NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Mulainya Kepedulian

Setelah membayar di kasir, Rayven menatap kantong belanjaan di tangannya sejenak. Suara kasir yang ramah, lampu supermarket yang terang, semua terasa kontras dengan malam yang hening di luar. Ia menyalakan motornya lagi, menatap jalanan gelap di depannya. Suara deru motor terdengar lebih pelan sekarang, tapi pikirannya tetap sibuk memikirkan Alendra.

Setiap lampu jalan yang dilewatinya seakan menjadi saksi bisu perjuangannya—janji tanggung jawab, penyesalan atas masa lalu, dan tekad untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi ayah dan pasangan yang dapat diandalkan. Rayven menekan gas sedikit lebih kencang, tapi tetap hati-hati, karena ia tahu, apapun yang ia lakukan malam itu, yang terpenting adalah masa depan Alendra dan anak mereka.

Di sepanjang perjalanan pulang, ia tak lepas memikirkan Alendra—bagaimana perasaannya, apakah ia takut, apakah ia masih kecewa, dan bagaimana ia bisa menenangkan hati gadis itu perlahan-lahan. Rayven menarik napas panjang, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa besok adalah langkah pertama untuk menghadapi orangtuanya, menghadapi konsekuensi dari perbuatannya, dan menjaga Alendra sebaik mungkin.

Sesampainya di apartement ya apartement tak mungkin Rayven pulang ke rumah, Rayven meletakkan kantong belanjaan di ruang tamu. Ia menatapnya sebentar, membayangkan bagaimana Alendra akan tersenyum melihat semua susu ibu hamil itu. Ia tahu itu tidak akan menghapus semua luka, tapi setidaknya menunjukkan bahwa ia peduli, bahwa ia serius menanggung tanggung jawabnya.

Rayven duduk di sofa, lelah tapi tidak bisa sepenuhnya rileks. Matanya menatap langit-langit, pikirannya melayang ke malam sebelumnya, ke kata-kata yang baru saja ia ucapkan di taman. Ia tahu besok adalah hari penting—harus jujur kepada orangtuanya dulu, mengaku kesalahannya, menghadapi konsekuensi, baru kemudian bicara lebih lanjut dengan Alendra tentang langkah-langkah berikutnya.

Di malam yang sunyi itu, Rayven merasakan beban berat di pundaknya—beban yang ia pilih untuk diemban sendiri demi masa depan yang lebih baik bagi Alendra dan anak mereka. Namun, di balik semua rasa bersalah dan penyesalan, ada tekad yang menguat: tekad untuk tidak lari, tekad untuk menebus kesalahan, dan tekad untuk menjaga Alendra dengan sepenuh hati.

Ia menatap kantong belanjaan lagi, tersenyum tipis, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Besok gue bakal jujur… gue bakal tanggung jawab. Lo nggak bakal sendirian lagi, Len. Gue janji.”

Rayven kemudian memutuskan untuk tidur sebentar, meski pikirannya tetap terjaga. Malam itu ia tahu, besok adalah awal dari babak baru—awal dari tanggung jawab yang tak bisa dihindari, tapi juga awal dari kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

“Lho, Len… udah pulang?” tanya Larissa ketika keluar dari kamar, melihat anak sulungnya duduk di sofa usang rumah mereka.

“Hehehe… iya, Bu. Maaf ya jadi bikin Ibu bangun,” jawab Alendra, tersenyum tipis meski lelah.

“Ngomong apa si kamu, ibu kan biasa bangun tengah malam gini,” sahut Larissa sambil menepuk bahu Alendra dengan lembut.

Alendra menoleh, tersenyum canggung. “Gimana hari ini, Bu? Perutnya nggak sakit atau kram-kram gitu?” tanya Larissa, suaranya penuh kekhawatiran sebagai seorang ibu yang peduli dengan kandungan anaknya.

“Enggak kok, Bu. Aman… tadi vitamin dari dokter juga udah aku minum. InsyaAllah baik-baik aja,” jawab Alendra, mencoba menenangkan hati ibunya.

Larissa menghela napas panjang, duduk di sebelah Alendra, matanya menatap wajah anaknya penuh kasih sayang dan kekhawatiran. “Sebenarnya, Ibu mau kamu berhenti kerja di cafe, Len. Ibu khawatir sama kamu… sama kandunganmu. Kerja sampai malam terus besoknya sekolah lagi… Ibu takut kamu kecapean. InsyaAllah, Ibu dan Ayah masih bisa biayai kamu sama anakmu. Kamu nggak perlu repot-repot kerja keras malam-malam.”

Alendra tersenyum pahit, menundukkan kepala sebentar. “Ibu, tenang aja… Alendra nggak papa. Aku masih mau bantuin Ibu sama Ayah. Aku… aku cuma pengin bisa sedikit meringankan beban. Lagipula, kerja di cafe juga bikin aku belajar banyak hal.”

Larissa mengerutkan alisnya, matanya lembut tapi khawatir. “Len… Ibu ngerti maksud kamu, tapi ini soal kesehatanmu dan anakmu. Aku nggak mau kamu terlalu memaksakan diri. Aku nggak mau lihat kamu sampai kelelahan, atau sampai sesuatu terjadi sama bayi di kandunganmu.”

Alendra menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan ibunya. “Bu… aku ngerti kekhawatiran Ibu. Tapi aku janji… aku bakal jaga diri. Aku nggak akan sampai terlalu capek atau sakit. Aku cuma… pengin merasa bisa berguna, Bu. Aku nggak mau cuma duduk-duduk aja tanpa bantuin sama sekali.”

Larissa menatap mata Alendra, membaca ketulusan di sana. Ia tersenyum tipis, meski hatinya masih berat. “Baiklah, Len… kalau memang kamu yakin… Ibu cuma mau kamu hati-hati ya. Jangan sampai ada apa-apa. Janji sama Ibu?”

“Janji, Bu. Aku bakal hati-hati,” ucap Alendra sambil tersenyum, mencoba menenangkan hati ibunya.

Larissa menghela napas lagi, kemudian memeluk Alendra perlahan. “Ya Allah… anak Ibu… semoga Allah selalu lindungi kamu dan anakmu. Ibu percaya sama kamu.”

Alendra menunduk dalam pelukan ibunya, menahan campuran emosi—lega karena ibunya masih percaya, tapi juga sedih karena harus menyimpan rahasia yang berat tentang masa depan anaknya dan hubungannya dengan Rayven.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan. Alendra berdiri, menata diri, dan berkata, “Sekarang aku mau tidur dulu, Bu. Besok pagi masih sekolah dan harus siap. Tapi… makasih ya, Bu, udah ngerti aku.”

Larissa tersenyum lelah tapi hangat. “Tidur yang nyenyak, Len… dan ingat ya, kalau ada apa-apa langsung bilang sama Ibu. Jangan ditahan sendiri.”

Alendra mengangguk, tersenyum tipis, lalu berjalan ke kamar. Pikirannya melayang kembali ke malam tadi di taman, ke percakapan dengan Rayven, dan ke janji tanggung jawab yang baru saja mereka buat. Di balik semua lelah dan kekhawatiran, ada rasa lega—setidaknya ada seseorang yang percaya padanya, ada secercah harapan untuk masa depan anaknya, dan ada janji yang harus ia pegang erat.

Di kamar, Alendra menyalakan lampu kecil di meja belajar, duduk sejenak sambil menatap langit-langit. Ia memikirkan langkah selanjutnya—bagaimana menghadapi Rayven, bagaimana memastikan anaknya aman, dan bagaimana menyeimbangkan sekolah, pekerjaan, dan tanggung jawab yang semakin nyata. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berbisik pelan pada diri sendiri, “Aku harus kuat… aku harus ikhlas… demi anakku, demi masa depanku, dan demi masa depan kita.”

Setelah beberapa menit merenung, Alendra menata tempat tidurnya, menarik selimut, dan berbaring. Walaupun lelah, pikirannya tak bisa sepenuhnya tenang. Ia tahu, besok adalah hari baru, penuh tantangan baru, dan keputusan yang harus diambil—terutama tentang bagaimana ia akan menghadapi Rayven dan memastikan semua tanggung jawab dipenuhi dengan benar.

Di luar jendela, suara malam yang sepi menenangkan hati Alendra. Angin lembut mengibas gorden, seakan membawa harapan baru meski malam itu masih panjang dan penuh kerikil emosional. Alendra menutup mata, berusaha tidur, namun di balik lelapnya, pikirannya tetap pada Rayven, anaknya, dan masa depan yang menuntut keberanian dan keteguhan hatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!