bawa ke depan Lina. “Ibu, ayo kita makan berdua. Ayu kangen Ibu suapin seperti dulu,” ujar Ayu. Dia hanya mencari alasan agar ibunya mau makan bersama dengannya.
Tidak terasa buliran bening jatuh membasahi pipi Lina. Lina bukan orang bodoh yang tidak tahu maksud sang anak. Dengan senang hati dia makan bersama buah hatinya sambil bercerita agar Ayu tidak bersedih lagi.
Di sela-sela makannya, Ayu menyampaikan maksudnya untuk pindah sekolah. Meski rasanya berat karena biayanya tidak akan sedikit, tapi dia ingin sekolah yang tenang. Apalagi setelah ini dia akan menghadapi ujian kelulusan sekolah menengah pertama.
“Kenapa pindah, Yu. Sayang kalau kamu pindah, beasiswa kamu nanti hilang,” ujar Lina masih dengan kegiatan makannya.
“Ayu sudah nggak kuat lagi, Bu.”
Tangan Lina berhenti menyendokkan nasi. Wajahnya nampak bingung mendengar pernyataan anaknya. “Apanya yang nggak kuat? Memangnya kamu kenapa di sekolah?”
“Ayu … Ayu … Ayu sering dirundung sama teman sekelas Ayu, Bu.”
Jatuh sudah sendok dalam genggamannya. Lina tidak pernah menyangka anaknya akan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas di sekolah. Dia pikir selama ini baik-baik saja, tapi nyatanya dia salah. Ayu, anak semata wayangnya telah menderita. Ayu menceritakan semua kejadian sejak dia memasuki sekolah itu. Bagaimana mereka memperlakukannya seperti hewan, bahkan lebih dari itu.
Tangis Lina semakin pecah mendengar anaknya ingin mengakhiri hidup. Dia raih punggung gadis kecil itu, dia peluk erat sambil mengucapkan kata-kata penyemangat untuk sang anak agar tetap bertahan dan tidak berpikir untuk melakukannya lagi.
“Besok ibu urus kepindahan kamu sekalian ibu carikan sekolah baru yang dekat dengan rumah.”
“Tapi biayanya bagaimana, Bu? Jika pindah sekolah pasti butuh uang banyak di sekolah baru.”
Wajah Ayu terlihat begitu sedih mengingat dirinya bukan orang yang mampu. Hidup serba kekurangan membuatnya lebih banyak berhemat dan lebih sering tidak makan.
“Jangan pikirkan itu. Ibu ada simpanan sedikit, cukup untuk sekolah kamu,” balas Lina menenangkan anaknya.
.
.
.
Tidak butuh waktu lama untuk dirinya mengurus kepindahan sang anak. Meskipun awalnya sedikit sulit karena sudah kelas tiga, tapi itu semua bisa Lina atasi. Kini Ayu bisa sekolah yang lebih dekat dengan rumahnya dan bisa tenang dalam belajar. Tidak ada perundung atau geng-gengan lagi. Semua temannya sangat baik kepada Ayu.
Sedangkan ditempat lain, Juan dan anak-anak yang lainnya dikejutkan dengan berita Ayu yang pindah sekolah. Bahkan ada kabar kalau dia sempat melakukan bunuh diri terjun ke sungai, tetapi digagalkan oleh orang yang mengetahuinya. Hal itu membuat semua anak yang merundungnya merasa ketakutan. Mereka tidak menyangka gadis polos itu akan berbuat hal yang nekat.
Terlebih Juan dan Dimas, mereka berdua merasa sangat bersalah kepada Ayu. Setelah mendengar berita itu, sepulang sekolah Juan langsung pergi ke rumah Ayu untuk mencari kebenarannya. Sayangnya, sesampainya di rumah ayu, dia mendapati rumahnya kosong. Menurut tetangga sekitar, ibu dan anak itu pindah rumah dan tidak ada satupun yang tahu mereka pindah ke mana.
Rasa bersalah pun menghantui Juan sejak hari itu. Dirinya tidak menyangka perbuatannya hampir merenggut nyawa orang lain. Bahkan membuat seluruh keluarganya merasa sakit. Tidak terasa butiran kristal itu membendung di pelupuk matanya. Tubuhnya bergetar hebat menahan isak tangis yang hampir tak terdengar suaranya. Rasa sesak memenuhi seluruh ruang di dadanya. Juan hanya bisa menangis penuh penyesalan. “Maaf … maafkan aku. Aku sudah keterlaluan. Maaf,” lirihnya pelan di depan rumah Ayu yang kini sudah tak berpenghuni. Berharap gadis itu mendengar permintaan maafnya.