Kairos Valente.
Seorang pria yang memiliki masa lalu percintaan yang kelam hingga menambah traumanya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Daddy nya kepada Mommy kandungnya. Kairos Valente mengidap penyakit CPTSD. Pewaris Valente Corp. sebuah dinasti yang dibangun oleh mendiang kakek Valente diwariskan kepada kedua cucunya yaitu Kairos Valente dan Aureliany Valente. Namun, karena Aurel tidak tertarik di dunia bisnis, Valente Corp. dipimpin oleh Kairos Valente. Suatu pertemuan tidak disengaja di suatu malam antara Kairos dan seorang gadis yang bernama Aurora membuatnya tersentuh. Semesta menemukan mereka, obsesi Kairos mendekati gadis itu tumbuh semakin besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seranjang?
Lampu-lampu mall berkilauan, menebar suasana meriah sore itu.
Orang-orang lalu lalang dengan kantong belanja di tangan, musik pop lembut mengalun dari pengeras suara.
Di salah satu butik khusus hadiah dan peralatan rumah, Valeria dan Emily berjalan berdampingan.
Valeria mengayunkan lengannya ringan sambil menatap deretan rak. “Kakak ipar, menurutmu Aurora akan suka apa ya? Aku mikirnya jangan terlalu formal, tapi juga jangan terlalu kekanak-kanakan. Sesuatu yang pas buat anak gadis seumuran dia.”
Emily tersenyum lembut, matanya ikut menelusuri rak berisi boneka hias, buku catatan cantik, hingga perhiasan kecil.
“Aurora sedang dalam masa yang berat. Kalau aku, mungkin pilih sesuatu yang bisa bikin dia merasa dihargai sebagai perempuan. Misalnya parfum lembut, atau selendang hangat.”
Valeria mengangguk-angguk, wajahnya serius mempertimbangkan. “Hmm… parfum itu ide bagus. Tapi aku juga pengen sesuatu yang kalau dia lihat, dia ingat kita. Semacam… tanda kalau dia punya keluarga di sisinya.”
Emily tersenyum, lalu meraih sebuah kotak musik kecil berbentuk hati.
Saat dibuka, denting piano halus terdengar, memainkan melodi klasik menenangkan. “Bagaimana dengan ini? Setiap kali dia dengar, dia tahu ada orang yang peduli.”
Valeria terpana, matanya berbinar. “Wah, itu indah sekali! Kakak ipar memang selalu peka.” Ia menggenggam lengan Emily dengan hangat, benar-benar tampak menyayangi.
“Aku senang kita belanja bareng. Rasanya… punya kakak perempuan yang bisa diajak berbagi.”
Emily terkekeh pelan. “Dan aku juga senang punya adik ipar yang penuh semangat kayak kamu. Aurora beruntung punya kamu di sisinya nanti Val.”
Keduanya kemudian bergerak ke kasir dengan tawa kecil, membawa kotak musik itu serta sebuah scarf lembut berwarna pastel—kado sederhana tapi penuh makna dari seorang ibu untuk gadis yang mereka sayangi.
Matahari sore mulai condong ke barat ketika mereka berjalan keluar dari mall.
Keduanya membawa beberapa kantong belanja, tak terlalu banyak tapi cukup berisi hadiah yang sudah mereka pilih dengan hati-hati.
Suasana di luar mall agak ramai, suara klakson sesekali terdengar dari jalanan yang padat.
“Sepertinya Aurora akan suka,” ujar Emily dengan senyum tenang. “Aku hanya berharap ini bisa sedikit meringankan hatinya.”
Valeria mengangguk, matanya berbinar meski wajahnya tampak memikirkan sesuatu. “Iya, Kakak ipar. Aku juga berharap begitu. Aku ingin Aurora merasa dia tidak sendirian lagi.”
Mereka tiba di area parkir. Valeria menekan kunci mobilnya hingga lampu sedan hitam sederhana itu berkedip. Ia membuka pintu sopir dan menoleh pada Emily.
“Kakak ipar, biar aku saja yang nyetir. Aku tahu jalan ke rumah sakit lebih cepat.”
Emily mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, Val. Aku percaya padamu.”
Begitu mereka masuk ke dalam mobil, suasana hening sesaat hanya diisi suara mesin yang dinyalakan. Valeria meraih setir dengan tenang, lalu melajukan mobil keluar dari parkiran.
Mobil pun melaju membelah jalanan kota, menuju rumah sakit. Di dalamnya, dua wanita itu duduk berdampingan dengan perasaan yang sama.
Valeria dan Emily memasuki lobi rumah sakit dengan langkah yang sedikit tergesa, menenteng beberapa kantong belanja berisi hadiah dan kebutuhan untuk Aurora.
Wajah mereka masih membawa kehangatan dari obrolan di mall tadi, namun kini berganti dengan keseriusan.
Valeria mendekati meja informasi. “Permisi, Bu… pasien atas nama Aurora Ricci, dirawat di ruangan mana ya?” tanyanya sopan.
Petugas mengecek sebentar, lalu menjawab, “Aurora Ricci ada di lantai tiga, kamar nomor 312.”
“Terima kasih,” jawab Emily singkat. Mereka berdua langsung bergegas menuju lift. Suasana di antara mereka sedikit berubah—ada ketegangan, rasa ingin segera memastikan keadaan Aurora.
Sesampainya di depan pintu kamar, Valeria menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk perlahan. Namun begitu pintu terbuka, langkah mereka terhenti mendadak.
Di dalam, terlihat pemandangan yang tak mereka duga. Aurora terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terlihat rapuh dan wajahnya masih pucat.
Namun yang membuat keduanya tertegun adalah sosok Kairos. Lelaki itu berbaring di sisi ranjang, masih mengenakan kemeja yang kini tampak sedikit kusut.
Satu lengannya melingkari Aurora, seolah membentuk pelindung, dan kepalanya bersandar di dekat bahu gadis itu.
Aurora pun tertidur, wajahnya tenang meski masih ada sisa jejak lelah.
Napas mereka berdua berjalan seirama, seakan dunia di luar kamar itu tak ada artinya.
Valeria spontan menahan langkah, matanya melebar. Emily, yang berada di sampingnya, juga sama terdiam. Sesaat keduanya saling pandang, tak ada kata yang keluar.
Suasana ruangan begitu hening, hanya terdengar suara alat medis yang berdetak pelan. Pemandangan itu bagai menampar keras hati mereka.
Kairos yang dikenal dingin dan penuh dominasi tampak begitu manusiawi dan lembut, menjaga Aurora dalam tidurnya.
Emily akhirnya menarik napas, berbisik hampir tak terdengar, “Kairos… dia benar-benar…”
Valeria menggigit bibirnya, setengah bingung antara ingin masuk atau membiarkan keduanya tetap dalam momen itu. Jemarinya meremas kantong belanjaan, sementara sorot matanya tak lepas dari Aurora yang tampak nyaman dalam pelukan Kairos.
Tbc🐼