Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendadak Cemburu
Hari ini langit sedikit mendung, namun suasana di dalam aula kegiatan tetap semarak. Klub sosial kami mengadakan workshop mini bertema 'Eco Living Made Simple', yang merupakan dari program Green Campus yang sudah kami jalankan sejak awal September. Kegiatan hari ini cukup sederhana—membuat sabun ramah lingkungan berbahan alami. Ada sekitar dua puluh peserta dari berbagai jurusan, dan seperti yang sudah kuduga, kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Mungkin karena tahu Nick akan ada dalam kegiatan kali ini.
Aku dan beberapa anggota klub lainnya, termasuk Nick bertugas mendampingi peserta. Sayangnya, karena jumlah anggota klub yang tidak sebanding dengan peserta, sebagian dari kami harus berbagi tugas. Dan kebetulan aku mendapat bagian mengurus perlengkapan dan dokumentasi, bersama beberapa anggota lainnya. Itu berarti aku cukup bebas bergerak, tapi juga cukup sibuk untuk punya waktu berbincang dengan siapapun, termasuk Nick. Kali ini Nick mendapat bagian untuk mendampingi salah satu peserta.
Dari jauh aku melihatnya bersama seorang mahasiswa perempuan—mahasiswi fakultas seni berambut merah anggur dengan kuku panjang dan makeup yang terlalu sempurna untuk kegiatan membuat sabun. Mahasiswi itu tampak sangat menikmati kebersamaan dengan Nick—tertawa setiap kali Nick bicara, bahkan menyentuh lengan Nick beberapa kali dengan dalih 'butuh bantuan'.
Aku tahu hal tersebut seharusnya bukan masalah. Kami bahkan belum... apa-apa. Namun, nyatanya ada sensasi aneh di dadaku yang menekan seperti tangan tak kasat mata. Rasanya seperti sangat tidak menyenangkan—membuatku kesal. Seperti ingin pergi dari sini dan berpura-pura tidak pernah melihat mereka.
Apa mungkin aku sedang... cemburu?
Aku berusaha fokus dengan tugasku. Mencatat berbagai perlengkapan yang digunakan oleh peserta. Tapi, setiap kali aku melirik ke arah Nick, entah kenapa dia juga sedang menoleh ke arahku. Pandangan kami beberapa kali bertemu. Namun, aku buru-buru mengalihkan mata, berpura-pura sibuk dengan buku catatanku.
Lalu, saat aku mengangkat wajahku lagi, mataku menangkap Nick dan mahasiswi seni itu tertawa bersama. Kini, Nick bahkan sedang membenarkan sarung tangan yang dikenakan mahasiswi itu—dan mahasiswi itu memanfaatkan momen tersebut untuk menggoda Nick lagi—membisikkan sesuatu di telinga Nick. Entah apa yang sedang ia bicarakan. Yang jelas, Nick langsung tertawa. Tawa yang lepas, hangat dan familiar. Tawa yang biasanya kudengar saat kami mengobrol berdua. Tawa yang biasanya menyenangkan, namun kini justru terdengar seperti ejekan tak sengaja—menampar sisi hatiku yang sedang tidak baik-baik saja.
Aku menggigit bibir, mengalihkan pandanganku. Tapi suara tawa mereka seperti gema yang tak kunjung pergi. Mengendap di benakku. Semakin menumbuhkan perasaan yang terasa tidak menyenangkan itu–rasa panas di dadaku yang sulit dijelaskan. Perasaan yang bahkan aku tak yakin apakah aku mempunyai hak untuk merasakannya pada Nick.
Kegiatan workshop mini hari ini berakhir saat waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Wajah langit tampak semakin muram, ketika kami melaksanakan rapat evaluasi di ruang klub sosial. Seperti biasa, Nick sebagai project leader berdiri di depan para anggota klub untuk membuka rapat.
Sementara aku duduk di barisan paling belakang, sengaja mengambil jarak. Biasanya aku suka melihat Nick bicara—karismanya, pesonanya, ketenangan suaranya, cara dia melibatkan semua anggota. Tapi kali ini aku tidak bisa benar-benar mendengarkannya. Sebab, aku terus saja teringat bagaimana Nick tertawa lepas bersama mahasiswi seni siang tadi.
Setelah rapat evaluasi selesai, semua anggota tampak mulai membubarkan diri dari ruangan. Di luar sana, tampak hujan turun begitu derasnya—hujan pertama di bulan September ini. Aku berdiri di depan pintu ruangan, menatap rintik air yang membasahi jalanan di sekitar ruangan klub sosial.
Hari ini aku tidak membawa payung. Jelas saja. Bahkan aku tidak menyangka kalau hari ini akan turun hujan. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu hujan agak reda saja–bersama beberapa anggota klub lainnya. Aku tidak mau tiba di asrama dalam kondisi basah kuyup. Apalagi kalau sampai harus terkena demam atau flu. Itu akan sangat merepotkan.
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba Nick muncul di sebelahku, membawa payung lipat berwarna hitam dengan tulisan 'Klub Sosial–University of Florida. Sepertinya payung itu milik klub sosial kami.
"Belum pulang?", tanyanya, terdengar santai.
"Belum. Hujan.", jawabku cepat, tanpa menoleh.
"Ini payung terakhir di rak.", katanya, mengangkat payung tersebut. "Mau ku antar?"
Aku pun menggeleng, dengan perasaan yang masih... kesal. Apalagi melihat sikap manis Nick. Hal tersebut kembali mengingatkanku akan sikap manisnya pada mahasiswi seni siang tadi. Atau mungkin Nick selama ini memang sering bersikap manis pada mahasiswi-mahasiswi lainnya?
"Tidak. Pakai saja! Aku bisa menunggu.", kataku lagi, penuh nada kesinisan.
Nick menatapku beberapa detik sebelum menghela nafas. Lalu, dia menghampiri dua anggota klub di ujung sana, yang sedang menunggu hujan reda, sepertiku. Ia memberikan payung ditangannya pada mereka, kemudian kembali menghampiriku.
"Kenapa kamu malah memberikan payung itu pada mereka?", protesku, memicingkan mata.
Nick tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Biar aku bisa menemanimu disini.", jawabnya, berhasil membuat jantungku kembali melonjak.
Kemudian, Nick duduk tepat di sebelahku. Ia mencoba membangun suasana di antara kami. "Hmm, bukankah kegiatan hari ini cukup menyenangkan, Nora? Apa kamu menikmatinya?", tanya Nick.
Aku mendengus pelan. "Ya, meskipun aku tidak bisa mengikuti kegiatan membuat sabun yang romantis, sepertimu dan mahasiswi seni itu."
Ucapanku keluar begitu saja. Aku bahkan tak percaya bahwa aku mengatakannya keras-keras.
Nick tertawa kecil. "Jadi, menurutmu itu romantis ya?"
Aku membuang muka. Menyesali perkataanku.
"Nora! Kenapa aku merasa kami sepertinya... cemburu?", kata Nick lagi. Membuatku tersipu malu.
"Tentu saja tidak! Lupakan ucapanku tadi. Aku hanya asal bicara.", kataku, berusaha menyangkal tuduhannya.
Nick tertawa lagi. "Benarkah?"
Aku tidak menjawabnya. Saat ini wajahku terasa panas. Aku pun langsung bangkit dari posisi dudukku, melangkah cepat menerobos hujan tanpa pikir panjang. Semua kulakukan untuk menghindari pembicaraan yang terjadi di antara kami.
"Nora!", seru Nick.
Beberapa detik kemudian, kurasakan sesuatu menaungi kepalaku. Ternyata itu jaket Nick. Dia menutupiku dengan setengah tubuhnya, berlari kecil bersamaku menuju asrama.
Nick menatapku sebentar, lalu berkata pelan. "Jika boleh memilih, aku akan lebih senang melakukan kegiatan hari ini denganmu."
Aku sontak menoleh—pandangan kami pun bertemu. Dan, dunia di sekitar kami pun seperti mendadak hening. Aku tidak menyangka Nick akan mengatakan hal semacam itu—membuat pipiku merah merona.
Entah kenapa rasa kesal—atau mungkin cemburu, yang kurasakan beberapa saat lalu lenyap seketika. Tergantikan dengan perasaan yang membuat hatiku berbunga-bunga. Membuatku tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahku yang basah oleh air hujan. Entah Nick menyadarinya atau tidak.
Kami berlari dalam diam, dengan jarak yang sangat dekat. Nafasku pun tercekat saat bahunya menyentuh bahuku. Hingga akhirnya, tibalah kami di depan asrama.
"Trims.", kataku, masih tak berani menatapnya.
"Sama-sama, Nora.", jawab Nick dengan suara yang hangat.
"Aku masuk dulu. Berhati-hatilah saat mengemudi!", kataku, lalu membalikkan badanku untuk segera melangkahkan kaki menuju ke dalam asrama.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan memegang salah satu tanganku—menghentikan langkah kakiku. "Nora!", serunya.
Aku refleks menoleh. Nick tidak langsung bicara. Hanya tatapan matanya yang dalam, seperti sedang mencari keberanian. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku serius dengan ucapanku. Aku lebih senang menghabiskan sebagian besar waktuku...bersamamu. Sungguh.", katanya, membuat jantungku berdetak cepat.
Kami terdiam. Hanya suara hujan yang mengisi jeda di antara kami berdua.
"Aku pergi dulu. Sampai jumpa, Nora!", ucap Nick, lalu beranjak pergi meninggalkan halaman depan asrama.
"Wah, Romantis sekali, Nora. Bahkan selama aku tinggal di asrama ini, belum pernah sekalipun ada seorang pria yang mengantarku saat hujan, dengan jaketnya.", goda Nina, saat aku masuk ke dalam kamar.
"Tidak ada hal romantis yang terjadi di antara kami, Nina.", sergahku.
"Hmm, benarkah? Lalu, bagaimana dengan ini?", tanya Nina, sambil menunjukkan foto pada layar laptopnya.
Itu adalah fotoku dan Nick—saat kegiatan membuat produk ramah lingkungan sekitar seminggu yang lalu. Saat wajahku terkena cat dan Nick membantuku membersihkannya. Wajah kami... terlalu dekat. Dan sorot mata Nick—aku bisa merasakannya, bahkan hanya dari sebuah foto.
"Kalian pasti tidak sadar saat aku memotretnya. Tapi, justru itu yang membuat foto ini tampak semakin natural. Manis dan hangat.", kata Nina.
"Ya. Tapi kurasa dia juga bersikap manis dan hangat pada siapapun. Seperti hari ini.", gumamku.
"Hei! Jangan bilang kamu sedang cemburu, Nora!", sahut Nina, sambil tersenyum jahat.
"Entahlah, Nina. Hanya merasa kesal saja melihatnya."
Nina langsung menghampiriku, memegang kedua tanganku. "Nora, kurasa kamu memang sedang cemburu. Tidak apa-apa. Rasakan apapun yang ingin hatimu rasakan, jangan menghalanginya. Dengan begitu, kamu akan bisa menemukan jawaban atas perasaanmu yang sebenarnya pada Nick.", katanya, menatapku hangat.
"Tapi, jauh di dalam hatiku masih ada kekhawatiran, Nina. Kenangan masa lalu itu belum sepenuhnya hilang."
"Tidak masalah, Nora. Mungkin, itu akan membuat lebih berhati-hati untuk jatuh cinta pada siapa. Kamu hanya perlu membiarkan waktu untuk menghapus kekhawatiranmu itu."
"Trims, Nina.", kataku, lalu Nina memberiku sebuah pelukan hangat yang menenangkan.
Setelah membersihkan tubuhku yang kotor dan basah karena telah beraktivitas seharian dan kehujanan, aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Sementara Nina tampak sudah terlelap entah sejak kapan. Lalu, tiba-tiba aku teringat Jenny. Aku sangat merindukannya. Aku menyambar ponselku yang ada di atas nakas samping tempat tidur untuk mengirim sebuah pesan padanya—sebab, aku tidak bisa menelfon Jenny dan membuat Nina terbangun.
'Hai, Jenny! Aku merindukanmu'
Tidak butuh waktu lama untuk Jenny membalas pesan dariku.
'Hai, Nora! Aku juga sangat merindukanmu.'
'Bagaimana kabarmu?'
'Tidak pernah lebih baik. Apalagi tanpamu disini. Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu menikmati hari-harimu berkuliah disana?'
'Kuliah disini rasanya menyenangkan juga. Meskipun, akan jauh lebih menyenangkan, andai kamu juga ada disini bersamaku, Jenn.'
'Hmm, andai aku bisa pindah kuliah kesana. Meskipun, Ibu jelas akan memarahiku habis-habisan (emotikon tertawa)'
'Jangan berani mencobanya (emotikon tertawa terbahak-bahak)'
'Lalu, bagaimana perkembangan hubunganmu dan pria populer di kampus barumu itu? Kamu belum menceritakannya lagi.'
'Entahlah. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padanya.'
'Wah. Berita yang benar-benar menarik. Apa kalian sudah berpacaran?'
'Tentu saja belum, Jen. Dia bahkan belum menyatakan perasannya padaku sekalipun.'
'Hmm, kurasa kamu harus memancingnya. Dia benar-benar tipe pria lembut, polos dan baik-baik. Dia terlalu berhati-hati.'
'Tapi dia sering membuat tersipu dan salah tingkah.'
'Benarkah? Seperti apa?'
'Bersikap manis, tersenyum hangat, membantuku mengusap noda cat yang ada di pipiku, dan mengatakan bahwa dia lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya bersamaku. Bahkan minggu lalu, aku tidak sengaja melihatnya bertelanjang dada saat berganti baju di ruangan klub kami. Oh ya, aku pasti belum memberitahumu kalau kami bergabung dalam klub yang sama.'
'Ya Tuhan! Nora! Lalu bagaimana? Apakah dia seksi?'
'Sangat (emotikon tertawa jahat)'
'Benarkah? Kalau begitu kamu tidak boleh melepasnya, Nora. Dia tipemu dan juga sangat... seksi.'
'Haha. Tapi aku tidak ingin terlihat gampangan.'
'Tentu saja, jangan! Kamu bisa memancingnya, tanpa harus menunjukkan perasaanmu padanya. Lakukan seperti yang pernah kuajarkan padamu dulu!'
'Baiklah, Profesor Cinta! (emoticon tertawa)'
'Aku tidak sabar mendengar perkembangan hubungan kalian lagi.'
'Kalau begitu aku akan memberitahumu nanti.'
'Berjanjilah!'
'Baiklah, aku janji!'
'Wah, sepertinya malam ini aku akan tidur nyenyak. Kamu memberitahuku sebuah kabar yang sangat menarik.'
'Haha. Baiklah. Tidurlah, Jenn! Mungkin lain kali kita bisa mengobrol lewat panggilan telepon.'
'Baiklah. Selamat malam, Nora! Aku menyayangimu.
'Selamat malam, Jenn. Aku menyayangimu juga.'
Obrolan kami lewat pesan pun berakhir. Aku mulai merasakan kantuk, sebab hari sudah semakin larut dan tubuhku merasa cukup lelah karena kegiatan klub sosial hari ini. Aku meletakkan kembali ponselku di atas nakas, lalu bergegas tidur.