Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Jalan-Jalan
Malam itu, rumah terasa sunyi. Lampu ruang keluarga temaram, hanya menyisakan bayangan yang memanjang di dinding. Hiro berdiri sejenak di depan pintu kamar, mendengar suara pelan dari dalam sana.
Desahan napas, isak yang tertahan, atau mungkin hanya pikirannya sendiri yang bermain-main. Hiro mengetuk pintu perlahan.
"Gendis?"
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang Hiro dapatkan. Lelaki tersebut mulai mengangkat lengan dan mendaratkan tangan ke atas tuas pintu.
Hiro membuka pintu sedikit, mengintip ke dalam. Gendis duduk di tepi tempat tidur dengan Reina di pangkuannya, memeluk bayi itu seolah takut dia akan menghilang kalau dilepaskan. Rambutnya berantakan, pipinya masih basah.
"Gendis," panggil Hiro lagi, kali ini lebih lembut.
Perempuan itu mendongak dengan mata yang merah. Tidak ada kata-kata keluar dari bibirnya. Hanya ada isak tangis yang tersisa di antara napas pendeknya.
Hiro mendekat, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang. Suasana hening kembali turun di antara mereka, hanya terdengar suara napas Reina yang teratur.
"Kamu kelihatan lelah," ucap Hiro akhirnya. "Ada yang mau kamu ceritakan?"
Gendis menggeleng pelan. Jemarinya membelai lembut rambut bayi itu, tetapi bahunya tegang.
Hiro memperhatikan wajahnya. Ada sesuatu di balik kebisuan itu. Perang yang tidak terlihat, perasaan yang dia pendam sendiri.
"Aku tahu hari ini berat buatmu," lanjut Hiro. "Tapi kamu nggak sendirian. Kalau ada yang kamu takutkan, kamu bisa cerita. Aku di sini."
Gendis menunduk lebih dalam. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada suara yang keluar. Hanya setitik air mata yang jatuh, membasahi selimut.
Hiro merasakan dada kirinya mengencang. Dia ingin bertanya lebih jauh, memaksa, tetapi tatapan kosong Gendis membuatnya urung. Ada tembok tinggi di sana, tembok yang mungkin akan runtuh kalau disentuh terlalu keras.
Akhirnya Hiro hanya menghela napas. Dia bangkit, berjalan ke sisi lain kamar, lalu kembali membawa segelas air.
"Minum dulu."
Gendis menerima gelas itu tanpa kata, menyesapnya perlahan. Rasa air yang dingin membuat tenggorokannya sedikit lega, tetapi hatinya tetap bergetar.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hiro duduk di kursi dengan punggung sedikit membungkuk, kedua sikunya bertumpu di lutut. Dia menatap Reina yang sudah tertidur di pelukan Gendis.
"Besok aku ada waktu," kata Hiro.
"Kita bisa jalan sebentar, kalau kamu mau. Udara segar mungkin bisa bikin kamu merasa lebih baik."
Gendis mengangguk pelan, meski sorot matanya masih jauh, seakan dia berada di tempat lain. Hiro berdiri, melangkah menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia berbalik.
"Gendis," Suara Hiro terdengar mantap kali ini.
"Kamu ibu yang baik. Reina beruntung punya kamu."
Gendis terdiam. Kata-kata itu seperti batu kecil yang dilempar ke permukaan air, membuat riak dalam dadanya. Dia menggigit bibirnya, menahan sesak yang tiba-tiba membuncah.
Ketika pintu tertutup, tangisnya pecah lagi, kali ini tanpa suara. Dia memeluk Reina lebih erat, merasakan detak jantung mungil itu menenangkan dirinya. Ada rasa takut yang tak bisa dia jelaskan—takut kehilangan, takut kebenaran yang akan dia temukan dari rekam medis, takut hatinya hancur lagi. Namun di balik semua itu, ada harapan kecil yang tetap menyala.
Di kamar sebelah, Hiro berdiri lama menatap langit-langit. Percakapan dengan Nana terus terputar di kepalanya. Dia tahu kekhawatiran itu masuk akal. Gendis memang terlihat rapuh. Akan tetapi, di matanya dia juga melihat seseorang yang sedang berjuang mati-matian keluar dari trauma masa lalu.
Hiro menghela napas, meraih ponselnya. Jempolnya mengetik pesan singkat ke dokter penanggung jawab Reina.
Dok, saya ingin memastikan lagi kondisi ibu susu Reina. Bisakah kita jadwalkan pemeriksaan psikologis ringan? Saya hanya ingin memastikan semuanya aman.
Pesan terkirim. Hiro menaruh ponselnya di meja, lalu duduk sambil memijit pelipis.
"Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja," gumam Hiro pada diri sendiri.
***
Keesokan paginya, sinar matahari menembus gorden, menggambar garis-garis cahaya di lantai. Gendis berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Kantung matanya menghitam, tetapi ada sedikit tekad di sorot matanya.
Tak lama berselang terdengar ketukan di pintu. Gendis menatap bayangan pintu yang perlahan terbuka melalui cermin. Kini di ambang pintu sosok Hiro hadir.
"Gendis? Sudah siap?" suara Hiro terdengar dari luar.
Gendis menarik napas panjang. Tangannya menyentuh pipi Reina yang masih tertidur. Bayi itu tersenyum dalam mimpi, seolah memberi kekuatan pada Gendis.
Hari ini Gendis memutuskan untuk keluar, menghadapi udara segar, meski di dadanya masih bersarang ribuan pertanyaan. Di balik semua rasa takut Gendis tahu satu hal, dia tidak bisa berhenti berjuang—bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk bayi kecil itu.
Perlahan Gendis beranjak dari kursi. Berat untuk meninggalkan Reina karema ada banyak ketakutan kehilangan bayi itu. Namun, Gendis mulai berpikir untuk menjernihkan pikiran demi Reina.
"Ibu pergi dulu, Rei. Sama Nana dulu, ya? Ibu sudah memerah ASI untukmu, semoga cukup selama ibu pergi." Gendis tersenyum tipis, kemudian mendaratkan sebuah kecupan pada dahi bayi mungil tersebut.
"Ayo," ajak Hiro lagi ketika melihat Gendis terlihat berat meninggalkan Reina.
Gendis kembali menegakkan punggung. Langkahnya begitu pelan, seakan penuh keraguan ketika menghampiri Hiro. Lelaki tersebut berjalan lebih dulu, sementara Gendis berjalan beberapa langkah di belakang, memperhatikannya dengan pandangan hati-hati. Udara dingin membuat napas mereka berembun.
“Sudah siap?” suara Hiro pelan, seolah takut memecahkan ketegangan yang sejak pagi menggantung di udara.
Gendis tidak langsung menjawab. Tangannya meremas ujung jaket, matanya menatap halaman kosong. Sejenak dia tampak seperti anak kecil yang dipaksa masuk sekolah untuk pertama kali.
“Gendis.” Hiro mendekat, jemarinya menyentuh ringan bahu Gendis.
“Kita hanya jalan-jalan. Tidak ada yang akan menyakiti kamu.”
Gendis menghela napas panjang, lalu akhirnya melangkah keluar. Pintu menutup di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang terasa menekan dada.
Di dalam mobil, perjalanan berlangsung tanpa suara. Hanya dengung mesin dan suara ban menyentuh aspal yang terdengar. Gendis menatap keluar jendela, memperhatikan pohon-pohon yang lewat seperti bayangan cepat. Di kaca, bayangan wajahnya sendiri tampak pucat.
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan dengan papan nama sederhana. Gendis mematung. Pandangannya menempel pada pintu kaca di depan, seperti menghadapi gerbang yang akan menelannya.
“Untuk apa kita ke sini? Kamu tidak mengatakan akan membawaku ke tempat seperti ini. Kamu bohong! Aku nggak mau masuk!” gumam Gendis dengan suara lirih.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki