Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Digrebek Warga
Oliver terpaku sesaat. Ia tidak menyangka akan langsung berhadapan dengan Laras dalam kondisi seperti ini. Bahkan untuk sejenak, ia hanya menatap tanpa bicara. Akhirnya, dengan suara datar namun berusaha terdengar meyakinkan ia berkata, “Aku… datang untuk memeriksa. Kau sudah tiga hari tidak masuk kerja. Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja.”
Laras menunduk sebentar, lalu menjawab pelan, “Saya memang masih sakit, Pak. Surat sakit dari dokter perusahaan… bukannya sudah saya serahkan ke Bu Sita?”
Oliver terdiam, dalam hati ia mengumpat sial, aku lupa soal itu. Namun cepat-cepat ia menutupi rasa kikuknya. Dengan ekspresi angkuh yang biasa ia tampilkan, ia menegakkan badan. “Sebagai pemilik pabrik, tetap kewajibanku memeriksa kondisi karyawan. Jangan berpikir terlalu jauh.”
Laras mengangguk polos, menerima begitu saja ucapannya. “Oh… iya, Pak. Terima kasih sudah repot-repot datang.”
Terjadi keheningan di antara mereka. Biasanya, Laras selalu mempersilakan duduk setiap ada tamu, meski hanya di kursi kayu ruang tamu yang sederhana. Tapi kali ini tidak, ia berdiri di ambang pintu dengan tubuhnya masih lemah, tampak canggung dan tidak tahu harus bagaimana.
Oliver menunggu, tatapannya tak lepas dari wajah pucat Laras.
“Kau… masih demam?” tanyanya tiba-tiba dengan nada suaranya menurun sedikit, nyaris tidak terdengar seperti dirinya yang biasanya.
Laras mengangguk kecil. “Masih agak pusing, Pak. Tapi sudah mendingan.”
Oliver menggenggam jemarinya sendiri di belakang punggung, berusaha menutupi kegelisahan. Ia ingin menawarkan sesuatu seperti membelikan obat, atau sekadar menyuruhnya istirahat tapi gengsinya terlalu tinggi. Yang keluar dari mulutnya malah, “Kalau begitu, cepat sembuh. Jangan terlalu lama bolos kerja. Pabrik tetap butuh tenaga.”
Laras tersenyum tipis. “Iya, Pak.”
Suasana kembali hening. Hanya suara burung gereja di atap rumah yang terdengar. Oliver masih berdiri di sana, merasa aneh. Ia yang biasanya selalu didahulukan dan dilayani, sekarang seperti tidak dianggap. Laras tidak mempersilakan masuk, atau sekedar mengundang untuk duduk. Tanpa dipersilakan, ia langsung masuk melewati tubuh Laras di ambang pintu.
“Pak Oliver!” suara Laras panik. “Jangan masuk sembarangan….”
Oliver menaikkan sebelah alis, menatap ruang sempit dan sofa kecil yang sudah usang. “Kenapa? Takut aku mencuri?” sindirnya dingin.
“Bukan begitu…” Laras berusaha menjelaskan meski kepalanya kembali berputar. “Di desa… Laki-laki dan perempuan tidak boleh berduaan di dalam rumah. Itu aib besar di mata warga.”
Oliver terkekeh pelan, senyumnya sinis. “Kampungan sekali aturan itu. Hanya duduk berdua saja dianggap aib? Aku tidak tertarik padamu, jadi untuk apa takut?”
Ucapan itu menusuk, tapi Laras hanya menunduk. Ia tak punya tenaga untuk berdebat. Kepalanya makin berat, suara Oliver yang terus mengomel terasa berdengung di telinganya. Lalu tanpa sempat berkata apa pun lagi, tubuhnya ambruk ke samping.
“Laras!” Oliver terkejut, spontan melangkah cepat. Ia menahan tubuh gadis itu lalu membaringkannya di sofa reyot dekat jendela. Wajahnya menegang, matanya meneliti pucat di pipi Laras. Napasnya pendek tak beraturan ditambah kulitnya terasa panas. Ia menunduk lebih dekat, berusaha memastikan apakah gadis itu masih bernapas dengan normal.
Dan tepat pada saat itulah…
“BRAK!” Pintu rumah terbuka keras. Suara langkah ramai disertai derit sandal bercampur tanah masuk bersamaan.
“Laras!” suara parau seorang pria tua menggema, dan Oliver mendongak kaget. Bapak Laras berdiri di ambang pintu bersama tiga petani desa lain, masing-masing masih menggenggam cangkul dan sabit yang belum sempat diletakkan.
Pemandangan yang mereka lihat membuat darah mereka mendidih, seorang pria dalam posisi begitu dekat dengan putri desa yang tak berdaya.
“Apa yang kau lakukan pada anakku?!” Bapak Laras berseru, matanya membelalak ngeri melihat pemandangan di depannya.
Oliver tersentak, segera melepaskan jarak dari Laras. “Ini bukan seperti yang kalian pikirkan!” ujarnya, nada suaranya tegas tapi terburu-buru.
“Tidak seperti itu?” salah satu petani maju, menodongkan ujung cangkul ke arahnya. “Kami lihat jelas kau berada sangat dekat dengannya. Apa niatmu datang ke sini diam-diam, hah?”
Oliver berusaha menahan amarahnya. “Dia pingsan, aku hanya memeriksa keadaannya.”
Namun suara itu kalah oleh bisik-bisik para petani yang mulai meninggi. “Kau memang orang kaya, pemilik pabrik dari kota. Tapi itu bukan berarti kau bisa bebuat seenaknya di desa kami. Kalau bukan berniat macam-macam, kenapa masuk rumah gadis sendirian?”
Bapak Laras gemetar, tidak berani menatap Oliver terlalu lama. “Anda membuat nama baik anak saya hancur.”
Tepat saat itu Laras mengerang pelan. Kelopak matanya bergerak, lalu terbuka setengah. Ia menatap bingung wajah-wajah tegang di sekelilingnya. “Apa… apa yang terjadi…?” suaranya lemah, hampir tak terdengar.
Bapak segera mendekat. “Laras! Kau baik-baik saja?”
Laras berusaha duduk, meski tubuhnya masih goyah. “Tadi… saya cuma pusing… lalu pingsan. Pak Oliver… hanya menjenguk. Tidak ada apa-apa, sungguh…”
Tapi suaranya kalah oleh gelombang tuduhan. Seorang petani mendengus keras. “Kami melihat dengan mata kepala sendiri! Kau pingsan, dan dia… wajahnya begitu dekat denganmu. Jelas-jelas dia mau melakukan sesuatu denganmu, Laras.”
Di tengah kebingungannya, Laras mencoba melakukan pembelaan terhadap Oliver. “Tadi Laras pusing lalu tidak sadar Pak. Tapi percayalah, Pak Oliver tidak melakukan apa-apa. Dia hanya mencoba menolong saya.”
Namun keheningan yang menggantung terasa menyesakkan. Tidak ada yang percaya pada kata-kata seorang gadis yang dianggap sudah 'ternodai' kesuciannya.
Bapak Laras menunduk, wajahnya dipenuhi rasa malu. Ia merasa gagal menjaga putri semata wayangnya. Apa yang harus ia katakana pada istrinya di surga nanti?! Bahunya bergetar keras. “Anakku…”
“Ini tidak bisa dibiarkan.” Seorang petani lain menepuk bahu bapak Laras, suaranya penuh tekanan. “Kita semua tahu aturan desa, ini aib. Kalau tidak, nama baik desa ini akan ikut tercemar.”
Oliver menegakkan bahu, tatapannya tajam menusuk mereka satu per satu. “Kalian pikir aku akan tunduk pada aturan konyol semacam ini?”
Oliver tahu posisinya terpojok. Di kota ia bebas berbuat semaunya dan tidak ada yang melarang. Dan di sini? Ia harus bertanggung jawab pada wanita yang bahkan ia sendiri tak berniat apa-apa padanya. Ini terlalu… tidak masuk akal.
Ia tidak pernah membayangkan hidupnya bisa berubah sedrastis ini hanya karena sebuah salah paham.
“Aku tidak melakukan apa-apa!” suara Oliver terdengar lantang. “Hanya orang bodoh yang percaya aku punya niat kotor pada gadis ini.”
Sementara Laras menunduk, air mata jatuh tanpa henti. Baginya semua ini seperti mimpi buruk.
“Bodoh katamu?!” salah satu petani maju, menunjuk wajah Oliver. “Kami melihat dengan mata kepala sendiri kau di dalam rumah dengan Laras! Anak gadis kampung ini bukan mainanmu, Tuan Muda!”
“Betul! Kalau kau lelaki bertanggung jawab, nikahi dia sekarang juga!” teriak yang lain.
Oliver mengangkat dagunya, senyum sinis tersungging. “Nikah? Dengan gadis udik ini? Jangan bercanda.”
Kata-katanya menyulut bara. Beberapa pemuda maju, melingkari Oliver agar tak bisa kabur. Laras hanya bisa menangis, berusaha menjelaskan dengan suara parau.
“Tidak ada yang terjadi diantara kami… sungguh. Pak Oliver hanya… hanya menjenguk saya. Saya pusing, lalu tiba-tiba pingsan. Saat sadar… sudah ramai begini…”
Namun penjelasannya tidak digubris. Suara-suara keras menenggelamkan tangisannya.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀